NYEPI di Gumi Delod Ceking kawasan Nusa Dua, Jimaran, dan sekitarnya, pada dekade 1970-an sangat berbeda dengan Nyepi kini era 2020-an. Pada era 1970-an, meski tanda-tanda perubahan sudah di depan mata akibat pemblokiran tanah-tanah penduduk di Kawasan Nusa Dua oleh BTDC (kini : ITDC) pada zaman awal Orde Baru dengan Presiden Soeharto, tapi suasana hening masih terasa begitu dalam dan khusyuk.
Terlepas dari riak-riak politik kala itu, guyub masyarakat masih sangat kuat terasa dalam bergotong royong dengan sebutan ngidih olas. Tradisi ngidih olas biasanya berhubungan dengan kegiatan membajak di kebun, membangun pelinggih, membangun rumah, memindahkan rumah. Semuanya dilakukan tanpa bayaran, cukup diganti dengan kopi-jaja kukus dan makan siang. Obrolan pun mengalir dan mengalur penuh suka cita.
Menjelang dekade 1990-an, tradisi ngidih olas mulai ditinggalkan. Orang dari Gumi Delod Ceking mulai dengan sistem kerja harian/borongan. Mula-mula berlaku bagi keluarga terdekat, lambat laun ke tetangga jauh. Anehnya, banyak yang memercayakan kepada tetangga jauh dengan penawaran serendah-rendahnya, tetapi pekerjaan belum selesai dan upah sudah dilunasi, lalu ditinggal tanpa pesan.
Mereka terlalu percaya dengan omongan bualan janji manis orang yang tidak dikenal sebelumnya, penyesalan pun menyusul. Orang setempat menyebutnya, kacangkik tukang alias dibohongi tukang. Hal itu terjadi karena rapuhnya ikatan kekeluargaan, tetapi menguatnya ilmu “kebatinan” dalam arti mencari banyak keuntungan (ngalih bati) menjadi penguat manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus).
Apa hubungannya dengan Hari Suci Nyepi Saka 1947, yang jatuh bersamaan dengan Tumpek Wariga, Sabtu Kliwon 29 Maret 2025 ini?
Dengan menggunakan pendekatan trisemaya atita (masa lalu), wartamana (masa kini), dan anagata (masa depan), kita dapat menarik garis linearitas keterhubungan antarwaktu, dengan segala dinamikanya. Sebelum dekade 1980-an, orang-orang Delod Ceking adalah orang-orang yang homogen. Mereka amat bergantung pada alam (laut dan darat/abian). Bila Nyepi tiba, keguyuban mereka amat terasa.
Nyepi adalah ajang bersilaturahmi antarguyub. Pagi hingga siang mereka saling bersilaturahmi dengan hidangan kue yang dibuat bergadang semalam sebelum Nyepi. Persis setelah Ngerupuk di tengah kegelapan dapur dengan kayu bakar. Mengapa gelap? Listrik belum ada, air pun susah, makanya dihemat.
Kala itu, orang-orang Delod Ceking bersilturahmi pada hari Nyepi dari pagi hingga siang. Saling mengunjungi sanak saudara dengan cerita kisah agraris dan maritim berteman kopi, jongkong tabu (jaja waluh, ini ada lagunya pula dari A.A. Made Cakra), sumping, jaja kukus, pulung-pulung ubi (ada lagunya pula dari A.A. Made Cakra), orog-orog (ubi diurab dipulung dan ditaburi gula bali). Semua bahannya dari abian, bukan swalayan yang dikenal kini.
Oleh karena mereka juga pangangon, maka pakan sapi pun disiapkan sehari menjelang Nyepi dengan ngarit padang untuk stok saat Nyepi. Aneh juga kalau dipikir, saat Nyepi sapi dikandangkan. Majikannya melayani dan memberikan padang hijau yang khusus disiapkan, Sementara itu, si majikan bersenang-senang dalam bungkus silaturahmi (masima krama). Dengan kalimat lain, majikan membatasi ruang gerak buat sapi untuk terikat di kandang.
Sore harinya, mereka nyelisib mengunjungi situs-situs dekat pantai dan melaut. Krama Desa Adat Kutuh, misalnya mengunjungi Pura/situs-situs di tebing ngampan seperti Pura Batu Pageh, Pura Batu Madinding, atau Song Bintang. Situs Song Bintang terletak beberapa meter di utara tebing ngampan sekitar 600 meter di Barat Pura Gunung Payung. Song Bintang konon terhubung langsung ke goa yang tembus ke laut. Apresiasi mereka berkecenderungan mendekat ke laut, dengan berjalan kaki.
Dekade sebelum 1970-an, Nyepi sore hari rerata orang-orang Delod Ceking ke pantai. Krama Desa Adat Bualu, Peminge, Jimbaran, bahkan krama Kuta juga masliahan ke pantai setelah paginya mereka masima krama. Maklumlah sore hari saat Nyepi adalah pananggal apisan dan air laut surut. Mereka bukan sekadar mandi ke laut saat Nyepi, melainkan juga mencari isin payuk untuk lauk.
Setiba di pondok masing-masing, mereka membuat soup ikan. Nyala api dari kayu bakar tak terhindarkan. Saya yang saat itu sudah diingatkan guru tentang Catur Brata Nyepi ketakutan, jangan-jangan diendus guru dilaporkan terus dihukum. Ketakutan pada guru begitu kuat padahal tidaklah mungkin para guru itu tahu, apa yang kami kerjakan di rumah saat Nyepi karena pondok sangat jauh di leke-leke posisinya.
Tempat di leke-leke dulu, kini sudah menyala dan berbinar diincar wong sunantra (orang asing). Entah dari mana mereka berasal. Tertutup dan terasing dari alam lingkungan dengan tembok tinggi tiadalah ramah lingkungan. Paradoks di tengah-tengah penghuni aslinya yag terkenal ramah tamah. Memang kata “ramah” sama fonem pembentuknya dengan kata “marah” sehingga orang marah juga mudah ditemukan di balik orang ramah yang bersembunyi, nyineb wangsa. Koh ngomong.
Begitulah, zaman berubah. Orang dari negeri jauh datang dan pergi. Ada yang tinggal sekejap seperti juru foto sekadar memotret lalu diviralkan. Tidak sedikit pula yang lama tinggalnya bahkan masa tinggalnya sudah habis dan kadaluwarsa. Anehnya, mereka bikin onar susah diatur. Bila ditertibkan saat Nyepi mereka pura-pura tidak tahu dengan alasan orang baru dan tidak faham. Pecalang pun dibuat repot. Inilah tantangan Nyepi kini, memerlukan penyadaran ke dalam dan ke luar. Ke dalam dengan krama Hindu sendiri dan ke luar dengan semeton non-Hindu yang jumlahnya kian banyak dengan kultur, agama, dan tingkat sosial ekonomi yang beragam. Tidaklah mudah mengelola mereka. Namun, kita tidak boleh menyerah apalagi mengeluh.
Berbeda dengan dekade 1970-an ketika penduduk Gumi Delod Ceking masih relatif homogen. Kendaraan dan sepeda motor tidak banyak. Jalanan tidak macet pikiran orang-orannya pun tidak mumet. Ogoh-ogoh belum sepopuler kini. Ogoh-ogoh mulai dikenal awal 1980-an. Ogoh-ogoh dibuat dengan kekuatan dan kemandirian penuh, tanpa bansos. Bahan-bahannya pun seadanya. Ogoh-ogoh diarak keliling desa diikuti pasukan obor dari sekaa teruna dan anak sekolah. Setelahnya mereka kembali ke banjar masing-masing menikmati makanan seadanya dalam guyub bermasyarakat. Jadi, tujuh kebiasaan Anak Indonesia Hebat gagasan Mendikdasmen Abdul Mu’ti sudah dilaksanakan anak-anak muda Bali sejak dahulu kala.
Mengenang Nyepi era 1970-an saat saya masih SD adalah sebuah nostalgia rindu dengan masa kanak-kanak. Rindu mendapat kue dari rumah ke rumah. Makanan rakyat yang bentuk, jenis, dan bahannya seragam sebagai simbol ketahanan pangan. Masyarakat di tengah kesulitan, begitu cerdas matakeh untuk bisa bertahan hidup yang kini lebih diproyekkan sebagai Proyek Ketahanan Pangan. Hasilnya pun belum optimal. Berbeda dengan era 1970-an, semuanya bertahan dengan laku guna dusun. Semua hasil abian dimakan penuh rasa syukur dengan ngobrol kangin kauh sambil menyeruput kopi.
Rahajeng Rahina Suci Nyepi Saka 1947. Mogi rahayu sekala-niskala. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole