MELANJUTKAN filosofi perilaku konformitas orang Baduy, konformitas dalam bentuk penampilan akan terlihat pada pakaian dan tampilan keseharian orang Baduy, serta permukiman atau rumah orang Baduy.
Pakaian
Hasil pengamatan, pakaian warga Baduy Luar terdiri dari tiga bagian: (1) ikat kepala, (2) baju, dan (3) kain sarung atau calana komprang, sejenis celana pendek berukuran sebatas lutut. Warna khas pakaian warga Baduy Luar adalah hitam dan biru tua bermotif batik atau bergaris putih. Kain pakaian yang digunakan biasanya datang dari luar Baduy, seperti dari pasar Rangkasbitung, Tanah Abang Jakarta atau daerah lain yang kemudian dijahit dan ditenun sendiri.
Pakaian disebut jamang komprang atau mirip dengan baju orang tangtu (Baduy Dalam) hanya saja berkancing dan biasa memakai dua lapis, bagian dalam berwarna putih alami, sedangkan bagian luar berwarna hitam atau biru tua. Calana komprang yang dikenakan laki-laki Baduy Luar juga berwarna hitam atau biru tua.
Adapun pakaian perempuan Baduy Luar adalah kebaya berwarna biru dan kain dengan warna yang sama. Bahan pakaiannya juga diperoleh dari luar daerah. Namun, pakaian pada orang panamping baik lelaki maupun perempuan, hampir serupa dengan pakaian yang digunakan oleh masyarakat pedesaan di Banten umumnya.
Mengenai pakaian orang Baduy khususnya orang Baduy Dalam (Orang Tangtu) menurut Mulyanto, Prihartanti, Moordiningsih (2006:12), dan hasil pengamatan dan wawancara sebagai tambahan informasi, pakaian Baduy Dalam berwarna putih dan hitam. Bahannya dibuat sendiri dari serat daun pelah yang ditenunkan oleh warga panamping. Lelaki tangtu menutupi tubuhnya dengan tiga bagian, yaitu: (1) ikat kepala berwarna putih (kecoklatan) yang sering disebut ikeut, telekung atau romal terbuat dari kain berbentuk segitiga, (2) baju berwarna putih, dan (3) sejenis kain sarung dengan panjang sekitar 30-40 cm, berwarna biru tua.
Baju yang dikenakan berlengan panjang, seperti kaos, tanpa kerah dan kancing. Sejenis kain sarung yang berfungsi sebagai penutup tubuh bagian bawah disebut aros, biasa dikenakan dengan cara dililitkan di pinggang kemudian diikat memakai tali dari kain, mirip ikat pinggang dengan ukuran sampai lutut. Lelaki Baduy Dalam (tangtu) tidak mengenakan celana dalam.
Adapun pakaian perempuan tangtu terdiri dari (1) kemben ”sejenis selendang” yang digunakan untuk menutup tubuh bagian atas atau baju kaos, dan (2) lunas atau kain untuk menutupi tubuh bagian bawah. Seringkali di kalangan orang tua, hanya menggunakan kain lunas saja. Perempuan tangtu juga tidak mengenakan pakaian dalam.
Rumah warga Baduy yang seragam menghadap ke Utara dan ke Selatan | Foto Dok.Penulis
Pada umumnya cara berpakaian orang Baduy, baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam, adalah sama seragam Baduy Luar menggunakan corak warna hitam dan biru tua bermotif batik atau bergaris putih. Baduy Dalam berwarna putih dan hitam. Meskipun ada orang Baduy Luar ada yang sudah menggunakan pakaian seperti bukan orang Baduy tapi jumlahnya sangat sedikit.
Keseragaman orang Baduy dalam berpakaian ini dilakukan karena:
- Merupakan ajaran dari leluhur harus seragam.
- Ciri khas kelompok, kalau tidak seragam nanti tertukar antara orang Baduy dengan orang non Baduy dan intinya jangan sampai menyerupai penampilan orang luar.
- Warna hitam-putih sebagai lambang dari waktu malam dan siang. Artinya manusia itu jangan terlalu banyak pikiran, sebab alam saja hanya ada dua pilihan: malam atau siang; ada senang, ada susah; ada gelap ada terang, dan itu abadi.
- Baik orang tangtu maupun panamping tidak beralas kaki, hal ini dilakukan karena: Pertama, ketentuan mutlak leluhur jadi harus seragam. Kedua, kalau pakai alas kaki, nanti menghilangkan ciri khas Baduy. Ketiga, kondisi geografis dapat membuat alas kaki cepat putus, dan karena hutan, pakai alas kaki juga percuma karena kaki akan tetap kotor. Keempat, merasakan alam karena menggambarkan keseimbangan dan kelestarian alam.
Makna hidup orang Baduy yang sederhana namun memiliki kualitas penghayatan yang dalam, kemudian menjadi satu panduan perilaku komunal. Pada saat bersamaan mengarah pada kesetaraan dan saling menghargai antara sesama. Adanya dorongan untuk mempertahankan identitas kelompok menjadi kekuatan munculnya perilaku konformitas.
