“KONTEMPLASI Mewujudkan Kehidupan Shanti Jagadhita”, demikian tema Dharma Shanti Kolaborasi antara Majelis Desa Adat (MDA) Kecamatan Kuta Selatan dan SMA Negeri 2 Kuta Selatan. Dharma Shanti serangkaian Hari Suci Nyepi Isaka Warsa 1947 itu dihadiri oleh 200 peserta dari unsur Kecamatan Kuta Selatan, Perbekel/Lurah se- Kecamatan Kuta Selatan, dan Unsur Adat se-Kecamatan Kuta Selatan, serta guru, tenaga kependidikan, dan perwakilan siswa SMA Negeri 2 Kuta Selatan.
MDA Kecamatan Kuta Selatan menjadikan Dharma Shanti sebagai program rutin setiap tahun. Pada Tahun Isaka Warsa 1947 bertepatan dengan Saniscara Umanis Sungsang, 19 Maret 2025, untuk pertama kali Dharma Shanti Nyepi dilaksanakan secara kolaboratif antara MDA Kecamatan Kuta Selatan dan SMA Negeri 2 Kuta Selatan. Makna penting dari Dharma Shanti Kolaboratif bersifat mutualistiK. Di satu sisi menjadi ajang belajar bagi siswa SMA Negeri 2 Kuta Selatan dengan terlibat dan berbaur bersama para tetua adat yang tekun menjaga, merawat, dan mengembangkan kearifan lokal di masing-masing desa adat.
Kearifan itu ditransformasikan kepada para siswa remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri. Kemantapan dinamis para yowana (remaja) mensyaratkan penguatan ke dalam (kontemplasi) dengan senantiasa berguru ke luar untuk memerkuat jati diri sehingga diperlukan filter selektif. Belajar menerima dari luar tidak asal, apalagi asal-asalan. Diperlukan semangat dharma wiweka sebagaimana itik atau teratai yang akar dan batangnya di lumpur, bunganya mekar tiada ternoda.

Dharma Shanti Kolaborasi MDA Kuta Selatan dan SMAN 2 Kuta Selatan | Foto : I Nyoman Tingkat
Di sisi lain, para tetua menyerap energi para yowana senantiasa menjadi Tut Wuri Handayani. Sesuai dengan ilmu mendidik berkesadaran Hindu, yowana seyogyanya diperlakukan sebagai teman oleh orang tua. Sebagai teman, jarak bahasa jangan menjadi penghambat walaupun umur terpaut jauh. Sebagai orang tua, yang pernah mengalami fase remaja, ia dapat kembali bernostalgia bagaimana masa remaja dulu yang sering juga disalahpahami oleh orang tua.
Tegasnya, orang tua mengidentikasi diri sebagai mana layaknya remaja. Intensitas dan kualitas komunikasi diperbaiki sampai nemu gelang untuk saling memahami demi kemajuan yowana. Pada akhirnya, jika yowana itu berhasil akan memberi sinar terang cahaya bagi keluarga. Sebaliknya, bila yowana gagal, menjadi gelaplah seisi keluarga.
Begitulah Dharma Shanti yang digelar secara kolaboratif berintikan kerja sama yang harmonis dan saling mendukung untuk berperan aktif mewujudkan suasana shanti sesuai dengan swadharma masing-masing. Sesuai dengan tema, Dharma Shanti ini diniatkan untuk memperdalam nilai-nilai yang terkandung dalam Hari Suci Nyepi. Nilai-nilai itu adalah nang, ning, nung, neng sebagaimana diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara di Taman Siswa. Dalam kearifan lokal Bali, diterjemahkan dalam Catur Brata panyepian yang tiada duanya di dunia.
Nyepi adalah nang dalam arti tenang untuk menang melawan pergulatan dalam diri. Musuh terbesar manusia adalah dirinya sendiri, bukanlah orang lain. “Kemenangan terindah dan tersulit bagi manusia adalah kemenangan atas diri sendiri”, tulis R.A. Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.
Nyepi adalah ning. Ning adalah hening-bening dalam sunyi sepi. Dalam hening-bening, kejernihan pikiran tercerahkan. Pencerahan menjadi penerang kegelapan. Nyalakan pelita wujudkan cita-cita. Pikiran yang hening bening ibarat air yang jernih, bayangan akan tampak utuh laksana ikan di lubuk terpantau dalam kejernihan air, memudahkan nelayan menangkap.


Dharma Shanti Kolaborasi MDA Kuta Selatan dan SMAN 2 Kuta Selatan | Foto : I Nyoman Tingkat
Nyepi adalah Nung. Nung adalah merenung melakukan kontemplasi untuk sampai pada titik kesadaran yang bersemayam di padma hrdaya. Einstein bilang, pusat gravitasi kesadaran manusia ada di hati. Di hati pula, pusat cinta (belajar) bersemi. Jika Mendikdasmen Abdul Mu’ti menghadirkan pendekatan deef learning dalam pembelajaran sesungguhnya sedang mengajak para pembelajar untuk belajar dengan kesadaran diri (mindfull learning) untuk menghasilkan Pendidikan bermutu untuk semua. Nilai-nilai itu tersirat dalam kearifan Nyepi di Bali.
Nyepi adalah neng. Neng adalah meneng (diam, tidak bergerak). Karena tidak bergerak secara pisik, maka petualangan berjalan secara rohani. Menyusuri jalan-jalan gelap dalam goa gue (buana alit) berharap menemukan goa duwe (buana agung) dalam keharmonisan. Langkah yang ditempuh pejalan kehidupan berkearifan Bali adalah tapa, brata, yoga, semadi. Meneng secara fisik, tetapi bergerak secara rohani.
Begitulah Hari Suci Nyepi menyediakan teks kehidupan berkearifan lokal. Nyepi diwariskan Bali, sebelum Hindu diakui sebagai Agama oleh negara (1959). Libur umum Nyepi dan Waisak pun baru ditetapkan saat Orde Baru berkuasa berdasarkan Keputusan Presiden Soeharto Nomor 3 Tahun 1983 tanggal 19 Januari 1983 atas usulan Ida Bagus Punia Atmaja (Hindu) dan Pembudi (Budha).
Menurut I Nyoman Lastra, S.Pd., M.Ag. mantan Kakanwil Agama Provinsi Bali, yang menjadi narasumber dalam Dharma Shanti, menyebutkan secara historis, agama-agama yang tumbuh dan berkembang di Indonesia kini adalah agama yang menyerap kearifan lokal sebagai dasar menguatkan ajarannya. “Kedatangan Mpu Kuturan ke Bali berhasil menyatukan sekte-sekte masyarakat Bali dalam wadah Desa Adat dengan tugas spiritual memuja Tri Murti di Kahyangan Tiga. Walaupun sekte-sekte berhasil dilebur, tetapi jejaknya masih bisa dilacak dalam ritual Hindu kini. Begitu pula kedatangan Dang Hyang Dwijendra, mengembangkan dengan Pelinggih Padmasana sebagai pemujaan untuk membangun harmoni Bali”.
Fakta historis itu membuat Bung Karno sampai pada simpulan, “Bila menjadi Hindu janganlah keindia-indian, bila menjadi Islam jangalah kearab-araban, bila jadi Kristen jangan jadi Yahudi. Jadilah Hindu, Islam, dan Kristen Nusantara”. Semangat serupa digaungkan oleh Kang Dedy Mulyadi Gubernur Jawa Barat yang viral di media sosial. Kang Dedy dalam berbagai kesempatan meletakkan kearifan lokal sebagai piranti komunkasi yang menyentuh sumber peradaban dengan rasa simpati dan empati. Citra dirinya terbangun bahkan, digadang-gadang menjadi calon Presiden Indonesia masa depan.

Dharma Shanti Kolaborasi MDA Kuta Selatan dan SMAN 2 Kuta Selatan | Foto : I Nyoman Tingkat
Terlepas dari politik pencitraan, Nyepi sebagai warisan manusia Bali telah menjadi ispirasi bagi dunia untuk memelihara keharmonisan semesta yang terhubung satu sama lain. Tidak bepergian (amati lelungaan), tidak menghibur (amati lelangon), tidak menyalakan api (amati geni), dan tidak bekerja (amati karya) adalah catur brata yang lahir dari kearifan lokal Bali, sebuah ajakan kepada dunia untuk hening sehari. Hening sehari untuk melakukan penghematan sekaligus memberikan semesta berlibur dari hiruk-pikuk lalu-lintas yang menyumbang polusi.
Nyepi memberikan pesan damai sebagaimana laut dan langit tampak biru tanpa tertutup mendung polutif. Pesan damai menjadi kebutuhan semua umat manusia tanpa memandang asal usul agama. Setiap agama membawa pesan perdamaian, bergantung pada umatnya memaknainya. Kata bijaksanawan, “Perang dan damai bermula dari pikiran. Maka dari pikiran pula, damai disemaikan”. Nyepi dengan catur brata diniatkan untuk mewujudkan damai itu. Shanti jagadhita diwujudkan dengan kontemplasi : nang…ning…nung…neng !
Jika Nyepi beruntun diikuti dengan Hari Suci Galungan sebagai kemenangan Dharma atas adharma, maka seyogyanya dipahami sebagai respon semesta menguatkan spirit beragama tidak berhenti pada tataran ritualistik. Menggali makna dibalik ritual.
Numbas sajeng ke Pedungan,
Ke Denkayu makta salaran mabakti
Rahajeng hari suci Galungan
Mogi rahayu majalaran Dharma Shanti [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT
- BACA JUGA: