SUMUR tua yang ada di desaku tiba-tiba viral di medsos. Silih berganti paranormal mendatangi desaku. Ada yang membawa anak didiknya. Ada yang datang sendirian. Virallah desaku disebut-sebut di media sosial. Bahkan beberapa media cetak dan televisi mengangkatnya menjadi berita utama bahwa sumur tua yang ada di desaku dihuni oleh seorang perempuan. Aku tidak begitu percaya. Sumur memberi air tanpa pernah dibayar. Sumur ya sumur. Pemberi air kehidupan. Yang kuketahui bahwa sumur yang sudah tidak difungsikan oleh warga desaku itu memberikan kesejukan pada warga kami pada masanya.
Saat itu, kami memang suka bersama-sama mandi ke sumur. Ada canda tawa. Ada guyonan. Ada kesepakatan ada pembagian tugas. Jika akan mandi, ada yang bertugas menimba air. Tugas yang kami jalani tanpa ada tekanan. Semenjak PAM merambah desa kami, perlahan-lahan, tapi pasti kekeluargaan di desa kami mulai menurun. Tidak ada canda tawa. Tidak ada kesepakatan. Kami mandi dalam sekat-sekat sebuah kamar. Kami pun menjadi manusia yang tersekat. Buka keran air lantas bernyanyi di kamar mandi. Tanpa pernah tahu entah dari mana datangnya air. Pernah air PAM tak nyala. Kami ramai-ramai memprotes sampai ke medsos. Turunlah petugas memperbaiki pipa yang putus karena terjangan banjir yang amat deras. Kulihat di medsos, para pekerja sibuk memperbaikinya. Ternyata air menjadi nilai amat tinggi saat dibutuhkan. Dilupakan saat tak ada yang macet. Ah, dasar ingin mudah saja.
Aku tanggapi biasa saja cerita orang-orang yang mengaku sebagai paranormal itu. Tapi itulah manusia, ada saja yang ingin diketahuinya. Sebagai warga yang dilahirkan di desa, terusik juga aku. Kuberanikan menanyakan pada orang-orang yang mengaku sebagai peramal masa depan itu.
“Benar ada perempuan di dalam sumur?” tanyaku.
Ia tidak cepat-cepat menjawab. Ia pejamkan mata. Ia komat-kamit seperti orang gila yang tidak memiliki kepastian dalam hidup. “Benar,” jawabnya pelan. “Perempuan itu tampak marah. Matanya mendelik. Wajahnya menegang. Jika tidak ada yang mengasihinya, akan timbul bencana di desa ini.”
“Ah, jangan menakut-nakuti kami. Kami tak pernah berbuat salah kok dimarahi.”
“Boleh saja tidak percaya. Tapi, ini hasil penerawanganku. Banyak yang tidak percaya padaku. Dan aku sendiri tak usah dipercayai. Yang penting sebagai paranormal yang dikasihi Tuhan, tiang sudah menyampaikan sesuatu pada Made. Itu saja. Titik!”
Giliranku yang terbelenggu terhadap kata-kataku. Dasar lidah. Kenapa tidak kukatakan bahwa aku percaya saja setiap yang dikatakannya. Kan selesai masalahnya? Aku takut karena ulah mulutku ini.
Semakin hari ada saja orang kesurupan di desaku yang menyatakan bahwa memang benar ada perempuan yang tinggal di dalam sumur. Perempuan muda yang memendam kemarahan. Perempuan muda yang tidak mendapatkan kasih sayang.
“Perempuan muda?’ tanyaku dalam batin. “Kenapa mesti perempuan muda? Biasanya yang tinggal di tempat yang tidak digunakan lagi adalah perempuan tua. Kenapa ini perempuan muda?”
“Jika tidak dibuatkan banten pangulap dan pecaruan akan grubug datang di desa ini.” Orang-orang desa yang kesurupan itupun tidak mau diajak kompromi lagi. “Mau apa tidak?”
Aku melihat kanan-kiri. “Gimana ini mau melakukan yang diminta?” tanyaku pada warga desa kami.
“Kalau demi kebaikan, tiang setuju saja. Tidak ada salahnya berbuat baik demi kenyamanan.”
“Gimana yang lainnya?”
“Tiang setuju!”
“Terus biayanya dari mana?” tanyaku.
“Inilah yang menjadi masalah sekarang.” Tidak ada yang menjawab. Ternyata berjanji amat cepat. Akan tetapi, menepati janji ternyata susah.
“Kita bagi tugas saja.”
“Baiklah kalau begitu.”
Rasa persaudaraan yang sudah terkikis bisa mekar kembali. Sesuatu yang berat terasa lebih ringan dengan kebersamaan. Ada yang menyumbangkan kelapa. Ada yang menyumbangkan ayam untuk pecaruan. Ada yang menyumbangkan jejahitan. Alam kesadaran masih ada di desa kami. Kebangggaan dan kebahagiaan sebagai anak desa bisa kunikmati.
Kami meminta bantuan pemangku Pura Dalem untuk menghaturkan sesajen kami. Suara genta dan puja-puji pemangku Pura Dalem mengalir seperti air kehidupan. Upakara dan upacara berjalan amat indah. Tembang-tembang dan alunan wargasari dilantunkan meretas simpul-simpul jiwaku.
”Perempuan yang ada di sumur ini menangis. Ia telah dihinakan. Wadagnya sudah tak dikenali lagi. Ruhnya minta tempat yang wajar. Tolong diabenkan.”
Aku mendelik. “Diabenkan? Mana mungkin bisa? Siapa yang akan menyumbahnya nanti? Siapa yang membunuhnya? Siapa orangnya? Keluarganya dari mana? Masak warga desa ini yang tidak tahu apa-apa harus menanggung perbuatan orang lain? Ini tidak adil.” Aku tiba-tiba berkata keras seperti itu. Setelah kusadari bahwa kata-kataku tak pantas. Aku meminta maaf pada Mangku Dalem. “Maaf Jro, tidak maksud tiang marah sama Jro.”
“Tidak masalah. Tapi itu hanya permintaan saja. Jika tidak, sumur tua di desa kita akan leteh. Air yang ada di tanah ini juga leteh karena air merambat ke pori-pori bumi. Air leteh, artinya kita juga leteh karena air yang kita minum leteh. Gimana?”
“Terima kasih Jro. Tiang akan berusaha menjadikan desa ini tidak leteh lagi.”
“Tidak ada pengorbanan yang sia-sia, asalkan didasari dengan ketulusan.”
“Terima kasih Jro.”
Suara genta penutup telah dibunyikan. Aku bersama dengan warga desa berkumpul kembali. Merembukkan yang akan kami lakukan.
Pengabenan sederhana kami lakukan. Cukup dengan tingkatan nista. Banten suci untuk Dewa Surya, banten suci untuk Dewa Prajapati, banten suci di ruh yang diabenkan, dan banten suci pada Ida Pedanda pengantar ruh ke Sunyaloka. Tentu yang utama adalah bubur pirata. Bubur persembahan pada pirata.
Aku tersentak. Terdengar tangisan nyaring sekali. “Tolong sembah tiang. Tiang perempuan yang hilang beberapa tahun lalu. Perempuan yang dihinakan kepala desa. Perempuan yang dipersalahkan. Tolong saudaraku.” Perempuan yang kesurupan itu memeluk salah seorang warga desa kami. “Tolong berikan jalan pada tiang. Tiang berjanji akan membalas kebaikan saudara-saudara.”
Aku mau mengangkat tanganku tiba-tiba dipegang dari belakang. [T]