AKU memang remaja yang selalu terobsesi dengan mawar merah dan kupu-kupu. Mereka adalah bagian dari identitasku, motif mawar dan kupu-kupu menghiasi setiap pakaian yang kupakai, mulai dari gaun, kemeja, hingga jaket. Kamar tidurku pun tak kalah, dindingnya dihiasi lukisan kupu-kupu, sedangkan gorden dan sprei penuh dengan gambar mawar merah. Semua orang di sekitarku tahu, itulah aku: gadis yang hidup dalam dunia mawar dan kupu-kupu.
Namun, ada satu hal yang orang lain selalu anggap aneh tentangku, aku tidak pernah menyukai mawar asli, apalagi yang palsu. Setiap kali ada yang memberiku buket bunga mawar, aku merasa marah dan sedih bersamaan. Bagiku, mawar kering yang mati di tangkainya sendiri lebih terhormat daripada mawar yang harus layu di dalam vas. Sedangkan mawar palsu, menurutku, hal itu hanya kebohongan yang berbahaya. Mereka mungkin tak bernyawa, tetapi debu yang melekat pada mereka bisa membunuhku. Aku punya alergi debu yang parah, dan itu cukup untuk membuatku benci pada semua yang palsu.
Rumahku berada di atas bukit, dengan taman yang dipenuhi mawar merah yang tumbuh subur. Pada suatu sore yang sepi, aku duduk di teras belakang, menikmati mawar-mawarku yang hampir mekar sempurna. Saat itu, kakak laki-lakiku bergabung denganku. Hubungan kami tak terlalu akur, tetapi aku tahu dia sangat menyayangiku.
“Jangan terlalu terobsesi dengan mawar dan kupu-kupu. Coba cari hal lain yang bisa membuatmu bahagia,” nasihatnya.
“Bukankah aku tak pernah merepotkanmu?” tanyaku, merasa tersinggung.
“Justru aku ingin direpotkan. Aku ingin kamu mengandalkanku. Kita bisa pergi bersama, membeli buku atau bersepeda,” katanya dengan nada penuh perhatian.
“Tidak. Aku lebih suka di rumah. Aku nyaman di sini.”
Dia tersenyum kecil, lalu berkata, “Baik. Tapi jangan menyesal jika kelak aku menikah dan tinggal jauh darimu.”
Hatiku mencelos mendengar kata-katanya. Setelah itu, rasa cemas mulai menguasai diriku. Setiap kali perasaan itu muncul, aku merasa seperti ada yang mencabik-cabik dadaku, dan aku mulai menyakiti diri sendiri untuk mengecoh nyeri itu. Luka di tubuh terasa lebih ringan dibanding luka di hati.
Namun, lambat laun obsesiku pada mawar dan kupu-kupu memudar. Aku mulai mencari perhatian kakakku, berharap dia masih bisa menjadi sosok yang selalu ada untukku. Aku memintanya menemaniku bersepeda atau membeli buku, tapi dia selalu sibuk. Alasan demi alasan keluar dari mulutnya hingga aku melihat dia pulang bersama seorang perempuan cantik yang diakuinya sebagai pacar. Perasaan cemburu yang luar biasa muncul di dadaku. Aku merasa tersisih, terlupakan. Dalam sekejap, aku memutuskan untuk kabur dari rumah.
Aku berjalan tanpa tujuan, menyusuri jalan setapak di perkebunan teh. Langit mulai berwarna oranye saat aku tiba di sebuah sungai yang airnya berwarna merah jambu. Di tepi sungai itu, aku duduk di atas batu besar dan merendam kakiku di air yang sejuk. Rasanya damai.
“Kamu siapa?” Seorang lelaki tiba-tiba mengejutkanku. Dia sudah duduk di sebelahku, entah sejak kapan.
Aku menoleh, dan mataku bertemu dengan sosok lelaki yang tampak sempurna. Matanya cokelat besar, rambutnya ikal berwarna abu-abu. Ada sesuatu yang memikat dari senyumannya yang begitu hangat. Aku terpana.
Tanpa menunggu jawabanku, dia meraih tanganku dan membawaku masuk ke dalam sebuah gubuk kecil di dekat sungai. Begitu masuk ke dalam, aku terkejut. Gubuk itu tampak seperti istana yang luas dan mewah. Aku tak bisa berhenti mengagumi segala sesuatu di dalamnya.
