OGOH-OGOH merupakan representasi fisik dari roh jahat atau bhuta kala dalam tradisi Hindu Bali yang diarak saat hari pengerupukan (sehari sebelum Nyepi). Tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari ritual keagamaan, tetapi juga telah menjadi simbol budaya dan identitas masyarakat Bali. Seiring dengan arus modernisasi, evolusi ogoh-ogoh menunjukkan bagaimana tradisi ini mengalami perubahan baik dari segi bentuk, fungsi, maupun maknanya.
Tradisi ogoh-ogoh awalnya diciptakan sebagai simbolisasi dari kekuatan bhuta kala yang harus diruwat atau diseimbangkan sebelum umat Hindu Bali menjalani Catur Tapa Brata Penyepian atau empat pantangan hari suci Nyepi. Prosesi ini melibatkan pembuatan patung raksasa yang diarak keliling desa untuk kemudian dibakar sebagai simbol menetralisir kekuatan negatif. Bentuk ogoh-ogoh tradisional biasanya mengacu pada makhluk mitologi, seperti raksasa dan makhluk lainnya yang melambangkan sifat-sifat buruk seperti keserakahan, amarah, dan nafsu.
Akan tetapi, dalam beberapa dekade terakhir, ogoh-ogoh telah mengalami transformasi signifikan. Pengaruh modernisasi dan globalisasi membawa perubahan dalam cara pembuatan, tema, serta persepsi masyarakat terhadap ogoh-ogoh. Di satu sisi, modernisasi membawa inovasi dalam hal teknik dan bahan pembuatan ogoh-ogoh, dari yang awalnya menggunakan bambu dan kertas, menjadi menggunakan bahan-bahan modern seperti styrofoam, besi, dan bahan sintetis lainnya. Di sisi lain, tema ogoh-ogoh juga mengalami perkembangan, tidak hanya mengangkat tema tradisional, tetapi juga mengadopsi isu-isu kontemporer seperti politik, sosial, dan lingkungan.
Modernisasi juga membawa perubahan dalam fungsi ogoh-ogoh. Dari yang awalnya murni berfungsi sebagai media ritual keagamaan, kini ogoh-ogoh juga menjadi atraksi pariwisata dan media ekspresi seni. Festival ogoh-ogoh tidak hanya menarik perhatian warga lokal, tetapi juga wisatawan domestik dan mancanegara. Hal ini memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat, namun juga memunculkan tantangan dalam menjaga keaslian dan makna spiritual dari tradisi ini. Perubahan ini menimbulkan berbagai respon dari masyarakat. Sebagian melihat modernisasi sebagai cara untuk mempertahankan relevansi ogoh-ogoh di era globalisasi, sementara yang lain mengkhawatirkan hilangnya makna sakral dari tradisi tersebut.
Eksistensi Ogoh-ogoh di Bali
Ogoh-ogoh merupakan representasi kekuatan jahat atau bhuta kala yang dibuat menyerupai boneka raksasa yang menyeramkan. Nama ogoh-ogoh sendiri diambil dari sebutan ‘ogah-ogah’ dari bahasa Bali. Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Ogoh-ogoh akan diarak keliling desa pada petang hari menjelang malam. Dengan tujuan membersihkan atau menyeimbangkan lingkungan (somya). Setelah diarak, ogoh-ogoh akan dibakar (pralina) agar unsur-unsur Panca Maha Bhuta (api, air, tanah, udara, dan cahaya) kembali ke asalnya. Secara simbolik, tradisi tersebut menggambarkan dunia yang kembali berada dalam keseimbangan.
Dewasa ini, tradisi ogoh-ogoh mulai mengalami berbagai macam perubahan dan pergeseran, mulai dari proses pembuatan hingga rentetan upacara pada hari pengerupukan (sehari sebelum hari suci Nyepi) banyak mengalami perubahan. Beberapa tahun ke belakang, ogoh-ogoh mengalami perkembangan dari proses dan bahan-bahan pembuatannya. Seperti penggunaan besi, styrofoam, serta bahan-bahan sintetis lainnya. Kemudian pada hari raya pengerupukan, rentetan acara terakhir bukanlah membakar ogoh-ogoh, tetapi memajang ogoh-ogoh, bahkan tidak sedikit pula ada yang diperjualbelikan sebagai pajangan atau diarak kembali di tahun berikutnya.
