SEJENAK lagi umat Kristiani akan merayakan Natal tahun 2024. Natal, dalam perayaan yang sejatinya penuh makna, mengundang kita untuk berhenti sejenak dan merenungkan ulang tujuan dari segala pencapaian ini.
Modernitas sering kali membawa manusia pada rasa cukup semu, seolah semua jawaban sudah ditemukan dalam genggaman teknologi. Namun, di tengah kegemerlapan ini, Natal menawarkan pesan yang sederhana tapi mendalam: kasih, kerendahan hati, dan kehadiran ilahi dalam bentuk yang paling manusiawi.
Dalam realita modern saat ini, manusia seolah tengah berdiri dengan bangga atas pencapaiannya. Sah-sah saja memang. Teknologi yang meroket, globalisasi yang mampu meniadakan jarak, dan berbagai permasalahan kompleks dan ruwet bisa dipecahkan dengan logika dan sains. Kita, sebagai salah satu spesies penghuni planet bumi, tampaknya begitu perkasa. Tapi, tunggu dulu, di balik segala kesuksesan ini, bolehlah kita menghadirkan sebuah pertanyaan: Apakah kita masih membutuhkan Tuhan?
Mari kita coba untuk jujur dan legowo. Dunia modern tampaknya cenderung membuat kita berpikir bahwa Tuhan adalah sesuatu yang usang, warisan dari masa lalu yang penuh mitos. Kita sampai di era ketika robot dapat menjalankan tugas yang sebelumnya dianggap mustahil.
Algoritma kecerdasan buatan kini mampu memprediksi dan menyusun pola kerja yang bahkan otak manusia kita tidak mampu lagi untuk memahami. Di zaman ini atau mungkin ke zaman depan, apakah kehadiran Tuhan masih relevan? Banyak dari kita, mungkin tidak secara terang-terangan menyangsikan keberadaan Tuhan, tetapi diam-diam mulai skeptis, mulai mempertanyakan, apakah Dia benar-benar dibutuhkan.
Lihat saja bagaimana rasionalitas sudah menjadi “agama” baru kita. Bukankah teknologi telah menjadi penyelamat kita yang modern? Kita tidak lagi berdoa untuk meminta hujan seperti nenek moyang dahulu, kini kita menciptakan teknologi penjernihan air dan rekayasa cuaca. Kita tidak lagi mengandalkan keajaiban untuk penyembuhan, obat-obatan dan terapi genetik telah hadir menjadi tangan-tangan “ilahiah” yang lebih nyata. Dalam dunia seperti ini, apa yang tersisa untuk Tuhan?
Namun, apakah benar kita telah menemukan “Tuhan baru” dalam rasionalitas dan teknologi? Atau, mungkinkah kita hanya teralihkan dari kenyataan yang lebih hakiki, bahwa meskipun dunia modern menawarkan solusi praktis dalam hidup, namun acap kali gagal menjawab pertanyaan eksistensial: Mengapa kita ada? Apa tujuan kita di dunia ini?
Banyak yang merasa yakin bahwa rasionalitas adalah satu-satunya cara untuk memahami dunia. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, rasionalitas kerap tak cukup. Ketika kita menghadapi penderitaan yang tak terjelaskan, kehilangan mendalam, atau kehampaan yang tak bisa ditutupi oleh harta atau pencapaian, ke mana kita berlari? Apakah kita yakin bahwa semua ini hanyalah kebetulan tanpa makna? Dunia modern mungkin menawarkan jawaban-jawaban praktis, tetapi pada akhirnya, bisakah ia benar-benar menggantikan Tuhan?
Pertanyaan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyerang atau merendahkan pencapaian modernitas. Sebaliknya, pertanyaan ini sifatnya retoris, sebuah undangan untuk refleksi: apakah kita telah begitu terpukau oleh gemerlap dunia modern sehingga melupakan sesuatu yang lebih besar, lebih transenden, dan lebih abadi? Tuhan mungkin terasa usang di tengah hiruk-pikuk teknologi, tetapi apakah benar kita telah menemukan pengganti yang layak untuk-Nya?
Menyingkirkan Tuhan: Pilihan atau Keterpaksaan?
Dalam dunia yang semakin rasional, sulit bagi sebagian orang untuk menerima Tuhan tanpa bukti empiris. Lebih masuk akal untuk mengikuti teori tentang keberadaan Alien atau spiritualisme baru macam Starseed. Richard Dawkins, melalui bukunya The God Delusion, berargumen bahwa keimanan hanyalah hasil evolusi psikologis manusia, jadi keimanan adalah semacam ilusi kolektif.
Teknologi pun semakin menjadi “Tuhan baru,” yang mampu memberikan solusi instan atas kebutuhan kita dari makanan hingga relasi, semua ada dalam genggaman ponsel. Tanya ponsel, tunjuk di ponsel, klik di ponsel, dan semua jadi kenyataan.
Namun, apakah kemajuan ini benar-benar membawa kita pada kebahagiaan sejati? Banyak orang modern hidup tanpa Tuhan, tapi apakah mereka merasa lebih lengkap? Data menunjukkan hal sebaliknya. Krisis eksistensial dan kesehatan mental meningkat di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara maju yang dianggap telah “melampaui” kebutuhan akan agama.
Ketika Tuhan Tergeser, Apa yang Hilang?
