MENONTON Wayang Sapuh Leger mungkin sudah biasa. Tetapi, kalau menyaksikan garapan Fragmentari Sapuh Leger dipadu dengan karya seni Ogoh-ogoh, ini mungkin yang baru. Ya, karya pragmentari itu disajikan oleh anak-anak muda dari Sekaa Teruna (ST) Eka Karya Bhakti di Jalan Raya Desa Padangbulia, Singaraja, Buleleng-Bali, pada Hari Pengupukan serangkaian Nyepi Caka 1947, Jumat 28 Maret 2025.
Ketika pragmentari ini dimulai, penonton kemudian mendekat seakan tak mau ketinggalan dengan kisah klasik yang dikemas dalam sajian seni gerak yang ekpresif itu. Sebanyak 18 penari bergerak lincah memperagakan tema yang penuh makna dan pesan, agar bisa sampai kepada penonton. Hal tersebut tentu dikuatkan dengan kostum yang ditata apik, sehingga karakter penari tampak lebih kuat.
Karya seni ini merupakan garapan bersama dari Ketut Tara Listiawan sebagai penggarap tari dan Gede Ryan yang menata tabuh bleganjur. Mereka mengeksplorasi ogoh-ogoh Komang Restu Arya Sandhi yang merupakan undagi di desa itu. Kemudian sepakat mengangkat tema “Sapuh Leger” yang telah mentradisi di masyarakat Bali khususnya. “Cerita Sapuh Leger ini erat kaitannya dengan konsep Tri Hita Karana,” kata Tara Listiawan usai pentas.

Ogoh-ogoh dan Fragmentari Sapuh Leger dari Desa Padangbulia, Buleleng | Foto: Ist
Cerita Sapuh Leger ini sengaja diangkat karena ingin menyampaikan pesan untuk refleksi diri, menjaga keseimbangan hidup dengan pedoman Tri Hita Karana. Pedoman yang menjaga keseimbangan antara manusia dengan penciptaNya, manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alamnya. “Di jaman ini, sangat penting mengingatkan semua orang untuk hidup harmonis,” imbuhnya.
Lulusan Magister Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Bali tahun 2023 ini tampak fokus dalam menata gerak tari yang dituangkan ke dalam suatu karya tari syarat pesan. Setiap geraknya mangandung makna yang dapat diinterpretasikan penonton maupun penikmat tari secara umum. “Ide geraknya, kami peroleh dari eksplorasi atau penjelajahan yang didapat berdasar gagasan pokok pikiran dalam penciptaan karya yang disesuaikan dengan tema atau ide cerita,” ujarnya.


Ogoh-ogoh dan Sekaa Teruna (ST) Eka Karya Bhakti, Desa Padangbulia | Foto: Ist
Seniman akademis kelahiran Padangbulia, 20 Juni 1999 itu mengaku, dalam menata pragmentari ini dirinya menggunakan teori Angripta Sesolahan, lima dasar yang meliputi Ngrencana, Nuasen, Makalin, Nelesin, dan Ngebah. Kelima itu menjadi acuannya dalam menciptakan sebuah karya tari. ”Sesungguhnya tidak ada perbedaan dalam menggarap tari kreasi dan pragmentari Ogoh-ogoh, semuanya sama saja,” ucapnya.
Termasuk menata kostum penari yang tetap menggunakan busana tari Bali yang di desain sesuai dengan kebutuhan peran dan pementasan karya tari. “Kendalanya, hanya pada minumnya dana, sehingga dalam proses pembuatan karya seni itu ST. Eka Karya Bhakti mengadakan penggalangan dana dalam bentuk penjualan Baju sebagai tambahan dari dana yang dimiliki selanjutnya bantuan dari beberapa donatur yang mensupport kegiatan ini,” papar pendiri Sanggar Seni Eka Ulangun Santhi ini.
Sinopsis Pragmentari Sapuh Leger
Dalam Kala Tattwa diceritakan Bhatara Siwa bersama saktinya Dewi Giriputri atau Uma, sedang bercengkrama di laut. Tiba-tiba birahi Dewa Siwa bangkit dan langsung menyatakan kehendaknya kepada Saktinya Dewi Uma. Hasrat tersebut dibantah oleh Dewi Uma Karena dianggap tidak sesuai dengan prilaku para dewa-dewa di Kahyangan.

