DI sebuah kebun tak terawat, di antara belukar katang-katang—atau kerap pula disebut tumbuhan tapak kuda, di pinggir Pantai Ketapang Muara, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, beberapa lelaki sedang sibuk mengolah mahoni menjadi sebuah kapal nelayan yang dikenal dengan nama kapal slerek, Rabu (25/12/2024) yang terik. Bahtera ini pesanan seorang tajir setempat, juragan kapal yang namanya beken seantero kawasan tersebut.
Para lelaki yang sedari pagi sibuk memotong, membelah, dan menyerut balok-papan kayu itu—pun memasah dan menyusunnya menjadi lantai dan dinding kapal—datang dari pulau seberang, jauh dari Pengambengan. Mereka dari sebuah pulau kecil di kawasan Sumenep, Madura, tepatnya dari Pulau Poteran—pulau kecil yang berbentuk seperti kepala ayam tanpa paruh itu.
Dengan menyeberangi Selat Madura ke Pelabuhan Kalianget, orang-orang itu mencapai wilayah yang menjorok di pinggiran pesisir Samudra Hindia, Bali bagian barat ini, setelah sebelumnya menempuh perjalanan nyaris 12 jam melewati jalur Pantura. Nyaris tak ada orang Pengambengan sendiri yang bisa membuat kapal Slerek. Mungkin bisa membuat bentuknya, tapi belum tentu dapat berlayar sempurna sebagaimana bikinan orang-orang pulau seberang itu.
“Mereka sengaja kami datangkan ke sini. Karena kalau membeli kapal langsung dari sana, ongkosnya lebih mahal,” ujar Ketut Sumajaya, pengurus Kapal Bintang Grup milik H. Ali Nuri, juragan kapal yang namanya beken di kawasan itu.
Alat untuk melengkungkan papan | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Tahun ini Bintang Grup membuat tiga slerek sekaligus. Satu sudah berlayar, satu lagi baru kelihatan bentuknya, dan satu lagi lantainya saja belum tampak, masih sekadar dasaran. Ketiga kapal tersebut dikerjakan pihak yang berbeda, meski semua artigianonya berasal dari Sumenep. Satu kapal yang sudah kelihatan bentuknya, dikerjakan kelompok Haulu, seorang seniman perahu-kapal yang terkenal di Pengambengan—dan langganan H. Ali, khususnya.
Haulu, atau akrab dipanggil Ulu, dibantu kedua karibnya, Ersan dan Saduki. Mereka bertiga seumuran, 50 tahunan, dan berasal dari tanah yang sama, Talango. Hanya saja, Saduki lahir di desa yang berbeda dari Ulu dan Ersan. Saduki lahir di Sang; sedangkan Ulu dan Ersan tumbuh dan berkembang di Kombang. Namun, sekali lagi, kedua desa tersebut sama-sama terletak di Kecamatan Talango, Pulau Poteran, Sumenep.
“Kami sering meminta Pak Ulu untuk membuat kapal,” terang Sumajaya sembari melemparkan senyum kepada Ulu yang masih sibuk menyerut dinding slerek menggunakan pasah elektrik. “Garapannya bagus,” sambung pria paruh baya berkacamata itu saat ditanya alasannya meminta Ulu,dkk, membuat kapal-kapal Bintang Grup.
Hari makin terik. Tapi para tukang masih saja lanjut bekerja. Sementara Ersan bertugas melengkungkan papan dengan memanggangnya dan menggantungkan batu pemberat di ujung atas kayu, Saduki sibuk membuat pasak yang panjangnya sejengkal orang dewasa. Ulu sendiri, sebagai kepala tukang, masih fokus meratakan pelipis dinding kapal. Serbuk kayu keluar dari lubang mesin bersuara bising itu secara bertubi-tubi. Tapi lelaki bersuara lembut bak Puntadewa itu—tapi barangkali versi Madura-nya—tanpa menggunakan masker atau penutup mulut dan hidung semacamnya. “Sudah biasa,” katanya, enteng saja.
Di sekitar galangan perahu teronggok kayu camplung gelondongan yang tampak sangat keras dan kuat. Jumlahnya cukup banyak. Dan kayu-kayu tersebut didatangkan dari Pulau Lombok. “Di Bali tidak ada,” kata Sumajaya. “Dan kayu ini, selain jati dan ulin, memang cocok sebagai galangan perahu,” Ulu menimpali pria yang ia panggil “bos” itu. Saat memesan kayu, sebagai tukang, Ulu dilibatkan. Ia ikut ke Lombok, ikut serta memilih dan memotong camplung di sana. “Kemarin sampai delapan hari di sana,” akunya. Dan slerek dengan kayu berkualitas, dapat bertahan selama lima belas sampai dua puluh tahunan.