Selain itu, tema ogoh-ogoh juga semakin bervariasi, tidak seperti pada awal mula penciptaannya, yaitu hanya bertema bhuta kala atau raksasa saja. Kini tema yang digunakan beragam, mulai dari kisah pewayangan sampai public figure. Sebetulnya tidak ada batasan untuk berekspresi, tetapi dengan berbagai perubahan dan perkembangan yang terjadi, mengakibatkan tradisi ogoh-ogoh kian mengalami disrupsi esensi filosofisnya.

Ogoh-ogoh pada tahun 1980-an di Denpasar | Sumber: kanduksupatra.blogspot.com
Ogoh-ogoh menjadi populer di Bali bermula sejak awal dekade delapan puluhan. Pada masa itu, ogoh-ogoh dikaitkan dengan solusi sosial yang dilakukan pemerintah terhadap beberapa kecelakaan yang terjadi, berupa luka bakar akibat meledaknya meriam bambu yang dipakai masyarakat menjelang hari suci Nyepi.
Dalam makalah yang berjudul Tradisi Mengarak Ogoh-ogoh (2020), I Kadek Tedo Tamara Putra Daniswara menyebutkan, sebetulnya ogoh-ogoh tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara hari suci Nyepi. Pada tahun 1980-an, tercetusnya ide membuat ogoh-ogoh ini berkaitan dengan ditetapkannya hari suci Nyepi sebagai hari libur nasional. Perayaan tersebut ditandai dengan dibuatnya patung atau boneka besar yang akan diarak keliling desa, yaitu ogoh-ogoh.
Cerita lainnya menyebutkan bahwa ogoh-ogoh telah dikenal sejak zaman Dalem Balingkang. Di mana pada masa itu, ogoh-ogoh dipakai pada saat upacara Pitra Yadnya (upacara terhadap roh leluhur).
Teknologi dalam Perkembangan Ogoh-ogoh
Perkembangan teknologi kini kian masif, bahkan telah merambah seluruh aspek kehidupan masyarakat. Teknologi saat ini seolah-olah menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat. Begitu pula dengan seni ogoh-ogoh, tradisi ini juga terpapar perkembangan teknologi yang kian merebak, terutama di kalangan anak-anak muda yang saling adu kreativitas dalam membuat ogoh-ogoh yang kekinian.
Berbeda seperti zaman dahulu, zaman di mana ogoh-ogoh masih sepenuhnya patung–nyelegodog (hanya diam saja), kini sudah tidak asing lagi melihat ogoh-ogoh yang bisa bergerak-gerak selayaknya robot. Perkembangan teknologi pada tradisi ogoh-ogoh yang kerap terlihat adalah pemanfaatan mesin penggerak atau robotik. Terlebih lagi beberapa tahun ke belakang, sedang marak diadakan lomba ogoh-ogoh di kota Denpasar khususnya, dan juga beberapa kabupaten di Bali. Tidak jarang pula, banyak Sekaa Teruna-Teruni (organisasi kepemudaan tingkat banjar/dusun) ataupun komunitas seni yang rela jor-joran mengeluarkan biaya fantastis hanya untuk membuat ogoh-ogoh bermesin, bahkan anggarannya bisa mencapai ratusan juta rupiah.
Kolaborasi ogoh-ogoh dengan teknologi, khususnya robotik semakin menarik perhatian dalam beberapa tahun terakhir. Penggunaan teknologi robotik dalam pembuatan ogoh-ogoh sejatinya bermaksud untuk memberikan pengalaman yang lebih inovatif dan futuristik, serta membuktikan bahwa tradisi ogoh-ogoh juga bisa membaur dengan modernisasi.
Penggunaan teknologi robotik memungkinkan ogoh-ogoh memiliki elemen gerakan. Misalnya, ogoh-ogoh yang biasanya statis dapat diprogramkan untuk bergerak, seperti menggerakkan tangan dan kepala, atau bahkan dibuat seolah-olah terbang maupun berjalan. Teknologi robotik dan motor penggerak dapat dipasang pada struktur ogoh-ogoh, sehingga menambah kesan dramatis dan menakjubkan selama dipamerkan maupun ketika diarak.