Ogoh-ogoh dan para penari Fragmentari Sapuh Leger dari Desa Padangbulia, Buleleng | Foto: Ist
Tetapi, dalam waktu bersamaan Dewa Siwa Membantah, karena tidak dapat menahan nafsu, pada waktu itu kama, sukla Bhatara Siwa keluar dengan sendirinya dan jatuh di laut. Setelah itu sebagai Ardhanareswari, Bhatara Siwa dan Dewi Uma kembali ke Siwa Loka.
Diceritakan pada waktu tersebut Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu pergi ke laut dan melakukan tapa yoga dan akibat yoga tersebut kama/sukla Bhatara Siwa dapat berkumpul menjadi satu dan Kama itu berubah wujud menjadi raksasa yang sangat amat besar.

Salah satu adegan dalam Fragmentari Sapuh Leger dari Desa Padangbulia, Buleleng | Foto: Ist
Sosok raksasa yang lahir tesebut bernama Bhatara kala lahir tepat pada Wuku atau Weton Wayang lalu diberikan anugerah oleh Bhatara Siwa dan Dewi Uma boleh memakan orang yang lahir pada wuku wayang.
Pada wuku yang sama, lahirlah Hyang Rare Kumara yang merupakan adik dari Bhatara Kala. Karena hal tersebut Bhatara Kala meminta ijin untuk memakan adiknya. Karena rasa sayang Bhatara Siwa menangguhkan percintaan Bhatara Kala akan boleh memakannya pada umur 7 tahun (sapta warsa).
Hyang Rare Kumara diberikan anugerah agar tetap menjadi “rare” hal itu diketahui oleh Bhatara Kala. Terjadilah Pengejaran Bhatara Kala dan Hyang Rare Kumara menuju Mayapada. Pada pengejaran tersebut Hyang Rare Kumara melakukan persembunyian di gulungan alang alang dan
tumpukan kayu bakar, sehingga terjadinya kutukan bagi siapa yang tidak melepas ikatan alang-alang dan kayu bakar akan menjadi makanan bagi Bhatara Kala.

Tara Listiawan, penggarap tari pada Fragmentari Sapuh Leger dari Desa Padangbulia, Buleleng | Foto: Ist
Hyang Rare Kumara berhasil dikejar dan ditelannya kemudian Bhatara Siwa dan Dewi Uma memastu Bhatara Kala agar muntah. Pengejaran berlangsung sangat lama dan bertemulah Hyang Rare Kumara dengan Sang Mangku Dalang yang sedang mengadakan pementasan wayang guna pengeruwatan terhadap anak-anak yang lahir pada wuku wayang.
Hyang Rare Kumara memohon perlindungan dan mengatakan bahwa dirinya dikejar oleh Bhatara Kala. Seketika Hyang Rare Kumara disembunyikan pada “plawah gender”. Bhatara Kala menuju tempat tersebut dan terkagum melihat kelihaian dari Sang Dalam dalam memainkan wayang dengn menyisipkan tutur yang baik. Karena tidak dapat menahan rasa lapar Bhatara Kala kemudian memakan banten serta caru sampai habis.
Perdebatan pun terjadi antara Sang Dalang dengan Bhatara Kala hingga akhirnya Bhatara Kala mengakui kesalahnnya dan Sang Dalang diberikan waranugraha apabila anak-anak yang lahir pada wuku atau weton wayang apabila telah melakukan upacara pengeruwatan akan selamat dari mara bahaya. Upacara Ringgit tersebut ialah Sapuh Leger.
Cerita ini telah mentradisi dalam Masyarakat Bali dan menjadi suatu keyakinan bahwa orang yang lahir pada wuku/runggit wayang melakukan upacara Pengeruwatan Wayang Sapuh Leger guna memohon harapan agar terbebas dari pengaruh buruk wuku wayang. [T]
Penulis: Nyoman Budarsana
Editor: Adnyana Ole