SEBUAH pengalaman yang sungguh menarik dan menyenangkan, diajak ikut mengkurasi sebuah acara yang di luar seni rupa sebagai Gurat Institute. Ayu Anantha, selaku Founder Sanggar Kerta Art Performance, ingin membuat sebuah acara untuk Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day, yang diperingati setiap 8 Maret. Acara ini berlangsung di Titik Dua, Ubud, sebuah bangunan yang sungguh kontemporer karya Andra Matin, berjudul “Gerak Bersuara: Perempuan Berkarya, Berdaya Budaya”.
Ayu bercerita bahwa kegiatan ini akan berisikan berbagai bentuk seni – gerak, suara, tekstil, diskusi – yang menyoroti peran perempuan dalam pelestarian warisan budaya di tengah modernisasi. Karena latar belakang saya yang tidak dari seni gerak ataupun performance, maka agak sulit membayangkan di awalnya seperti apa yang akan disuguhkan karena sebagian besar masih berproses menyiapkan karyanya. Berbeda dengan melihat proses karya visual yang dimana kita melihat sketsa atau proses karya yang belum selesai secara fisik maupun lewat foto.
Namun, saya yakin kurasi yang dibuat bersama Ayu ini akan menjadi yang pengalaman yang mungkin tidak biasa ditemukan di tengah ruang arsitektur seperti Titik Dua. Dan di saat yang sama memperlebar kemungkinan kurasi performing arts di Bali yang tidak hanya perayaan kesenian tradisional semata. Di hari perayaan itu, saya sangat terkagum-kagum dengan alur yang dikreasikan oleh Ayu dan Kerta Art, dengan gongnya sebuah Tari Legong Lasem ditarikan secara massal.

Olen Riyanto dan Ishak Tobias dari Mabiang Seni | Foto: Kerta Art
Suasana yang dibangun oleh Kerta Art diawali dengan alunan akustik dari Olen Riyanto dan Ishak Tobias. Sambil mendengarkan alunan merdu duo dari Mabiang Seni tersebut dan pasar Sore Sore mulai dibuka, berdatangan para partisipan tari Legong massal yang juga penonton acara, beserta publik lainnya.
Partisipan penari itu tidak saja perempuan dewasa, tetapi juga anak-anak perempuan. Maka audiens yang beragam dan antar generasi ini sungguh menggugah rasa senang, beberapa ikut menari di depan lantunan akustik itu. Yang semakin membuat terkagum-kagum, ada seorang teman yang bukan penari pun datang mengajak ibunya untuk menikmati acara ini, merayakan Hari Perempuan Internasional dengannya.

“Wit Raga” oleh Arjuna Sutedja dan Arjuna Production Bali | Foto: Kerta Art
Tari Pembukaan “Wit Raga” oleh Arjuna Sutedja dan Arjuna Production Bali, yang mengajak ibunya yang seorang penari ikut di dalam berkolaborasi, menceritakan perjalanan Arjuna dan ibunya. Moment yang sangat manis dan mengharukan melihat pertunjukan yang penuh warna serta pesan-pesan yang menginspirasi.
Setelah itu hadir sebuah peragaan busana dengan kain endek Bali karya Pertenunan Setia Cap Cili yang menghadirkan aktris dan penyanyi gadis Bali, Thaly Kasih, dan Puteri Indonesia 2022 yang juga perwakilan Miss Universe Indonesia, Laksmi De Neefe Suardana. Peragaan busana itu diiringi dengan sebuah kidung, dan dilengkapi dengan cerita tentang Setia Cap Cili, sebuah pertenunan yang sudah berdiri sejak 1948 di Gianyar, oleh penerusnya Idon Pande. Cerita-cerita yang terselubung disuguhkan dalam kedua seni performatif ini memberikan gambaran cerita turun-temurun yang terjadi di Bali, bagaimana warisan budaya diteruskan oleh generasi selanjutnya.

Fashion Show Kerta Art x Setia Cap Cili dengan model Thaly Kasih | Foto: Kerta Art
Selanjutnya ada Panggung Bertutur oleh Ni Kadek Purnami yang membawakan “Sebab Cinta” kepada anak-anak yang hadir. “Sebab Cinta” menceritakan tentang seorang anak perempuan yang hanya diperintahkan oleh ibunya untuk membantu berhias saat ia akan menari, memiliki keinginan mencoba menari juga.
Lalu Putu Devi Kariasih membawakan tarian teranyar yang juga Tugas Akhir-nya “Humanoid”. Di tengah tarian yang menari dalam tradisi dan modernisasi itu ia juga menuju ke audiens dan ternyata mengajak anak-anak di sekitarnya merespon gerakannya juga. Kedua acara ini sungguh seru karena anak-anak perempuan itu begitu antusias meramaikan dan meresapi karya-karya yang telah dibuat oleh perempuan yang lebih dewasa.

Tari Humanoid oleh Putu Devi Kariasih | Foto: Kerta Art

Ni Kadek Purnami bertutur “Sebab Cinta” | Foto: Kerta Art
Semakin sore karya-karya yang disuguhkan semakin kekinian namun tidak meninggalkan maksud dalam mewariskan budaya. Karya-karya tersebut adalah suguhan Tata Rias Pengantin Bali oleh Jenitra Baliwedding dan Live music dari Sraya Murtikanti. Jenitra Baliwedding, yakni Santi Sukma Melati dan modelnya Fenny Diaristha, tidak menghadirkan talkshow tata rias seperti biasanya, malah menunjukkannya juga melalui seni performatif.
Sedangkan Sraya dengan performance solo-nya menyuguhkan irama-irama gamelan yang tidak biasa. Keduanya memberikan angin segar dan ternyata, keduanya datang dari angkatan Ni Wayan Penawati, kolega kurator perempuan di Gurat Institute, saat berkuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Bali. Dimana Sukma dan Fenny merupakan mahasiswi Program Studi Tari dan Sraya merupakan satu-satunya mahasiswi Program Studi Seni Karawitan (dimana situasi yang sama terjadi dengan Penawati di Seni Rupa Murni saat itu).

Jenitra Baliwedding dengan performance art nya | Foto: Savitri

Sraya Murtikanti solo live performance | Foto: Kerta Art
Ini membuat saya berpikir, di saat saya cuma mengetahui perkembangan alumni-alumni seni rupa saja, sangat membanggakan juga melihat lulusan-lulusan perempuan perupa seni pertunjukan karirnya juga berkembang. Mereka juga tidak berhenti mengeksplorasi yang sering dikatakan tradisi dalam tari dan karawitan Bali. Inovasi yang ditanamkan oleh para perempuan perupa tari dan karawitan ini bisa sangat beragam dan menginspirasi. Ini yang Ayu Anantha sampaikan kepada saya juga di awal kurasi, bahwa ia ingin menunjukkan dan merayakan keberlangsungan kekaryaan seni pertunjukan di Bali.
Tidak itu saja, Ayu yang memang memiliki Sanggar Kerta Art, tidak hanya mengundang yang belajar menari dengannya, tetapi juga masyarakat lokal di desanya, beserta komunitas penari serta pemilik-pemilik UMKM lokal lainnya. Mereka pun datang, menikmati acara yang berlangsung dan ikut menari saat Tari Legong Lasem massal di dalam gedung yang sangat bertolak belakang dengan bentukan tradisi Bali – dan mungkin banyak yang pertama kali datang ke Titik Dua.
Tari Legong Lasem Massal menjadi gong di acara ini, diikuti puluhan perempuan dewasa dan anak-anak, memberikan energi yang sangat positif akan pemberdayaan perempuan. Lalu, alunan penutup dari Raissa Febriani mengantar para audiens untuk cool off dari tarian yang penuh energi sebelumnya dan menikmati senja bersama.

Legong Lasem Massal di Titik Dua | Foto: Savitri
“Gerak Bersuara” yang ditujukan tidak hanya sebagai perayaan seni tetapi juga sebagai refleksi atas keberlanjutan perempuan mampu berkarya, berdaya, dalam menjaga nilai-nilai budaya lokal, benar-benar bergerak di antara bangunan Titik Dua yang kontemporer.
Pertemuan tradisional kontemporer ini adalah harapan Sanggar Kerta Art Performance dalam menciptakan ekosistem seni yang lebih inklusif serta mendukung keberlanjutan budaya lokal ke konteks yang lebih luas. Tentunya acara ini telah menambah kemungkinan-kemungkinan berkarya dalam pelestarian budaya. Juga memperkaya budaya visual Bali yang terus bergerak dinamis, kreatifitas tanpa batas. [T]
Penulis: Savitri Sastrawan
Editor: Adnyana Ole