WAKTU seperti berpihak untuk memuliakan napak tilas perjalanan Tirtayatra Toska di Gumi Delod Ceking, Kuta Selatan, Badung, saat Siwa Ratri, 27 Januari 2025. Dalam sebulan terakhir, Hari Suci Hindu datang beruntun, mulai dari Saraswati, Banyu Pinaruh, Soma Ribek, Sabuh Mas, dan Pagerwesi (8-12 Februari 2025) hingga Tumpek Landep (22 Februari 2025).
Saat Saraswati, misalnya pagi-pagi saya sebagai Plt. Kepala Sekolah, melaksanakan Saraswati Puja di SMA Negeri 2 Kuta. Selanjutnya, sekitar pukul 10.00 Wita melaksanakan persembahyangan Saraswati di SMA Negeri 2 Kuta Selatan, Lalu, menjelang Pukul 12.00 melanjutkan Perjalanan Tirtayatra ke Pura Dalem Lamun, Pura Taman Sari, dan Pura Bias Tugel di Kawasan ITDC Nusa Dua, Kuta Selatan, Gumi Delod Ceking.
Teristimewa lagi, Hari Suci Pagerwesi (12 Februari 2025) bertepatan dengan Purnama Sasih Kawulu, sebagai puncak Pujawali di Pura Dang Kahyangan Gunung Payung. Pujawali di Pura ini nyejer selama 3 hari sejak 2005. Sebelum 2005, Ida Batara nyejer sehari yang oleh krama penyungsung-nya disebut sebagai Karya Jro Mangku, sedangkan karya puncaknya di sebut Pujawali Desa Adat Kutuh. Nyejer sehari disebut Karya Jro Mangku karena dibiayai oleh Jro Mangku kala itu, terkait ngaturang sarin taun, sarin pegaen mengelola tanah Pelaba Pura Gunung Payung yang luasnya mencapai 15 Ha lebih.
Kini, Pelaba Pura dikelola oleh Desa Adat di bawah manajemen Bhaga Utsaha Manunggal Desa Adat (BUMDA) Unit Usaha Gunung Payung. Di Desa Adat Kutuh, terdapat sejumlah Unit Usaha Desa Adat, antara lain Unit Usaha Timbis Paragliding, Unit Usaha Pantai Pandawa, Unit Usaha Piranti Yadnya, Unit Barang dan Jasa. Dalam 10 tahun terakhir, BUMDA Kutuh memberikan dampak positif bagi pemenuhan hak dan kewajiban krama desa.
Kembali ke Pujawali Pura Gunung Payung yang jatuh pada Purnama Kawulu bersamaan dengan Buda Kliwon Sinta (Pagerwesi) menarik dicermati.
Pertama, sebagian orang dari Gumi Delod Ceking menyebut Pagerwesi seperti Galungan di Buleleng karena saat Pagerwesi mereka ngaturang punjung ke setra buat orang meninggal yang belum di-aben, sedangkan orang Bali Selatan ngaturang punjung serupa pada saat Hari Suci Galungan. Lalu, ada yang mengaitkan serba terbalik antara arah kaja-kelod. Kaja di Buleleng sama dengan Kelod di Bali Selatan, tetapi Kangin – Kauh dan Atas – Bawah sama dengan Bali Selatan umumnya. Ya, Buleleng, “Ada-ada dogen”, seperti judul lagu A.A. Made Cakra.
Kedua, jika Galungan nemu gelang dengan Purnama disebut Galungan Nadi, maka Pagerwesi bersamaan dengan Purnama (Kawulu) sebagai Pagerwesi Nadi juga. Hanya saja, saat Pagerwesi tradisi memasang Penjor tidak umum ada di Gumi Den Bukit, seperti dikatakan I Wayan Rasta dan Bajrayana, guru asal Buleleng. Dulu, di Gumi Delod Ceking, Galungan nadi ditandai dengan mendirikan penjor. Belakangan, orang-orang Delod Ceking mendirikan penjor di setiap gerbang rumah saban menjelang Galungan. Budaya beragama berubah seiring zaman mengikuti elan napas ekonomi yang berkembang.

Sekaa Unen Br. Sawangan Peminge masolah di Madya Mandala Pura Gunung Payung (14/2/2025 | Foto : I Ketut Lencanayasa
Selain nemu gelang-nya Purnama Kawulu dengan Pagerwesi bersamaan dengan Pujawali Pura Gunung Payung ada catatan menarik yang perlu diketahui para pamedek. Selama nyejer Pujawali di Pura Dang Kahyangan Gunung Payung juga diramaikan oleh tiga Sekaa Unen : Sekaa Unen Banjar Pantigiri Kutuh, Sekaa Unen Jaba Desa Adat Bualu, dan Sekaa Unen Banjar Sawangan Desa Adat Peminge. Sekaa Unen Banjar Pantigiri Kutuh sebagai tuan rumah adalah Ratu Ayu Manik Sari yang biasanya membuka acara masolah pada Puncak Pujawali (Purnama Kawulu), sebelum Sekaa Unen dura desa masolah.