Kehidupan tanpa Tuhan mungkin terasa bebas, bahkan memabukkan, seolah-olah manusia akhirnya menjadi penguasa penuh atas takdirnya sendiri. Namun, kebebasan ini sering kali membawa kehampaan yang tak terelakkan. Seorang Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis, dengan tajam menggambarkan absurditas kehidupan tanpa dimensi transendental: manusia menjadi seperti perahu tanpa arah, terombang-ambing di tengah samudera luas tanpa pelabuhan tujuan.
Kebebasan ini tidak membebaskan, melainkan justeru mengisolasi, sementara teknologi bergerak maju meninggalkan manusia terperangkap dalam kehampaan eksistensial, mencari makna di dunia yang tidak mampu untuk memberikan pemenuhannya.
Tanpa Tuhan, kita juga kehilangan fondasi moral yang kokoh. Dalam ketiadaan standar moral absolut, nilai-nilai etika menjadi cair dan bergeser. Apa yang dianggap benar hari ini bisa menjadi salah besok, tergantung pada siapa yang memegang kuasa dan narasi.
Ironisnya, kita hidup di zaman yang dipenuhi dengan teknologi canggih, kecerdasan buatan, media sosial, komunikasi instan, namun sering kali tidak tahu untuk apa semua itu digunakan. Media sosial, yang awalnya dirancang untuk menghubungkan manusia, kini justru memisahkan kita secara emosional, membuat kita lebih sibuk dengan citra daripada esensi.
Obsesi terhadap benda materi, prestasi, dan kenyamanan instan menjauhkan kita dari pertanyaan mendasar: Untuk apa semua ini? Ketika Tuhan tergeser, yang hilang bukan hanya makna dan moralitas, tetapi juga jiwa kita sendiri. Dunia modern mungkin menawarkan solusi untuk masalah teknis, tetapi ia sering kali gagal menjawab kebutuhan terdalam manusia akan makna, arah, dan keutuhan spiritual. Apa gunanya menggenggam dunia di tangan jika jiwa hampa dan hati kita tetap kosong?
Kenapa Tuhan Masih Relevan?
Mari kita berhenti sejenak dan berpikir jernih. Teknologi memang mampu menyembuhkan penyakit yang tubuh manusia derita, tetapi adakah teknologi yang mampu mengobati rasa hampa yang menggerogoti jiwa manusia?
Sains dapat menjelaskan dengan detil bagaimana alam semesta berfungsi, tetapi adakah sains yang mampu menjawab pertanyaan yang jauh lebih mendalam: Mengapa alam semesta ini ada? Di tengah keterbatasan fatal ini, Tuhan menjadi relevan. Dalam kekosongan yang ditinggalkan oleh penjelasan-penjelasan rasional, Tuhan menawarkan jawaban yang tidak bisa diungkapkan dengan angka atau teori fisika.
Paul Tillich, teolog terkemuka, menyebut Tuhan sebagai “dasar eksistensi” ,the Ground of Being. Ini bukan sekadar konsep abstrak; ini adalah kebutuhan yang terpendam dalam setiap diri kita. Meskipun kita tidak selalu menyadari keberadaannya, namun pada saat krisis, ketika rasionalitas kita gagal memberikan jawaban atau penjelasan, secara naluriah kita mencari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, sesuatu yang memberikan makna dan arah yang tak bisa digantikan oleh teknologi atau materialisme.
Yang menarik, meski kita hidup di dunia yang semakin sekuler, data menunjukkan pencarian spiritual justru semakin meningkat. Komunitas meditasi, kelas yoga, dan praktik mindfulness kini menjadi tren yang meluas. Semua ini menunjukkan bahwa manusia modern tetap membutuhkan dimensi transendental, meskipun mereka tidak selalu menyebutnya dengan kata “Tuhan”.
Mungkin sedikit malu menyebutNya, karena terasa usang dan primitif. Bukankah ini bukti bahwa walau dunia semakin materialistik, jiwa manusia tetap mendambakan keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih bermakna?
Tantangan untuk Kita Semua
Kita hidup di zaman yang penuh dengan distraksi, tetapi mungkin inilah saatnya untuk berhenti, sejenak bertanya pada diri sendiri: Apakah saya benar-benar bahagia? Apakah hidup saya memiliki kedalaman makna? Tuhan tidak akan memaksa kita untuk mendekat. Tetapi jika kita mau membuka hati dan pikiran, kita mungkin tak akan tercekat. Kita akan menemukan bahwa kehadiran-Nya adalah jawaban atas kerinduan, yang selama ini kita abaikan.
Era modern tidak menghapus kebutuhan akan Tuhan. Justru, modernitas semakin membuktikan bahwa kita memerlukan Tuhan lebih dari sebelumnya, bukan sebagai solusi instan atau budak bagi kita, seperti halnya teknologi, tetapi sebagai sumber makna dan tujuan yang sejati. Maka, di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang serba cepat ini, Natal menjadi momen untuk merenungkan kembali apa yang benar-benar penting. Bukan sekadar tentang perayaan yang mewah atau keberhasilan duniawi, tetapi tentang menemukan kedamaian sejati dalam kehadiran-Nya.
Natal mengundang kita untuk pulang, bukan hanya secara fisik pulang kampung atau ke gereja, tetapi secara hakiki adalah secara spiritual yaitu kembali kepada kasih yang melampaui logika dan pencapaian manusia. Akhirnya, jawaban ada di tangan kita. Tuhan tidak pernah jauh, Dia selalu dalam diri kita, tetapi apakah kita bersedia melangkah mendekat? Maukah kita kembali kepada-Nya? Kita siapkan jawabannya, karena sepertinya Tuhan tengah menunggu jawaban Anda. Kepada saudara yang merayakannya, selamat merayakan Natal! [T]
BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI