JIKA ada yang bertanya, binatang apa yang diri ini paling tidak sukai, dengan tegas tanpa ragu lidah tak bertulang ini akan menyebut kata legu (nyamuk).
Binatang yang berukuran kecil namun mampu menghisap darah ini cukup membawa kenangan buruk dalam sanubari. Belum lekang dalam ingatan ketika ia mampu membuat diri ini tanpa sengaja menjatuhkan HP dalam genggaman. Tambah lagi, ketika ia juga mampu membawa seorang bibi, tepat satu tahun lalu, menginap di rumah sakit.
Berbicara mengenai eksistensi, keberadaan legu terasabertambah banyak saat musim hujan tiba. Setiap pagi, siang, dan malam, suara racing khasnya kian menggema mengelilingi daun telinga.
Tubuh dan pikiran ini pun terasa dibuat tidak tenang, was-was, serta diliputi rasa nestapa. Percayalah! Saat Anda membaca tulisan ini, mungkin ia juga tengah bersiap menghisap darah anda bak vampir di film-film horror.
***
“Terkadang, pembelajaran yang bisa digugu datang dari sesuatu yang dirimu benci!”
Seperti itulah seuntai quotes indahyang saya sempat lihat di Instagram beberapa waktu lalu. Ungkapan yang secara tidak langsung mampu mengarahkan manah pada keberadaan makhluk yang kebanyakan meninggalkan kesan kelabu ini. Memangnya pembelajaran apa yang bisa digugu dari seekor Legu?
1. Masalah Terkadang Perlu Selesai di Saat dan Tempat yang Tepat
Pernah pada suatu masa diri ini dibuat begitu jengkel pada seekor legu berwarna hitam. Beberapa kali ia telah dapat meninggalkan jejak bentolan, dan diri ini coba tepuk namun selalu gagal. Sampai pada saatnya tiba, ia tiba-tiba hinggap di atas kemeja putih yang tergantung di atas pintu.
Namun sekali lagi, saat telapak tangan sudah diarahkan sekencang-kencangnya, ia masih bisa selamat dan terbang menyelamatkan diri.
“Kle ngidang gen ye mekeber.” (Sial bisa saja ia terbang). Begitu umpat diri ini sambil mengibaskan tangan yang menjadi kebas.
Meskipun demikian, perjuangan diri ini dalam membalaskan dendam akan darah yang telah dihisap tidaklah surut. Diri ini coba menambahkan power damage dengan mengambil sapu lidi yang tergeletak di sudut kamar.
Tibalah saatnya ketika mata ini mampu melirik ia hinggap di tembok kamar yang telah menganga. Tak mau mengulang kegagalan yang sama, dengan sekali hempasan sapu lidi “Plakkkkkkk!!!” Legu itu pun harus puas meregang nyawa.
Setelah melihat jasad legu itu di tembok disertai dengan darah berceceran, sanubari tiba-tiba diliputi perenungan. Bukan karena perjuangan menepuk legu hitamyang akhirnya menemui keberhasilan. Namun lebih daripada itu, rasa syukur tiba-tiba timbul justru karena melihat TKP matinya legu hitamtersebut.
“Kle aget matine di temboke. Apa dadine yang tuni bakat matiang di kemeja putihe. Dong be je.” (Piuh, untung matinya ia di tembok. Apa jadinya kalau tadi berhasil mati di kemeja putih. Ya sudahlah).
Atas kejadian tersebut, diri ini pun mampu menarik sebuah pembelajaran, bahwa jasad legu, ternyata bisa menyimbolisasikan sebuah masalah perlu selesai di saat dan tempat yang tepat.
2. Masalah Memang Akan Datang Lagi, Lagi, dan Lagi
Alkisah di suatu pagi hari yang gabut, diri ini begitu bangga dapat menepuk banyak sekali Legu. Dalam durasi waktu kurang dari 1 jam, secara berturut-turut sembilan ekor legu penyek di tangan Sang Dewa. Sambil menghela napas, diri ini pun sempat berpikir sejenak.
Hari ini memang para legu sedang apes atau tangan ini yang semakin cekatan?
Menimbang jumlah kematian legu dalam satu masa yang kuantitasnya lebih banyak, jiwa ini pun merasa lebih aman, tentram, dan nyaman. Gangguan dari para legu durjana mungkin tidak akan datang menimbang jumlah kematian mereka yang begitu signifikan.
Berdasar pada ekspektasi tersebut, diri ini pada akhirnya memutuskan untuk lanjut membuat proyek tulisan. Ditimpali secangkir kopi, disertai luapan hati yang penuh ketenangan dan keriangan.
Namun apa yang terjadi? Apakahpara legu tersebut benar-benar lenyap dan menyerah?
Oh tidak semudah itu, Ferguso! Baru beberapa jam mengetik, seekor legu kembali datang dan bersandar di atas layar laptop. Begitu juga sampai pada malam harinya, nyanyian bunyi legu semacam tak surut-surut untuk senantiasa menghantui.
“Kle ber sing telah-telah teka Legune.” (Sial, tidak habis-habis datang nyamuknya).
Atas kejadian tersebut, diri ini pun berhasil menarik pembelajaran kedua, bahwa legu, bisa menjadi cermin dari masalah yang akan datang lagi, datang lagi, dan datang lagi.
3. Masalah Perlu Digali dan Dicabut Hingga ke Akar
Saking lelahnya menghadapi substansi bernama legu, pada akhirnya diri ini mulai merenungi dan memutuskan untuk menggali akar permasalahan. Akar di sini diarahkan pada hal-hal yang dapat memicu atau menjadi alasan kuat mengapa legu masih bisa eksis dan berkembak biak dalam ekosistem kamar. Mulai dari baju tergantung, adanya genangan air dalam wadah di waktu yang lama, sampah makanan yang dibiarkan mengendap dalam kamar, hingga air dalam bak kamar mandi yang jarang dikuras.
Setelah semua analisis alasan-alasan tersebut dikumpulkan, sarira pun mulai bergerak dan akar permasalahan coba diatasi satu demi satu.
Diri mulai rajin merapikan baju dan memilih menyimpannya dalam lemari, membuang air dalam wadah apapun agar tidak menimbulkan genangan, mulai rajin dalam membersihkan dan memastikan kamar dalam keadaan bersih, sampai pada taat dalam menguras dan membersihkan kamar mandi.
Semua dilakukan demi tercabutnya gangguan Para Legu yang selama ini melanda. Belum lagi, obat nyamuk juga senantiasa tersedia dan diintensifkan untuk mengatasi serta mencegah sedotan mereka yang mematikan.
Dari sisi proses yang menyita pembiasaan, usaha untuk menganalisis dan mengatasi penyebab eksistensi legu mulai menampakkan hasil yang positif.
Gangguan legu memang masih ada, namun tidak seintens pada hari-hari biasanya. Sang diri pun mampu beraktivitas normal tanpa adanya gangguan.
Pada akhirnya, tidur malam juga bisa menjadi lebih nyenyak, menimbang suara knalpot mungil yang mengintimidasi gendang telinga sudah tidak ada lagi.
“Kle, akhirne suba siang ada legu buin.” (Piuhhh, akhirnya sudah tidak ada nyamuk lagi).
Atas kejadian tersebut, diri ini pun berhasil menarik sekali lagi pembelajaran, bahwa legu, juga bisa mengajarkan kita agar mampu menyelesaikan masalah hingga ke akar.
***
JADI bagaikan warnanya yang belang bercorak hitam dan putih, legu yang biasanya menjengkelkan ternyata juga mampu menghadirkan sisi hitam dan juga putih dalam kehidupan. Bahkan jika diselami secara lebih mendalam, sisi putihnya jauh lebih mampu menghadirkan pedoman hidup yang bisa digugu dan juga ditiru.
Jadi dari segala putih yang telah berhasil dihadirkan, apakah legu mampu menghapus stigmanya dalam sanubari ini sebagai hewan yang tidak disukai?
“Mohon maaf, kayaknya belum,” jawab langsung sanubari ini sambil tangan yang baru saja berhasil menepuk seekor legu. [T]
Penulis: Dewa Gede Darma Permana
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis DEWA GEDE DARMA PERMANA