Rumah dan Pemukiman Orang Baduy
Rumah merupakan tempat mereka berteduh, melakukan aktivitas keluarga, mendidik anak, dan untuk melakukan pertemuan. Berdasarkan pengamatan, rumah orang Baduy nampak seragam. Semua terdiri dari kayu, bambu, kiray “daun rumbia”, ijuk pohon aren, rotan dan batu yang diperoleh dari alam sekitar. (Sihabudin, 2009; Mulyanto, et.al. 2006).
Pakaian warga Baduy Dalam | Foto Dok.Asep Kurnia
Hasil pengamatan rumah-rumah masyarakat Baduy berbentuk panggung, oleh karenanya terdapat kolong antara lantai rumah dan tanah dengan ketinggian antara 50-70 cm. Rumah orang Baduy besarnya sekitar 7X5 meter pada umumnya terdiri dari tiga bagian, yaitu sosoro dan tepas ’bagian luar’, imah dan musung ’bagian tengah’, serta parak ’bagian dapur’. Semuanya disekat dengan bilik. Ciri khasnya rumah orang Baduy:
(1) selalu menghadap utara-selatan,
(2) tidak menggunakan tembok, kaca,
(3) tidak ada jendela. Untuk sirkulasi udara dan penerang ruangan, hanya terdapat lubang kecil pada bilik dinding rumahnya,
(4) tidak memiliki pagar pembatas halaman rumah,
(5) di tangtu atau Baduy Dalam, lahan yang digunakan membangun rumah tidak diratakan terlebih dahulu sehingga konstruksinya disesuaikan dengan struktur tanah, dan
(6) di panamping atau Baduy Luar, tanah yang digunakan untuk membangun rumah, diratakan terlebih dahulu.(Mulyanto, 2006:12).
Pemakaian paku dilarang dan tanah tidak boleh diratakan, karena Baduy berprinsip melestarikan alam, maka segalanya harus mengikuti kehendak alam, semua bentuk rumah seragam karena agar tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin, jadi semuanya sama. Adapun teknis pembuatan rumah dikerjakan secara gotong royong.
Menurut Mulyanto (2006:15), orang Baduy menganggap hidup harus dijalani dengan sederhana, semampunya, dan sewajarnya. Pertama, hidup adalah untuk mencari kebahagian, bukan untuk mengejar materi. Kedua, tercukupi kebutuhan fisik; makan cukup, pakaian ada, dan bisa berbakti kepada orang tua. Ketiga, untuk mencari bahagia maka harus jujur, benar, dan pintar. Pintar saja tapi tidak benar, hal itu tidak indah.
Oleh karenanya jangan ada syirik, licik, jangan memfitnah, jangan berbohong, jangan selingkuh. Percuma hidup kalau hanya jadi tukang menipu dan menindas orang lain. Saling harga menghargai di antara keluarga inti, sesama anggota kelompok Komunitas Baduy Luar, dan kepala kampung. Terjadi di lingkungan KAT (Komunitas Adat Terpencil) Baduy Luar. Saling menghargai adalah salah satu norma nilai budaya yang berpengaruh terhadap perilaku masyarakat Baduy.
Pakaian warga Baduy Luar | Foto Dok.Asep Kurnia
Menurut Mulyanto, et.al (2006:15), Sihabudin (2009:75) konsep kebersamaan, dan hubungan antar sesama manusia bagi orang Baduy penting untuk menjujung tinggi harkat dan martabat. Rumah, pakaian dan pakaian sehari-hari menunjukan kesamaan. Tidak ada perbedaan antara “penguasa” dan “rakyat biasa” dan tidak ada perbedaan pula antara yang “kaya” dan yang “miskin”.
Tidak ada perselisihan dan permusuhan. Sebagaimana nilai kebersamaan di bawah ini: teu meunang pajauh-jauh leungkah pahareup-hareup ceurik pagaet-gaet lumpat (tidak boleh berjauh-jauh langkah berhadapan nangis berdekatan lari) undur nahan tembong pundung datang nahan tembong tarang (pergi jangan perlihatkan kekecewaan, datang jangan perlihatkan kesombongan.
- Tulisan ini masih berlanjut ke bagian berikutnya, tentang Konformitas dalam Bentuk Pandangan.
Sumber Bacaan:
________.2000. Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai, Jakarta. Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Januari-April 2000, FISIP Universitas Indonesia.
Djoewisno, MS., 1987. Potret Kehidupan Masyarkat Baduy. Jakarta: Khas Studio.
Garna, Judistira, K. 1993a. Masyarakat Baduy di Banten., dalam Koentjaraningrat (ed) Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Depsos RI, Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, dan Gramedia.
Iskandar, Johan. 1992. Ekologi Perladangan di Indonesia. Studi Kasus Dari Daerah Baduy Banten Selatan, Jawa Barat. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Mulyanto , Nanik Prihartanti, dan Moordiningsih. 2006. “Perilaku Konformitas Masyarakat Baduy”. http: //eprints.ums.ac.id/650/1/1 PERILAKU KONFORMITAS Baduy.doc. download 19 Januari 2009.
Sihabudin, Ahmad. 2009. Persepsi KAT Baduy Luar Terhadap Kebutuhan Keluarga di Kabupaten Lebak Banten. Disertasi. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
- BACA esai-esai tentangBADUY
- BACA artikel lain dari penulisAHMAD SIHABUDIN