Dilansir dari detikBali (7/3/24). Salah satu STT (Sekaa Teruna-Teruni) yang tidak ragu merogoh kocek hingga ratusan juta rupiah adalah Sekaa Teruna Putra Tunggal, yang membuat ogoh-ogoh bertema ‘Bhuta Enjek Pupu’. Pembuatan ogoh-ogoh setinggi 3,5 meter dan berbobot 500 kilogram itu menelan biaya hingga 100 juta Rupiah.
Dalam liputan tersebut, I Ketut Gede Hary Sungihada (Ketua Sekaa Teruna Putra Tunggal) menerangkan, ogoh-ogoh yang menampilkan sosok raksasa bertangan empat dan sosok petani itu menelan biaya besar karena dilengkapi dengan tiga mesin. Alhasil, kepala dan sayap raksasa itu bisa bergerak.
Kemudian, yang paling terkenal adalah ogoh-ogoh dari STT Yowana Saka Bhuwana, Banjar Tainsiat, Denpasar yang setiap tahun selalu ditunggu-tunggu gebrakannya oleh masyarakat. Ogoh-ogoh Banjar Tainsiat identik dengan mesin hidroliknya. Teknologi modern tersebut mampu menggerakkan setiap sendi atau tumpuan ogoh-ogoh. Tentunya, tidak murah dan mudah untuk membuat ogoh-ogoh semacam itu.

Ogoh-ogoh “Tedung Agung” Banjar Tainsiat, Denpasar | Sumber: Beritabali.com
Selain dari proses dan bahan-bahan pembuatan ogoh-ogoh, ada pula kelompok yang mengarak ogoh-ogoh menggunakan sound system yang memekakkan telinga. Pemanfaatan teknologi yang menyimpang seperti ini membuat masyarakat resah. Selain itu, penggunaan sound system juga menghilangkan esensi seni dan tradisi dari ogoh-ogoh itu sendiri.
Dampak Penggunaan Teknologi dalam Tradisi Ogoh-ogoh
Penggunaan teknologi dalam pembuatan ogoh-ogoh membawa banyak dampak positif, terutama dalam hal efisiensi dan inovasi artistik. Penggunaan bahan-bahan modern dan perangkat elektronik memungkinkan seniman menciptakan ogoh-ogoh yang lebih variatif. Selain itu, pemanfaatan teknologi juga membantu mempercepat proses pembuatan, sehingga seniman memiliki lebih banyak waktu untuk fokus pada estetika dan nilai simbolik karya mereka. Media sosial dan platform digital juga berperan dalam mempromosikan ogoh-ogoh, kini anak-anak muda lebih leluasa memperkenalkan karyanya kepada khalayak lewat konten-konten kreatif.
Di sisi lain, penggunaan teknologi juga memiliki dampak negatif, terutama terkait dengan pelestarian nilai tradisional. Dengan teknologi yang semakin mendominasi, risiko melupakan teknik-teknik tradisional serta pakem ogoh-ogoh yang diwariskan turun-temurun menjadi lebih besar. Dari segi pakem dan agem (sikap pokok) ogoh-ogoh menjadi terbatas dan terkesan kaku seperti robot, sehingga kerap dianggap mengurangi keaslian budaya ogoh-ogoh itu sendiri. Kemudian, ketergantungan pada teknologi juga dapat meningkatkan biaya produksi, sehingga menyulitkan Sekaa Teruna Teruni atau komunitas kecil dengan anggaran terbatas untuk bersaing dalam pembuatan ogoh-ogoh.
Secara garis besar, penggunaan teknologi dalam tradisi ogoh-ogoh di Bali memiliki potensi besar untuk membawa inovasi dan keterlibatan lebih luas. Namun, penting untuk menjaga keseimbangan agar teknologi tidak mengurangi nilai-nilai budaya yang terkandung dalam perayaan tersebut. Dengan pemanfaatan yang bijak, teknologi dapat memperkaya dan memperluas pemahaman tentang ogoh-ogoh tanpa mengorbankan esensinya serta filosofisnya. [T]
Penulis: Dede Putra Wiguna
Editor: Adnyana Ole