Ersan (kiri) dan Saduki (kanan) sedang mengukur papan kayu yang sudah dilengkungkan | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Meski hanya bertiga, kelompok Ulu termasuk tukang perahu yang cepat. Dua bulan ke depan, slerek pesanan H. Ali ini bakal rampung. Dengan dimensi panjang 22 meter, lebar 5 meter, dan tinggi 2 meter, perahu setengah jadi—yang dikerjakan satu setengah bulan sebelumnya—itu tinggal finishing di beberapa bagian.
Begitu rampung, kapal itu akan ditarik ke lautan dengan cara gotong royong oleh ratusan warga. Disertai dengan doa-doa dan selamatan khusus, momentum itu biasanya menjadi atraksi yang menarik banyak warga lokal untuk datang dan melihat.
Berbahan kayu kutat, camplung, dan mahoni, dilengkapi empat buah mesin, kapal nelayan dengan lambung yang besar itu dibanderol mendekati harga satu unit bus double decker baru, yakni nyaris Rp 1 setengah miliar. Harganya jauh di atas perahu biasa yang hanya puluhan hingga ratusan juta. “Tapi untuk tukangnya ini borongan. Kami borong 125 juta,” Sumajaya berkata.
Untuk membuat sebuah perahu berbobot di atas lima ton, biasanya melibatkan delapan orang, terdiri atas empat orang tukang dan sisanya asisten. Tapi kelompok Ulu, sekali lagi, hanya tiga orang termasuk dirinya. “Semua tukang, nggak ada istilah asisten,” ujar Ulu dengan logat Madura-nya yang khas sembari tertawa.
Ya, Ulu, Saduki, dan Ersan, sama-sama belajar membuat perahu sejak kecil, turun-temurun. Sejak dulu, tanah mereka lahir memang terkenal sebagai lumbung perajin perahu. Maka wajar jika tangan-tangan mereka begitu terampil dan cekatan. Papan kayu seperti “tunduk” dan “patuh” di hadapan mereka. Enak saja mereka membuat lengkungan yang nyaris presisi. “Semua ada ukurannya, rumusnya, dan hitungannya sendiri. Hanya tukang yang tahu itu semua,” terang Saduki sambil membuat pasak.
Slerek setengah jadi garapan Ulu, dkk | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Selama mengerjakan slerek di Pengambengan—yang mampu mengarungi lautan, mereka mengaku tak pernah ada kendala berarti. Peralatan yang digunakan pun perpaduan antara alat tradisional dan modern. “Kecuali hujan,” kata Ersan. Beberapa hari ini hujan turun di Pengambengan. Dan mereka memilih meliburkan diri. “Itu sangat berisiko, karena kami menggunakan peralatan listrik. Teman saya meninggal karena kesetrum saat kerja hujan-hujan,” ucap Saduki.
Slerek dan Masa Depannya
Slerek telah menjadi ikon maritim Desa Pengambengan. Lebih dari sekadar alat penangkap ikan, slerek telah menyatu dengan kehidupan masyarakat setempat, membentuk identitas budaya dan ekonomi yang unik—slerek telah menjelmanadi kehidupan warga Madura dan Pengambengan. Kapal ini konon merupakan metamorfosa budaya bahari, keahlian membuat kapal, serta budaya dan seni dari Bugis, Madura, dan Bali.
Nelayan Pengambengan telah menggunakannya selama bergenerasi, turun-temurun. Kapal semacam ini juga dapat ditemukan di daerah Muncar, Banyuwangi, dan sekitarnya. Desainnya yang khas, dengan lambung yang lebar, panjang, dan kokoh, membuatnya sangat cocok untuk berlayar di perairan yang seringkali bergelombang—seperti Selat Bali di Samudra Hindia.
Kapal ini umumnya terbuat dari kayu dan dilengkapi dengan peralatan penangkapan ikan berupa jaring besar. Slerek beroperasi sepasang. Orang Pengambengan menyebutnya kapal “suami-istri”. “Slerek tidak banyak berubah. Hanya hiasannya saja yang berkembang,” terang Sumajaya.
Slerek setengah jadi bikinan Ulu, dkk | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Slerek memiliki peran yang sangat sentral dalam kehidupan masyarakat Pengambengan. Selain sebagai sumber mata pencaharian utama, slerek juga menjadi sarana transportasi, sarana sosial, dan bahkan menjadi bagian dari upacara adat seperti Petik Laut yang diselenggarakan setiap setahun sekali pada bulan Muharram. Nelayan Pengambengan memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dalam mengoperasikan slerek, yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Namun, di balik keindahan dan keunikannya, kapal slerek juga menyimpan kisah pahit tentang pasang surut nasib para nelayan—dan itu juga berpengaruh terhadap eksistensinya, tentu saja. Dulu, saat tangkapan ikan melimpah, kapal-kapal ini menjadi sumber kehidupan yang menjanjikan. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, hasil tangkapan terus menurun drastis.
Perubahan iklim, penangkapan ikan yang berlebihan, dan kerusakan ekosistem laut menjadi beberapa faktor yang mengancam keberlangsungan hidup nelayan yang menggantungkan hidupnya pada kapal slerek. Kemarin, tak sedikit nelayan Pengambengan kembali pulang tanpa seekor tangkapan pun. “Dulu, sekali melaut bisa dapat berton-ton ikan. Sekarang, dapat beberapa kuintal saja sudah syukur,” ujar Ahmad Zainul Huda, seorang nelayan Pengambengan.
Penurunan hasil tangkapan bukan satu-satunya masalah yang dihadapi oleh nelayan pengguna kapal slerek. Meningkatnya harga bahan bakar minyak, biaya perawatan kapal yang mahal, serta persaingan dengan kapal-kapal nelayan modern juga menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, perubahan kebijakan pemerintah terkait perikanan juga turut memengaruhi kehidupan nelayan. Pembatasan wilayah penangkapan dan jenis ikan yang boleh ditangkap membuat nelayan semakin kesulitan mencari nafkah.
Slerek adalah warisan budaya yang sangat berharga. Melalui slerek, kita dapat melihat bagaimana masyarakat nelayan di Pengambengan telah mampu beradaptasi dengan perubahan zaman sambil tetap menjaga tradisi dan identitas budaya mereka.
“Semoga slerek akan selalu dibuat dan tetap digunakan nelayan Pengambengan,” Sumajaya berharap. Harapan itu tampaknya juga diamini Ulu, Saduki, dan Ersan, meski mereka bertiga terlihat tak begitu yakin. “Sebab bahan bakunya semakin sulit,” ujar Ulu.
Haulu sedang persiapan memasak dinding slerek | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Selain langka, bahan baku untuk membuat slerek harganya semakin mahal. Selain jati, galangan perahu slerek biasanya memanfaatkan kayu nyamplong (Calophyllum inophylum) ataupun ulin (Eusideroxylon zwageri). Ulin atau kayu besi yang ada di Kalimantan jumlahnya makin sedikit dan kini masuk apendik II dan dilindungi oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Artinya, tidak mudah untuk memanfaatkan kayu-kayu eksotis itu.
Namun, terlepas dari itu, slerek di jantung Pulau Bali, di mana samudra memeluk pesisir dengan ombak yang berbuih, tetap sebuah legenda maritim Nusantara yang akan tercatat sebagai sejarah. Dari Pelabuhan Pengambengan, Jembrana, kapal-kapal ini telah menjadi saksi bisu dari pergulatan hidup nelayan, dari tarian ikan di kedalaman laut hingga deru mesin yang mengiris keheningan fajar.
Slerek, sekali lagi, bukan sekadar alat penangkap ikan. Ia adalah sebuah rumah terapung, sebuah candi bagi para dewa laut, dan simbol keuletan manusia yang hidup berdampingan dengan alam. Setiap goresan kayu pada lambungnya adalah puisi yang menceritakan kisah panjang perjalanan.
Saat matahari tenggelam, slerek berlayar menuju rahim bahari, meninggalkan jejak buih di permukaan laut. Nelayan-nelayan, khususnya juragan laut, sang nahkoda slerek, dengan mata setajam elang, mengarahkan kapal menuju titik-titik tangkapan yang telah mereka kenal bertahun-tahun. Mereka adalah penjelajah samudra, petualang yang tak kenal lelah dalam mencari rezeki.
Di tengah lautan yang luas, kapal slerek menjadi saksi bisu dari berbagai peristiwa. Ada tawa riang saat ikan-ikan berlomba masuk ke dalam jaring, ada pula keheningan saat badai menerjang. Namun, apapun yang terjadi, para nelayan selalu kembali ke pelabuhan dengan membawa harapan baru.
Ketika hari tiba, slerek kembali ke pelabuhan, membawa hasil tangkapan yang akan menghidupi keluarga mereka. Cahaya lampu pelabuhan menyambut mereka dengan hangat, seolah menyambut para pahlawan yang baru saja pulang dari medan perang.
Kapal slerek, dengan segala kemegahan dan kesederhanaannya, akan terus menjadi bagian dari sejarah maritim Indonesia. Ia adalah simbol dari keuletan, keberanian, dan semangat pantang menyerah—sebagaimana para nelayan itu sendiri.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole