“Melali sambil tirtayatra!”. Ini seperti peribahasa: sekali mendayung dua pulau terlampaui.
Dan perjalanan “sekali mendayung untuk melampaui dua tiga pulau” ini sudah seperti tradisi di keluarga besar kami, setiap awal tahun, sebelum kami menjalani hari-hari berikutnya yang penuh dinamika.
Harapannya, dalam satu tahun ke depan, kami selalu sehat, panjang umur, bahagia dan tak kekurangan apapun agar bisa bersama-sama, kembali jalan-jalan sambil tirtayatra ke pura yang berbeda-beda.
Seperti di awal tahun 2025 ini, keluarga besar kami, dari yang paling kecil yaitu cucu cicit, sampai yang paling dewasa yaitu kakek-nenek, bersama-sama melakukan perjalanan ke Pura Pajinengan Tap Sai.
Tujuannya, pada yang kecil kita mengenalkan kerukunan untuk saling asah-asuh dan kebiasaan ke Pura untuk mebhakti. Pada yang dewasa, untuk mengeratkan dan mengekalkan kekerabatan. Karena, menurut saya, “Keluarga adalah garda terdepan untuk tercapainya kerukunan seluruh umat manusia.”
Di sini bukan kami sok religius hingga menempuh perjalanan spiritual dan mengunjungi Pura-Pura yang jauh. Tetapi mengunjungi sebuah Pura, sembahyang, menghaturkan banten bahkan melukat sebagai sarana bhakti kami pada Hyang Widhi.
Selain itu, juga untuk mencari kegembiraan dan kedamaian hati karena kami pergi dan jalan-jalan ke tempat yang baik. Juga untuk tahu dan mengenal Pura-Pura tua dan bersejarah yang ada di jagat Bali ini.
Seperti awal tahun ini. Kami mengunjungi dan sembahyang di pura kahyangan jagat yang ada di Dusun Purugai, Kecamatan Rendang Karangasem. Yaitu Pura Pejinengan Tap Sai atau lebih dikenal dengan Pura Tap Sai.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/winar-ramelan.-tirtayatra2-1-577x1024.jpg)
Perjalanan ke Pura dengan melewati hutan hijau | Foto: Winar
Untuk menuju ke sana memang memerlukan perjuangan, karena berada di lereng Gunung Agung dan di tengah hutan belantara dengan medan yang menanjak serta sempit.
Karena awal tahun adalah musim penghujan dan tahun ini hujannya cukup deras yang menjadikan jalannya rusak akibat banjir, perjalanan kami sedikit tersendat karena harus pelan dan berhati-hati agar selamat sampai tujuan.
Tetapi kecemasan kami sirna setelah mendekati lokasi. Karena sepanjang jalan terlihat kebun warga dengan aneka tanaman buah yang segar, yang tentu saja menjadi pemandangan langka buat kami yang dari Denpasar, lalu memasuki wilayah yang diapit oleh hutan pinus yang hijau dan sunyi.
Ketika berada di perjalanan, kami kira hanya ada rombongan kami yang akan tangkil, karena sepanjang perjalanan tak bertemu dengan kendaraan lain yang membawa pemedek. Ternyata perkiraan kami salah. Di parkiran sudah penuh kendaraan, pemedek juga ramai. Artinya, meski pura ini letaknya di lereng gunung dan di tengah hutan belantara, umat tetap antusias untuk mengunjunginya dan sembahyang di sana.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/winar-ramelan.-tirtayatra3-618x1024.jpg)
Berpose dulu di areal Pura | Foto: Winar
“Wooow!” Itulah kesan pertama saat melihat ke sekeliling, pemandangan yang hijau dan indah, pada tebing tebingnya tumbuh pohon-pohon yang menjulang. Pura ini seperti dipagari bukit hijau nan menawan. Kebetulan saat itu langit cerah di tengah hari, namun hawa tetap terasa sejuk dan segar.
Dengan prasarana berupa pejati, sodan, canang sari, bungkak nyuh gading, kwangen, bunga, dupa, kami pun melangkah dengan pasti dan tiba di pelinggih Ratu Penyarikan. Dengan menghaturkan pejati untuk matur piuning atau mohon ijin agar yang kami jalani aman dan lancar.
Usai sembahyang di Ratu Penyarikan selanjutnya naik beberapa tangga menuju ke pelinggih Ratu Mekele Lingsir, yang berupa Batu Alam yang besar, sebagai pengayengan Bhatara Dalem Ped di Nusa Penida.
Usai dari Ratu Mekele Lingsir, kami kembali naik menuju beji untuk melukat dengan membawa sarana berupa bungkak nyuh gading dan menghaturkan pejati. Di beji ini terlebih dahulu dilukat dengan tirta bang yaitu salah satu tirta yang ada di Pura Tap Sai.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/winar-ramelan-.tirtayatra.jpg)
Melukat | Foto: Winar
Di Pura ada tiga tirta yaitu tirta selem, tirta bang juga tirta putih. Usai melukat tirta bang, selanjutnya melukat dengan bungkak nyuh gading yang sudah diisi bunga dan disucikan pemangku Pura.
Usai melukat, jika mau berganti pakaian yang basah di sana juga disediakan tempat di sekitar area pura, tinggal turun beberapa puluh langkah, ketemu tempat ganti dan pakaian yang basah bisa dititipkan di sana.
Namun jika merasa nyaman_nyaman dengan baju basah, tinggal melanjutkan persembahyangan dengan naik di atas beji. Di sini disediakan bale sebagai tempat sembahyang.
Di sini terdapat patung naga juga ada air terjun alami yang sangat eksotis dengan kolam-kolam buatan yang indah. Tak terkecuali juga bale banten.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/winar-ramelan.-tirtayatra4.jpg)
Di areal Pura | Foto: Winar
Dengan asap dupa yang tak henti membumbung yang lesap di antara pepohonan dan batu-batu hitam, gemericik air terjun dan suara genta pemangku, sungguh terasa hening, sakral dan magis. (Matur suksma Hyang Widhi, engkau hadirkan keindahan semesta ini)
Usai sembahyang di sini, kita tinggal belok kanan lalu menuruni tangga yang berkelok, turun ke madya mandala. Di madya mandala ada pelinggih Ganesha atau Ida Bhatara Sang Hyang Ganapati, selaku perwujudan Ida Bhatara Rambut Sedana yang memberikan perlindungan dan pemusnah segala rintangan bagi umat manusia. Serta terdapat pohon tua yang disakralkan.
Usai sembahyang dari madya mandala kembali menaiki tangga yang lumayan tinggi dan curam untuk menuju ke utama mandala. Di sini ada banyak pelinggih juga tempat tiga Dewi berstana yang disebut juga Tri Upasedana. Yaitu Dewi Laksmi, Dewi Sri juga Dewi Saraswati. Serta pelinggih Lingga Yoni.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/winar-ramelan.-tirtayatra6.jpg)
Berfoto bersama keluarga besar | Foto: Winar
Disini pula selain menghaturkan pejati dan sembahyang, kita bisa mengucapkan permohonan dengan membakar 11 dupa yang diikat dengan benang Tridatu dan melakukan sungkem di pelinggih Lingga Yoni. Jadi sebelum berangkat bisa buat list permohonan, atau polos-polos saja.
Benang tridatu bisa minta di lokasi jika tak membawa dari rumah dengan berdana punia seiklasnya.
Selanjutnya kita turun menuju pelinggih Ratu Niang Bungkut, dan ini menjadi pelinggih terakhir di Pura Tap Sai.
Selanjutnya acara suka-suka, langsung pulang atau buka lungsuran bersama sama dengan gembira.
Jika pulang, kita akan menyusuri jalan yang sama seperti waktu berangkat yaitu hutan pinus yang lebat dan hijau dengan rumput gajah yang lumayan subur lalu ketemu perkebunan warga, entah kebun alpukat, jeruk, durian. Mata kami benar-benar dimanjakan.
Yang pasti perjalanan ke Pura Tap Sai ini sangat menyenangkan dan ingin mengulang kembali. Karena dapat mebhakti, melukat sekaligus melali atau berwisata dengan kelurga besar.
Dengan melakukan perjalanan seperti ini kita dapat me-refresh kembali badan juga pikiran, sebelum akhirnya sibuk dengan rutinitas harian.
Dan “dunia terasa lebih indah, ketika kita merayakan bersama sama segala hal yang kita sukai bersama”, salah satunya melali sambil tirtayatra atau tirtayatra sambil melali, ini. [T]
Penulis: Winar Ramelan
Editor: Adnyana Ole