12 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Panggung, Napas, dan Keberanian Ketika Seorang Perempuan Menjadi Dirinya Sendiri

Pranita DewibyPranita Dewi
March 28, 2025
inUlas Pentas
Panggung, Napas, dan Keberanian Ketika Seorang Perempuan Menjadi Dirinya Sendiri

Pranita Dewi saat memainkan monolog pada acara Mahima March March March 2025 di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Sabtu, 15 Maret 2025 | Foto: Dok. Komunitas Mahima

BEBERAPA waktu lalu, saya naik ke panggung monolog. Bukan karena saya merasa siap. Tapi karena seorang teman, Kadek Sonia Piscayanti, memilih saya menjadi bagian dari proyeknya—Proyek Monolog 100 Perempuan, sebuah rangkaian pementasan monolog yang ia tulis dan sutradarai sendiri. Saya adalah perempuan ke-13. Angka yang ganjil. Tapi terasa pas.

Saya menerima draft awal naskah sebulan sebelum pentas. Lanjutannya baru datang sehari sebelum tampil. Itu saja sudah cukup bikin gemetar. Tapi yang paling mengejutkan adalah isi naskah itu: sebagian besar tentang hidup saya. Ditulis dari sudut pandang Sonia, tapi terasa seperti suara saya yang lama hilang. Seperti seseorang membacakan isi kepala saya sebelum sempat saya tulis sendiri.

Saya merasa telanjang. Tetapi bukan tanpa makna.

Ini adalah monolog pertama saya. Dan saya nervous—bukan karena takut lupa naskah, tapi karena naskah ini terlalu dekat. Terlalu nyata. Seperti berjalan di atas panggung sambil membawa jantung sendiri di telapak tangan. Basah dan berdetak.

Apa yang akan orang-orang pikir? Apakah saya akan tampak terlalu jujur? Terlalu berani? Terlalu… perempuan?

Langit malam itu hujan.

Di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Sabtu, 15 Maret 2025. Acara Mahima March March March 2025.

Ruang pertunjukan kecil dan intim. Lampu sempat dipadamkan, lalu menyala kembali saat giliran saya tampil.

Dan saat itu, saya merasa: saya tidak sedang memerankan siapa-siapa. Saya sedang menjadi saya sendiri. Dengan suara yang utuh. Dengan luka yang tidak saya bungkus.

Panggung sebagai Ruang Napas

Di panggung itu, saya bisa bernapas lebih lebar. Lucunya, di ruang intim, di depan penonton, di bawah sorot lampu yang tidak terlalu terang, justru saya merasa paling bebas. Tidak ada yang menuntut saya untuk sopan, kuat, atau sabar. Saya tidak harus menjelaskan siapa saya, tidak harus menurunkan suara, tidak harus tersenyum untuk menghindari konflik.

Saya berdiri. Saya bicara. Saya jujur.

Dan dunia tidak runtuh.

Pranita Dewi saat memainkan monolog pada acara Mahima March March March 2025 di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Sabtu, 15 Maret 2025|Foto: Dok. Komunitas Mahima

Panggung adalah satu-satunya tempat di mana saya tidak merasa harus meminta maaf karena menjadi diri sendiri. Saya bisa menceritakan utang. Menceritakan hasrat. Menceritakan kelelahan sebagai ibu tunggal yang mencicil hidup satu hari sekali. Saya bisa menyebut nama-nama kebutuhan sehari-hari seperti mantra: susu, gas, tisu basah, baby oil, laundry, kuota.

Saya bisa tertawa saat menyebut alat pemuas hasrat, dan tidak merasa perlu menyensor bagian itu. Karena di atas panggung, tubuh saya bukan lagi objek yang harus dikendalikan orang lain. Ia adalah milik saya. Dan saya berhak bercerita tentangnya.

Tidak ada yang protes. Tidak ada yang menutup telinga.

Mungkin karena semua orang, diam-diam, sedang kelelahan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Dan ketika saya bicara jujur—tentang cicilan, tentang tubuh, tentang keinginan yang tak pernah diajarkan di buku sekolah—mereka pun diam. Mungkin mereka tahu, di balik diam itu, ada sesuatu yang retak. Dan retakan itu terasa familiar.

Kejujuran Adalah Lakon Paling Sulit

Banyak orang mengira yang paling sulit dari sebuah pertunjukan adalah menghapal naskah. Atau mengatur ekspresi. Atau menguasai panggung. Bukan. Yang paling sulit adalah menjadi jujur. Bukan karena saya tidak tahu caranya, tapi karena terlalu lama saya diajari untuk menyembunyikan. Terlalu sering saya diajak bicara pelan-pelan soal luka, seolah jika diucapkan terlalu keras, ia bisa melukai orang lain. Tapi di atas panggung, saya harus berkata apa adanya. Tanpa sensor. Tanpa emoji penenang.

Pranita Dewi saat memainkan monolog pada acara Mahima March March March 2025 di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Sabtu, 15 Maret 2025|Foto: Dok. Komunitas Mahima

Saya menyebutkan angka utang. Menyebutkan rasa frustrasi. Menyebutkan nama-nama kebutuhan hidup yang tidak pernah absen setiap bulan. Dan di saat yang sama, saya juga menyebutkan keinginan-keinginan yang biasanya hanya hidup di bayangan larut malam. Di aplikasi. Di saku rahasia seorang ibu yang terlihat “baik-baik saja”.

Dan anehnya, saat saya mengucapkan semua itu, suara saya tidak bergetar. Bukan karena saya tidak takut. Tapi karena saya lelah takut.

Menjadi Puisi yang Bernyawa

Saya tidak sedang memerankan tokoh. Saya sedang menghidupi napas saya sendiri—yang lama tertahan di antara rutinitas dan kewajiban.

Pranita Dewi saat memainkan monolog pada acara Mahima March March March 2025 di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Sabtu, 15 Maret 2025|Foto: Dok. Komunitas Mahima

Saat saya melafalkan kalimat-kalimat itu di atas panggung, saya merasa sedang membaca puisi… yang ternyata adalah saya. Bukan metafora. Bukan kiasan. Tapi benar-benar saya—dengan semua kegetiran dan geli, tawa dan trauma yang tidak sempat dibereskan.

Ada jeda. Ada ritme. Ada ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh perasaan. Dan di situ, saya sadar: mungkin memang selama ini saya bukan hanya penulis puisi. Saya adalah puisinya.

Puisi yang belum selesai ditulis, tapi sudah harus dibaca keras-keras di hadapan orang banyak.

Puisi yang kadang keliru titik komanya, tapi tetap bernyawa. Tetap bergerak. Tetap hidup. Dan panggung adalah tempat di mana saya diizinkan—untuk tidak rapi, untuk tidak sempurna, untuk tidak selesai. Tapi mencoba beri arti.

Bicara Soal Tubuh, Hasrat, dan Hak untuk Tidak Tabu

Saya menyebut alat pemuas hasrat di atas panggung. Saya melihat beberapa mata menyala. Seolah mereka sedang menyaksikan sesuatu yang sudah lama ingin mereka dengar, tapi tak ada yang berani mengatakannya. Sebagian penonton mungkin tersenyum kaget, tapi tidak pergi. Karena mereka tahu—ini bukan tentang seks. Ini tentang tubuh. Tentang hak. Tentang pengakuan bahwa perempuan juga punya keinginan, dan itu bukan aib.

Saya tumbuh dalam dunia yang selalu menempatkan tubuh perempuan sebagai misteri yang harus ditutupi, dikontrol, atau dibentuk agar “layak.”

Pranita Dewi saat memainkan monolog pada acara Mahima March March March 2025 di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Sabtu, 15 Maret 2025|Foto: Dok. Komunitas Mahima

Tapi malam itu, saya memutuskan untuk menyebutnya. Menyebut hasrat saya. Menyebut kebutuhan saya. Menyebut bahwa saya bisa puas tanpa harus mencocokkan diri dalam kerangka yang digariskan orang lain. Dan jujur saja—rasanya seperti mencabut duri dari dalam dada.

Karena ketika tubuh tidak lagi jadi hal yang memalukan, kita bisa mulai mengenalnya sebagai rumah. Dan saya ingin tinggal di rumah saya sendiri, dengan lampu menyala, tidak ada ruangan yang dikunci.

Perempuan, Puisi, dan Keutuhan Diri

Monolog ini bukan sekadar pertunjukan. Ini adalah perjalanan pulang—ke diri saya sendiri.

Selama bertahun-tahun, saya terbiasa jadi banyak hal untuk banyak orang: ibu, pekerja, manajer, penulis, pejuang tagihan. Tapi malam itu, di atas panggung, saya berhenti jadi “siapa pun” dan kembali jadi “saya”.

