GURU besar atau profesor adalah gelar akademik tertinggi yang dapat diraih oleh seorang akademisi. Tentu untuk mencapai posisi tersebut ada banyak hal yang harus diperjuangkan. Meskipun ada tahapan dan prosedur yang standar, namun kisah di balik setiap perjalanan untuk menjadi guru besar, tentu bisa berbeda pada setiap orang.
Menjadi guru besar muncul dalam pemikiran saya sekitar tahun 2011. Saat itu saya harus menulis deskripsi diri untuk kepentingan sertifikasi profesi dosen. Terdapat satu item pertanyaan yang mengharuskan saya menuliskan visi saya dalam sepuluh tahun ke depan. Dua hal yang saya tulis adalah studi lanjut S3 dan menjadi guru besar sebelum usia 45 tahun.
Saya tidak merasa bahwa target itu terlalu tinggi, karena saya sudah terbiasa meyakini pesan orang tua bahwa selama niat kita baik dan mau berusaha, pasti akan ada jalannya. Dan saya sudah membuktikan hal itu ketika berangkat kuliah S2 dengan hanya berbekal niat. Demikian pula ketika mencapai jabatan fungsional lektor kepala dalam 10 tahun masa kerja.
Rencanakan apa yang mau dikerjakan dan kerjakan apa yang sudah direncanakan. Tahun 2012 saya memutuskan untuk studi lanjut S3 ke UGM Yogyakarta meskipun harus meninggalkan periode jabatan Ketua Jurusan yang baru dijalankan 1 tahun saja.
Satu dua teman mempertanyakan keputusan itu dan memberikan gambaran bahwa kuliah S3 jika tidak disertai dengan finansial yang mapan, maka bukan kesuksesan yang didapat tapi bisa jadi justru keluarga jadi berantakan. Dikatakan bahwa saya ibarat ingin membeli mobil padahal rumah pun saya belum punya. Saya katakan, bahwa itu tergantung perspektif dan niat kita.
Dengan niat kuat sekolah untuk meningkatkan kualitas diri saya, maka saya katakan insya allah, mobil yang saya beli ini akan bisa membuat saya punya rumah dengan kondisi yang lebih baik dari sekarang. Alhamdulillah, kuliah S3 berjalan lancar dan rejeki pun datang dari berbagai pintu yang tidak terduga.
Janji kedua yang saya tulis adalah saya harus menjadi guru besar sebelum usia 45. Saat janji itu ditulis, sudah bertahun-tahun lamanya tidak ada guru besar baru di kampus FISIP tercinta. Tetapi saya sepakat dengan sebuah pernyataan bahwa hal yang berbahaya bukanlah cita-cita yang terlalu tinggi, melainkan cita-cita yang terlalu sederhana.
Cita-cita yang tinggi akan mendorong kita berusaha maksimal, sementara cita-cita sederhana hanya membuat kita menjalani semuanya secukupnya saja. Maka saya berprinsip, gantunglah cita-cita setinggi bintang, seandainya meleset pun setidaknya kamu akan mendapatkan bulan.
Maka ketika usia 45 sudah terlewati dan cita-cita saya belum tercapai, yang saya lakukan adalah mengevaluasi cara saya menjalani hari sejak selesai S3 hingga usia 45. Ternyata selama itu, saya tidak melakukan apapun untuk mencapai cita-cita itu.
Padahal seringkali di hadapan peserta berbagai pelatihan motivasi yang saya berdiri sebagai narasumber, saya selalu katakan bahwa, perbedaan orang sukses dan orang gagal hanyalah satu. Orang gagal akan berkata, aku ingin sukses bahkan ribuan kali tetapi tidak melakukan apapun untuk meraih kesuksesannya, sementara orang sukses akan berkata aku ingin sukses dan segera mengambil langkah untuk meraihnya.
Saat itu saya putuskan untuk mengambil langkah menuju cita-cita yang tertunda. Saya tinggalkan bisnis yang telah membuat saya bisa mengunjungi banyak negara dengan bonus mencapai puluhan juta. Hidup ibarat sebuah bola karet, jika di satu sisi ada yang menonjol, maka akan ada sisi lain yang menjorok ke dalam. Bisnis yang saya tekuni telah memberi saya lebih secara ekonomi, namun ada sisi akademis yang kemudian terpinggirkan.
Tidak hanya bisnis yang saya tinggalkan, ajakan untuk menduduki sebuah posisi pimpinan pun sementara saya abaikan. Tawaran itu saya tepis dengan mengatakan bahwa untuk saat ini, saya hanya ingin menulis. Sudah terlalu banyak waktu terlewati.
Sudah banyak kolega yang menyelesaikan studi, meraih jabatan lektor kepala dan kemudian beberapa menjadi guru besar, dan saya masih menjadi pekerja serabutan. Mengerjakan tugas ini dan itu, meninggalkan utang publikasi yang harus segera saya lunasi. Terngiang kembali perkataan seorang guru di Jogja, sosok legendaris di kalangan para jurnalis, sumber inspirasi bagi para akademisi, Ashadi Siregar, “Mit nulis…orang hanya akan tahu siapa kita kalo kita menulis.”
***
Niat kembali ke tujuan yang telah ditetapkan sejak 13 tahun silam seolah menemukan jalannya sendiri. Kampus membuka program percepatan guru besar. Saya melewatkan batch 1, 2 dan 3 karena berbagai alasan. Akhirnya di batch ke-4 saya pun ambil bagian. Karantina dilaksanakan di sebuah hotel di Yogyakarta.
Sungguh semuanya di luar yang saya duga. Memiliki publikasi di jurnal internasional bereputasi yang selama ini membuat saya ciut ternyata hanya perlu dihadapi dengan menulis dan kesabaran saja. Draft yang saya tulis di Jogja langsung disubmit ke salah satu jurnal. Tidak sampai 2 hari, balasan datang.
Tulisan saya ditolak. Segera saya kirim ulang ke jurnal yang lain, 2 hari kemudian notifikasi datang ke email saya, artikel tidak sesuai dengan lingkup jurnal mereka. Sebelum pulang ke Purwokerto kembali saya kirim ulang ke jurnal yang lain. Kali ini, jawaban datang 2 minggu kemudian, saya harus melakukan revisi di beberapa bagian tulisan.
Empat bulan kemudian artikel pertama di jurnal bereputasi Q2 telah terbit, tanpa biaya. Ya Allah, kemana saja saya selama ini? Mana prinsip yang selalu saya pegang, jangan risaukan besok kerjakan saja apa yang bisa dikerjakan hari ini? Kenapa kemarin saya ciut dan menjauh setiap mendengar scopus disebut. Seharusnya kerjakan saja, tulis saja. Nyatanya ketika saya tidak menulis, KUM lebih dari seribu pun tidak ada gunanya.
Utang sudah terbayar lunas. Publikasi sudah saya miliki. Tabungan angka kredit sudah berlebih. Peraturan dan kebijakan baru datang. Terdapat sejumlah perubahan dalam pengajuan kenaikan jabatan. Tapi sudahlah, saya kembali pada prinsip saya selama ini, tidak perlu berpikir besok bagaimana, kerjakan saja yang bisa dikerjakan hari ini yaitu mengajukan usulan.
Beberapa waktu berlalu, hasil penilaian pun keluar. Usulan kenaikan jabatan guru besar saya ditolak. Catatan utama asesor adalah artikel syarat khusus tidak sesuai bidang ilmu dan saya perlu menambah 2-3 artikel lagi di jurnal internasional bereputasi. Waktu revisi 2 minggu yang diberikan jelas tidak signifikan. Maka revisi tidak saya lakukan.
Saya kembali menulis luaran beberapa penelitian yang pernah dikerjakan. Kembali mengirimkan tulisan ke beberapa jurnal gratisan. Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk gelap, adalah juga prinsip hidup yang selalu saya pegang. Tidak ada gunanya saya bersumpah serapah ataupun meratapi penolakan yang hanya akan membuatnya terasa lebih menyakitkan. Mengirimkan tulisan yang entah akan terbit kapan, ibarat menyalakan lilin dalam kegelapan.
Periode II pengusulan jabatan kembali dibuka. Artikel-artikel baru yang dikirimkan belum ada yang diterima. Bahkan datang kabar bahwa penelitian yang menjadi syarat tambah rentan ditolak karena SK pendukungnya tidak relevan. Hingga 3 hari menjelang penutupan saya belum punya gambaran. Apakah akan kembali diajukan atau saya biarkan.
Hari ke-2 menjelang penutupan pendaftaran tiba-tiba terbersit sebuah gagasan, saya meminta ketua LPPM untuk membuatkan surat keterangan yang menyatakan bahwa syarat tambah penelitian saya benar-benar penelitian kompetitif nasional. Usulan kenaikan jabatan pun kembali diajukan. Kali ini dengan sedikit mencoba peruntungan, karena saya tidak menambah artikel selain yang sebelumnya pernah diajukan.
Satu persatu pengumuman kenaikan jabatan teman-teman mulai keluar. Hati yang sebelumnya tenang mulai sering berdebar. Hari-hari berjalan terasa sangat lambat, sementara degup jantung terasa semakin cepat. Akhirnya, pada suatu sore, pengumuman yang ditunggu datang. Saya tak kuasa menahan rasa di hadapan para mahasiswa yang kebetulan sedang bimbingan. Kalian menjadi saksi mata, ujar saya ketika di aplikasi sister yang saya buka, terbaca tulisan: “Direkomendasikan sebagai guru besar”. Alhamdulillaah Ya Allah…Meskipun meleset 3 tahun dari target semula, menjadi guru besar sebelum usia 45. Terwujud sebelum usia 48 masih dapat dikatakan sesuai dengan rencana. Mission Accomplished!
Surat keputusan sudah di tangan. Pertanyaan yang kemudian berdatangan adalah, “bagaimana rasanya jadi guru besar?”. Tentu yang pertama lega. Alhamdulillah, satu cita-cita telah tercapai. Namun pertanyaan besar justru datang dari diri sendiri. Apakah saya pantas dengan semua ini? Apakah saya bisa berkontribusi?
Dalam situasi ini, sekali lagi berbagai prinsip hidup yang selama ini saya yakini, kembali menjadi penguat diri. Selama ada niat baik, pasti kita bisa menjalani. Tidak perlu khawatir dengan apa yang akan terjadi esok hari, yang penting kerjakan yang bisa kita kerjakan hari ini dengan sepenuh hati. [T]
Purwokerto, 27 Januari 2025
Penulis: Mite Setiansah
Editor: Adnyana Ole