“Ini rumahmu?” tanyaku kagum.
Dia hanya tersenyum dan mengajakku duduk di meja makan yang penuh dengan bunga dan buah-buahan. Semuanya terlihat begitu indah, meski aneh karena bunga-bunga itu bisa dimakan. Rasa manis memenuhi mulutku saat mencicipinya
“Aku punya banyak bunga di sini, termasuk mawar merah. Tapi, aku tidak pernah memetiknya. Bunga-bunga itu lebih baik mati di tempat mereka tumbuh daripada layu di dalam vas,” katanya.
Kata-katanya menyentuh hatiku. Pemikirannya begitu mirip dengan pikiranku sendiri tentang mawar. Aku merasa semakin terpikat olehnya. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk tinggal bersamanya. Hari-hari berlalu dengan indah. Setiap pagi, kami bangun bersama untuk menyambut matahari yang terbit di balik bukit.
Namun, pada suatu pagi, semua berubah. Aku menemukannya duduk diam di bangku belakang rumah. Matanya terpejam, tubuhnya dingin dan kaku. Bibirnya yang biasanya selalu tersenyum kini tampak beku. Aku mencoba mencium bibirnya, berharap menemukan sisa kehangatan di sana. Tapi, tidak ada. Tidak ada yang tersisa.
Di tangannya, ada sebatang mawar merah yang mekar sempurna, dengan akar yang masih penuh tanah. Pemandangan itu membuat dadaku nyeri. Nyeri yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tubuhku gemetar, telingaku berdengung. Lalu, aku melihat lebah-lebah berputar di atas kepalaku. Setelah itu, semuanya gelap.
Ketika aku terbangun, aku berada di kamarku sendiri. Kamar yang penuh dengan gambar mawar merah dan kupu-kupu. Semua tampak normal, seolah-olah kejadian di rumah gubuk itu hanyalah mimpi. Tapi, rasa nyeri di dadaku tetap ada. Aku meraba tanganku dan mendapati bekas goresan yang kutahu tidak ada sebelumnya. Aku mencoba menceritakan kejadian itu kepada kakakku, tetapi dia tidak percaya dan hanya menatapku dengan bingung.
Hari demi hari berlalu, dan aku mulai meragukan diriku sendiri. Apakah semua itu hanya khayalan? Atau apakah aku benar-benar telah tinggal di rumah gubuk itu dengan lelaki misterius yang sempurna? Namun, pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah menemukan jawaban.
Suatu malam, saat bulan purnama, aku memutuskan untuk kembali ke sungai merah jambu itu. Aku ingin mencari kebenaran. Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang sama, melewati perkebunan teh yang sunyi. Tapi, ketika aku sampai di sana, gubuk itu tidak ada.
Hanya ada batu besar di tepi sungai. Aku duduk di atasnya, mengingat setiap detail dari kejadian itu. Dan saat itulah, aku menyadari sesuatu yang mengerikan.
Sungai yang dulu berwarna merah jambu kini tampak merah pekat, seperti darah. Perlahan-lahan, aku melihat bayangan lelaki itu muncul dari permukaan air, tersenyum padaku dengan mata kecokelatan yang sama.
“Aku sudah menunggumu,” bisiknya.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku tertahan. Tubuhku kaku, tak bisa bergerak. Lalu, dengan suara yang hampir tak terdengar, dia berkata, “Aku tidak pernah hidup. Aku hanyalah cerminan dari obsesimu. Sekarang, waktunya kau tinggal bersamaku, selamanya.”
Tiba-tiba, aku merasa ditarik ke dalam air. Tubuhku tenggelam dalam kegelapan, dan saat itulah aku sadar, aku tidak pernah benar-benar bisa lari dari obsesiku terhadap mawar dan kupu-kupu. Mereka bukan sekadar hiasan. Mereka adalah bayangan dari sesuatu yang lebih gelap, sesuatu yang kini telah mengambil alih diriku.
Di dalam air itu, di antara bayangan-bayangan, aku melihat sosok kakakku. Dia memegang buket mawar merah, yang layu. [T]