Sekaa Unen dura desa, Jaba Bualu dan Banjar Sawangan Peminge berupa Barong dan Rangda, biasanya masolah pada saat nyejer hari pertama dan kedua. Selanjutnya, saat nyejer hari ketiga, setelah acara maprani dilanjutkan dengan ngaturang Sesayut Panglebar oleh Desa Adat Kampial dan Desa Adat Peminge. Desa Adat Kampial juga mempunyai tugas ngenterang Tabuh Rah secara turun-temurun, dari zaman ilu sampai kini tanpa putus. Sebagai tuan rumah, Desa Adat Kutuh, paling akhir juga ngaturang sesayut panyineb. Biasanya diakhiri dengan ngaturang pengaksama, terima kasih, dan permohonan maaf yang terungkap dalam puja pemangku pemuput dan kidung pengaksama.”Pengaksamane kaluhur, Manunas waranugrahane, Manawi kirang ne kaatur,Agung sinampura ugi, Canange asebit sari, Mangda ica Ida nyingak, Nonton saking luhur, Mamuptang sami”.
Menarik pula dicermati tiga Sekaa Unen yang ngayah di Pura Dang Khayangan Gunung Payung berasal dari desa adat berbeda.
Pertama, semua Sekaa Unen hadir dengan pepatih yang pada akhir pementasan selalu dengan tradisi ngurek, ngunying, matebekan (keris dance). Semangat sekaa gong dengan pepatih biasanya mendapat respon positip dari penonton dengan segala puja-puji sebagai tari persembahan yang tulus ikhlas. Memasrahkan diri dengan Hyang Kuasa sebagai bentuk refleksi diri untuk mulat sarira, belajar ke dalam. Kata Gde Prama, “Mengetuk pintu dari dalam”.
Kedua, kehadiran Sekaa Unen di Pura Gunung Payung ibarat bunga yang mengundang datangnya lebah berlebih untuk berkerumun. Begitu Sekaa Unen menabuh gamelan, penonton merapat dan mendekat ke kalangan (panggung) pementasan, memilih tempat duduk yang strategis untuk dapat mengabadikan tarian melalui kamera HP masing-masing. Selanjutnya, para penonton zaman now beramai-ramai mengunggah di Media Sosial untuk mendapatkan follower dengan power terbaik. Penonton yang umumnya pemedek mendapat tuntunan yang gratis.
Bila ingin mendalami kisah tarian yang ditonton, dapat bertanya langsung kepada Kelihan Sekaa Unen yang paham seluk-beluk sekaa dan informasinya natural dari narasumber utama. Kisahnya dijamin menarik dengan kecerdasan yang tak terduga bisa melampaui kemampuan analisis seorang ahli kebudayaan. Hal ini mengingatkan kita pada kenyataan teori decentering sastra bahwa pusat-pusat kemuliaan informasi tidak melulu menjadi dominasi orang-orang di pusat kekuasaan. Kemuliaan itu bisa ditemukan di pinggiran yang tak terekspose secara masif. Wacana membangun dari desa/pinggiran adalah menyiapkan tepi kekuasaan yang indah dan mulia dari orang-orang kecil yang suntuk masolah mengolah hati dengan olah otak menyelaraskan watak dengan rasa dan raga.
Ketiga, Sekaa Unen yang berbeda dari berbagai desa penyungsung yang berdekatan itu dapat mempersatukan aneka kepentingan untuk ngaturang ayah secara bersama-sama. Saling meminjam gamelan, saling suport antar Sekaa Unen mencerminkan guyub manyama braya. Semangat persatuan dan kesatuan yang selalu dikampanyekan para petinggi negeri, tampaknya menemukan titik kulminasinya dalam guyub Sekaa Unen. Dengan demikian, Sekaa Unen telah melaksanakan Dharma Agama sekaligus Dharma Negara.
Begitulah Sekaa Unen yang ngaturang ayah masolah, memberikan pelajaran berharga bagi sekaa dan penonton secara gratis. Kata ‘masolah’ selain berarti menari juga bermakna berperilaku secara etis (beretika). Pakem-pakem tarian mengikuti karakter dan peran yang dimainkan sesuai etika karakter tokoh protagonis dan antagonis antara Barong dan Rangda. Penari yang disebut pragina itu menempatkan diri menurut pakem wirama, wirasa, wiraga, wicara untuk penguatan soft skill. Pandangan tradisional Bali ini sesuai dengan ucapan David Suzuki akademikus Kanada yang mengatakan, “Literasi mental dan moral menjadi sangat penting bagi manusia pembelajar, lebih-lebih mereka di posisi pemimpin”.

Sekaa Unen Br. Sawangan Peminge masolah di Madya Mandala Pura Gunung Payung (14/2/2025 | Foto : I Ketut Lencanayasa
Begitulah Puja Wali di Pura pada umumnya, tak terkecuali di Pura Gunung Payung menyediakan teks terbuka bagi ruang tafsir modern yang dapat dipadupadankan dengan pendapat para ahli dunia. Mengapa? Sebab ritual dengan banten yang menyertainya bersumber dari energi alam semesta yang diterjemahkan oleh manusia Hindu Bali dengan aneka tetuasan simbolik yang perlu dikupas dengan teori semiotik. Sebagaimana hakikatnya, banten dapat ditelisik dari baan enten, sebagai upaya penyadaran terus-menerus (puja wali) yang menjadi dasar utama Pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar memanusiakan manusia. Orang Hindu Bali melakoninya melalui Pujawali mengikuti siklus waktu sesuai dengan tradisi di masing-masing Pura. Di Pura Dang Kahyangan Gunung Payung, siklusnya setiap Purnama Sasih Kawulu yang dalam tradisi agraris tempo dulu, persis ketika padi beling menjelang berbuah. Ibarat manusia, hamil tua yang segera melahirkan anak yang suputra. [T]
enulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT