RASA sakit semakin tak tertahankan. Badra terkapar. Darah segar yang mengalir dari perutnya membanjiri aspal jalan. Belati yang terlanjur menancap, tak mampu untuk ditarik kembali. Kini, tinggal menghitung menit, semuanya akan segera usai. Tapi, pertempuran dua kelompok itu masih berlangsung. Teriakan demi teriakan, darah demi darah, dan nyawa demi nyawa seakan sebagai penghias malam yang suram.
“Waktuku tak banyak lagi, Gopal. Pergilah! Selamatkan dirimu!” kata Badra kepada Gopal, sahabtanya.
“Tidak, aku tak mungkin meninggalkanmu sendiri dalam keadaan seperti ini,” sahut Gopal.
“Tak ada waktu lagi! Pergilah! Temui Laskara. Bangun kembali semua dari awal. Aku Percaya padamu!”
Badra menutup mata dan menghembuskan napas terakhirnya.
***
Seminggu sejak kejadian berdarah itu, Gopal menemui Laskara.
Laskara menyerahkan benda aneh kepada Gopal. Benda itu seperti selendang. Panjang. Berwarna putih dan dipenuhi tulisan mantra-mantra yang sama sekali tak ia mengerti. Gopal menanyakan tentang selendang itu pada Laskara.
“Itu adalah selendang keramat milik Badra,” ucap Laskara pada Gopal.
Gopal memandang selendang itu. Ia belum paham apa yang dikatakan Laskara.
“Sehari sebelum kepergiannya, ia menitip pesan padaku agar aku menyerahkan selendang ini padamu. Selendang ini akan membuatmu tak terkalahkan, kebal dari serangan apa pun. Tapi dengan satu syarat. Pemilik selendang ini tidak boleh menikah. Kekuatan selendang ini akan hilang jika sampai si pemilik menikah,” kata Laskara.
Gopal menerimanya, namun ia semakin penasaran. Setelah keluar dari rumah Laskara, ia menanyakan tentang seluk-beluk selendang itu kepada orang-orang terdekatnya. Gopal mendapatkan jawaban yang sama seperti perkataan Laskara. Jawaban-jawaban itu belum bisa membuat Gopal puas. Namun, untuk sementara waktu ia harus percaya.
Hingga suatu hari, di Markas Besar, Gopal menyuruh Laskara untuk melempar batu sebesar bola tenis ke kepalanya. Laskara menolak keras. Hal itu membuat Gopal kecewa.
Keesokan hari, di tempat yang sama, Gopal memandang jauh ke arah langit. Seakan ia memikirkan sesuatu.
“Laskara, kau dulu adalah tangan kanan Badra. Kau kuat. Aku ingin bertarung denganmu. Kita buktikan siapa yang terkuat saat ini,” cetus Gopal dengan tiba-tiba.
Sebenarnya sejak dulu Gopal punya dendam kepada Laskara. Karena semasa hidup Badra sebagai pemimpin kelompok, ia dianggap lebih lemah oleh Badra dan lebih percaya kepada Laskara.
Laskara terdiam. Lagi-lagi dia menolak permintaan Gopal, dan pergi dari Markas Besar.
Gopal kembali menelan kekecewaan. Ia berpikir jika memang saat ini tak mampu melawan Laskara, ia mencari lawan lain. Dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu, Gopal pergi menuju pasar. Sesampainya di pasar, Gopal menemui preman pasar yang saat ini menguasai pasar. Preman itu bernama Garda. Tanpa basa-basi Gopal menempelkan pukulan tepat di pipi kanan Garda. Sontak Garda pun tersungkur.
Layaknya naluri seorang lelaki, Garda pun tidak tinggal diam. Garda membalas pukulan tersebut. Kini dua preman itu saling balas pukul. Masing-masing mengadu kekuatan. Garda berkali-kali tersungkur, tapi ia tetap bisa bangkit. Dan Gopal benar-benar unggul pada pertarungan itu.
Pertarungan itu berakhir ketika Gopal sadar, dirinya telah berbuat lewat batas. Ia melihat lawannya sudah tersungkur tak berdaya. Ia menghentikan pukulannya. Kini Garda tergeletak tak sadarkan diri akibat pukulan Gopal yang bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Sementara itu, Gopal yang juga menerima pukulan bertubi-tubi dari Garda, tidak sedikit pun merasa kesakitan.
Kini Gopal percaya dengan kekuatan selendang putih bertuliskan mantra itu. Ia tersenyum sembari memandang kepalan tangannya sendiri. Setelah para warga pasar berkerumun melihat Garda yang tergeletak, Gopal pun pergi meninggalkan keramaian pasar. Dan sejak saat itu, Gopal menjadi kepala pasar, dan tak ada satu pun yang mampu menandinginya. Dan sejak saat itu juga tak terdengar lagi kabar tentang Laskara. Ia menghilang bak ditelan bumi.
***
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa dua puluh tahun telah berlalu. Setelah Gopal berhasil mengalahkan semua preman, menguasai pasar, menjadi ketua dan membuat kelompoknya kembali berjaya, ia masih belum merasa puas. Untuk menjaga dan menambah kesaktiannya, ia pergi ke tengah hutan dan menemui Ki Jagal, seseorang yang amat sakti mandraguna, yang telah berpuluh-puluh tahun menghabiskan waktunya untuk bertapa semedi di tengah hutan.
“Sebenarnya, selain pantangan tidak menikah, ada satu hal yang bisa menumbangkanmu. Seseorang yang memiliki keris panca datu,” kata Ki Jagal.
Gopal memandang Ki Jagal.
“Tapi kau beruntung,” lanjut Ki Jagal. “Keris panca datu itu telah dikubur oleh seorang mahapatih. Dan tak ada satu pun yang tahu tempatnya. Jadi, untuk saat ini kau fokus untuk menambah kesaktianmu. Setiap bulan purnama kau harus datang ke sini menjalani ritual mandi kembang lima rupa!”
***
Sebagai kepala pasar yang ditakuti, setiap hari Gopal menagih uang keamanan kepada semua pedagang di pasar. Gopal dan anak buahnya dikenal kejam. Jika ada pedagang yang membangkang, Gopal dan anak buahnya tak segan-segan menggunakan kekerasan. Tak ayal, membuat semua pedagang takut padanya. Semenjak selendang itu melingkar di pinggangnya, Gopal benar-benar menguasai semuanya. Dan ia mendapatkan semua yang ia inginkan.
Matahari sudah tepat berada di atas kepala. Tugas menagih uang keamanan sudah rampung. Seporsi nasi padang dan secangkir kopi hitam sudah tersedia di atas meja. Gopal melahapnya tuntas. Sementara kopi hitamnya sisa seperempat gelas. Si pedagang nasi padang tak pernah menagih bayaran. Karena ia tahu, siapa orang yang dihadapinya.
Setelah kopi hitam hanya tersisa ampas, Gopal kembali keliling pasar untuk melihat keadaan. Setelah semuanya dirasa aman dan terkendali, Gopal lalu pulang ke rumahnya.
Keesokan paginya, Gopal bersama anak buahnya menagih uang keamanan, seorang pedagang tahu menolak membayar. Gopal berkali-kali mengancam. Namun, si pedagang tahu tetap tak mau membayar.
“Mohon ampun, Bang Gopal. Daganganku belum ada yang laku,” kata si pedagang tahu.
Dengan terpaksa Gopal harus menggunakan kepalan tangannya ketika ada pedagang yang tak mampu membayar uang keamanan. Jelas saja, kepalan tangan Gopal membuat pedagang tahu itu tersungkur. Ketika hendak bangkit, kepalan tangan anak buah Gopal mendarat kembali di wajah si pedagang tahu. Para pedagang lain yang melihat kejadian itu hanya bisa terdiam. Sebab mereka tahu, melawan Gopal dan anak buahnya ibarat menyerahkan nyawa secara cuma-cuma. Gopal menghentikan pukulannya. Si pedagang tahu terkapar di depan barang dagangannya.
“Hari ini kau berhutang padaku, dan besok kau harus membayar dua kali lipat. Jika tidak, kau akan menanggung sendiri akibatnya!” Gopal meraung, lalu pergi meninggalkan si pedagang tahu dan melanjutkan menagih ke pedagang-pedagang lain.
Setelah Gopal benar-benar meninggalkan pasar, para pedagang satu persatu datang menemui pedagang tahu. Para pedagang segera menanyakan keadaan si pedagang tahu dan membantu mengobati lebam di wajah si pedagang tahu.
Keesokan harinya Gopal dan anak buahnya kembali menemui pedagang tahu. Dan kisah tragis pun tak terhindarkan.
“Kau adalah orang yang tak tahu diampun,” ucap Gopal.
Anak buah Gopal mengacak-acak barang dagangan si pedagang tahu karena saat itu si pedagang tahu tak mampu membayar uang keamanan dua kali lipat sesuai yang diminta gopal kemarin. Dan seperti biasa, Gopal mendaratkan kepalan tangannya tepat pada wajah si pedagang tahu. Bekas luka kemarin kini terasa berkali lipat perih setelah kembali menerima pukulan. Perih dan semakin perih. Si pedagang tahu sudah tak berdaya.
Sementara Gopal tanpa henti mendaratkan pukulan-pukulannya. Para pedagang lain seperti biasa hanya bisa menyaksikan kejadian tragis itu. Tak satu pun yang berani mendekat. Namun, tiba-tiba ada satu pedagang yang menepuk pundak Gopal. Ia adalah pedagang baru di pasar itu.
“Beri dia kesempatan!” Tangan pedagang itu masih menempel di atas pundak preman pasar itu. Gopal mengehentikan pukulannya. Gopal bertatapan dengan pedagang itu. Tiba-tiba dendam yang sudah mendarah daging kini kembali membara.
“Akhirnya. Setalah dua puluh tahun kau muncul kembali, Laskara! Bergabunglah bersamaku. Dan kita nikmati hal-hal yang dulu kita nikmati bersama Badra. Menguasai pasar ini,” kata Gopal.
Laskara hanya terdiam. Ia tak satu pun menyahut ajakan Gopal.
“Mungkin setelah sekian lama, kau butuh waktu untuk berpikir. Tapi pintu Markas Besar selalu terbuka untukmu.” Gopal menepuk pundak Laskara lalu pergi bersama anak buahnya.
Sedangkan Laskara hanya bisa berdiri terdiam tanpa sepatah kata pun.
Keesokan harinya lagi, si pedagang tahu melihat Gopal berjalan mendekatinya. Ia segera lari ke tempat Laskara untuk mencari perlindungan. Hari ini Gopal datang sendiri tanpa anak buahnya.
“Mana si brengsek pedagang tahu busuk itu?” Gopal meraung.
Laskara sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Gopal. Ia kemudian pasang badan untuk melindungi si pedagang tahu.
“Minggir!” Gopal kembali meraung.
Laskara tetap bersikukuh tak mau berpindah.
“Kali ini jangan halangi aku!”
Satu senti pun Laskara tak berpindah dari tempatnya berdiri. Kali ini Gopal benar-benar marah. Tangannya mengibas tubuh Laskara. Laskara pun terhempas. Gopal bak singa yang akan menyergap mangsa di depannya. Kepalan tangannya sudah siap ia daratkan kembali di wajah si pedagang tahu.
“Tunggu! Lawanmu bukan dia, tapi aku!” ucap Laskara secara tiba-tiba.
Sontak Gopal dan para pedagang terkejut mendengar perkataan Laskara. Selama ini belum ada yang berani menantang Gopal. Para pedagang mulai panik. Takut jika terjadi sesuatu pada Laskara. Walau pun mereka tahu Laskara juga mantan preman yang dulu dikenal kuat. Tapi untuk saat ini Gopal bukanlah tandingannya. Laskara telah bertindak ceroboh dengan menantang Gopal.
“Sebenarnya aku paling benci dengan tantangan. Apalagi yang menantang adalah sahabatku sendiri. Tapi, sudah lama aku menantikan saat ini. Mungkin ini saatnya pembuktian bahwa dulu Badra sudah salah menganggapmu lebih kuat dari pada aku.”
“Ingat, Gopal! Kau tak bisa apa-apa tanpa selendang itu. Selendang yang sebenarnya Badra titahkan padaku. Tapi, aku merelakannya padamu karena aku memilih hidup berkeluarga dengan damai, tanpa kekerasan.”
“Apa maksudmu? Kau jangan mengada-ada!”
“Semua perkataanku saat pertemuan itu adalah rekayasaku. Aku sengaja memberikan selendang itu padamu. Karena aku tahu ambisimu. Dan aku yakin kau bisa bijak seperti Badra. Tapi sayang, kau menyalahgunakannya. Kau menindas yang lemah. Kau terlalu menuruti ambisi keserakahan yang ada pada dirimu.”
Mendengar perkataan Laskara, Gopal semakin marah. Ia segera berlari ke arah Laskara. Tangannya sudah mengepal keras dan pukulan siap ia daratkan ke wajah Laskara. Pukulan pertama Gopal berhasil ditangkis. Gopal tercengang. Baru kali ini ada orang yang mampu menangkis pukulannya. Ia juga sempat berpikir, apakah Laskara adalah orang yang dimaksud Ki Jagal? “Tidak mungkin!”
Gopal kembali mengepalkan tangannya. Kali ini kepalannya sangat kuat. Ia bersiap untuk meluncurkan pukulannya lagi. Pukulan kedua, ketiga, dan pukulan-pukulan selanjutnya tak satu pun mengenai Laskara. Laskara berhasil menghindar. Kali ini giliran Laskara. Tangannya sudah mengepal keras, dan pukulan siap ia daratkan di wajah Gopal.
“Bbuagg!” pukulan Laskara mendarat tepat di rahang kiri Gopal.
Para pedagang seketika bersorak. Laskara melanjutkan pukulan kedua, ketiga, dan yang keempat. Gopal terkapar. Matanya berkunang-kunang. Lalu ia tak sadarkan diri.
Para pedagang bersorak-sorai menyambut kemenangan Laskara. Mereka semua berhamburan berlari ke arah Laskara. Sedangkan Laskara masih memandangi kepalan tangannya. Ia tak menyangka bisa menumbangkan Gopal.
***
Di tengah hutan, petir mulai menyambar dan angin berhembus kencang. Hujan deras pun turun. Di dalam gubuk tua, Ki Jagal terbangun dari tapa semedinya. Ia tersenyum puas.
“Pantaslah kali ini kau kalah. Selendang itu sudah kutukar. Kini aku menjadi tak terkalahkan!” [T]
Penulis: I Wayan Kuntara
Editor: Made Adnyana Ole