Dan ternyata, saya cukup.

Saya cukup sebagai perempuan yang punya kisah rumit. Saya cukup sebagai manusia yang tidak selalu bisa mengatur hidupnya. Saya cukup, bahkan saat saya bicara tentang hal-hal yang dunia anggap tabu. Saya cukup menjadi penjahat yang banyak menyakiti hati orang lain.

Dan dari tempat itu—dari ruang yang remang tapi penuh cahaya jujur—saya merasa utuh. Bukan sempurna, tapi utuh. Dengan semua luka dan tawa getir, semua cicilan dan pelukan anak, semua keberanian dan rasa takut yang datang bersamaan.

Pranita Dewi saat memainkan monolog pada acara Mahima March March March 2025 di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja-Bali, Sabtu, 15 Maret 2025|Foto: Dok. Komunitas Mahima

Saya ingin perempuan lain juga punya panggung seperti ini. Entah panggung itu di depan penonton, di halaman buku, atau di cermin kamar mandi. Panggung di mana kita bisa berdiri, bicara, dan tidak merasa perlu minta maaf karena menjadi diri sendiri.

Karena kita bukan hanya layak didengar.

Kita adalah puisi yang bernyawa.

Dan dunia harus tahu bunyinya.

Untuk Sonia

Saya tahu, tak mudah menulis tentang hidup orang lain. Apalagi menulisnya dengan jujur, penuh empati, tanpa menghilangkan sudut tajam dan kelokannya. Tapi Sonia melakukannya—dengan keberanian yang sunyi dan ketajaman yang lembut.

Ia bukan hanya menulis naskah untuk saya. Ia menulis saya.

Dan saya merasa dilihat, dipahami, dan diizinkan untuk hadir secara utuh—tanpa harus menjadi versi yang lebih rapi dari diri saya. Terima kasih, Sonia Piscayanti, karena sudah menjadi pena yang tidak menutup luka, tapi justru membuatnya bersinar. Karena sudah menjadi ruang aman tempat suara saya bisa lahir kembali. Dan karena sudah percaya, bahwa perempuan bisa menjadi puisi… dan panggung adalah tempat ia mulai bernapas lagi. [T]

Penulis: Pranita Dewi
Editor: Adnyana Ole

“Memilih Menjadi Aku” – Catatan Kecil Tentang Monolog yang Aku Mainkan
Mahima Menumbuhkan Saya, Saya Menumbuhkan Mahima – Orasi Budaya Mahima March March March 2025
Renggama, Kelompok Musik Anyar yang Tak Biasa-biasa Saja dari Bali Utara
Yang Tak Biasa Menjadi Seorang Ibu | Catatan Monolog Nova Aryani, “Hidup Dimulai di 40”
Tags: Komunitas MahimaMahima March March March 2025Monolog
Previous Post

Nyepi di Gumi Delod Ceking Dekade 1970-an

Next Post

Etnis Tionghoa di Tuban: Penggerak Perekonomian Era 50-an

Pranita Dewi

Pranita Dewi

Penyair. Tinggal di Denpasar

Next Post
Etnis Tionghoa di Tuban: Penggerak Perekonomian Era 50-an

Etnis Tionghoa di Tuban: Penggerak Perekonomian Era 50-an

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Pulau dan Kepulauan di Nusantara: Nama, Identitas, dan Pengakuan

by Ahmad Sihabudin
May 12, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

“siapa yang mampu memberi nama,dialah yang menguasai, karena nama adalah identitas,dan sekaligus sebuah harapan.”(Michel Foucoult) WAWASAN Nusantara sebagai filosofi kesatuan...

Read more

Krisis Literasi di Buleleng: Mengapa Ratusan Siswa SMP Tak Bisa Membaca?

by Putu Gangga Pradipta
May 11, 2025
0
Masa Depan Pendidikan di Era AI: ChatGPT dan Perplexity, Alat Bantu atau Tantangan Baru?

PADA April 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh laporan yang menyebutkan bahwa ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng,...

Read more

Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

by Karisma Nur Fitria
May 11, 2025
0
Animal Farm dalam Interpretasi Pemalsuan Kepercayaan

PEMALSUAN kepercayaan sekurangnya tidak asing di telinga pembaca. Tindakan yang dengan sengaja menciptakan atau menyebarkan informasi tidak valid kepada khalayak....

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co