30 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Renungan Natal: Membunuh Tuhan dengan Algoritma

Petrus Imam Prawoto JatibyPetrus Imam Prawoto Jati
December 21, 2024
inEsai
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

Petrus Imam Prawoto Jati

SEJENAK lagi umat Kristiani akan merayakan Natal tahun 2024. Natal, dalam perayaan yang sejatinya penuh makna, mengundang kita untuk berhenti sejenak dan merenungkan ulang tujuan dari segala pencapaian ini.

Modernitas sering kali membawa manusia pada rasa cukup semu, seolah semua jawaban sudah ditemukan dalam genggaman teknologi. Namun, di tengah kegemerlapan ini, Natal menawarkan pesan yang sederhana tapi mendalam: kasih, kerendahan hati, dan kehadiran ilahi dalam bentuk yang paling manusiawi.

Dalam realita modern saat ini, manusia seolah tengah berdiri dengan bangga atas pencapaiannya. Sah-sah  saja memang. Teknologi yang meroket, globalisasi yang mampu meniadakan jarak, dan berbagai permasalahan kompleks dan ruwet bisa dipecahkan dengan logika dan sains. Kita, sebagai salah satu spesies penghuni planet bumi, tampaknya begitu perkasa. Tapi, tunggu dulu, di balik segala kesuksesan ini, bolehlah kita menghadirkan sebuah pertanyaan: Apakah kita masih membutuhkan Tuhan?

Mari kita coba untuk jujur dan legowo. Dunia modern tampaknya cenderung membuat kita berpikir bahwa Tuhan adalah sesuatu yang usang, warisan dari masa lalu yang penuh mitos. Kita sampai di era ketika robot dapat menjalankan tugas yang sebelumnya dianggap mustahil.

 Algoritma kecerdasan buatan kini mampu memprediksi dan menyusun pola kerja yang bahkan otak manusia kita tidak mampu lagi untuk memahami. Di zaman ini atau mungkin ke zaman depan, apakah kehadiran Tuhan masih relevan? Banyak dari kita, mungkin tidak secara terang-terangan menyangsikan keberadaan Tuhan, tetapi diam-diam mulai skeptis, mulai mempertanyakan, apakah Dia benar-benar dibutuhkan.

Lihat saja bagaimana rasionalitas sudah menjadi “agama” baru kita. Bukankah teknologi telah menjadi penyelamat kita yang modern? Kita tidak lagi berdoa untuk meminta hujan seperti nenek moyang dahulu, kini kita menciptakan teknologi penjernihan air dan rekayasa cuaca. Kita tidak lagi mengandalkan keajaiban untuk penyembuhan, obat-obatan dan terapi genetik telah hadir menjadi tangan-tangan “ilahiah” yang lebih nyata. Dalam dunia seperti ini, apa yang tersisa untuk Tuhan?

Namun, apakah benar kita telah menemukan “Tuhan baru” dalam rasionalitas dan teknologi? Atau, mungkinkah kita hanya teralihkan dari kenyataan yang lebih hakiki, bahwa meskipun dunia modern menawarkan solusi praktis dalam hidup, namun acap kali gagal menjawab pertanyaan eksistensial: Mengapa kita ada? Apa tujuan kita di dunia ini?

Banyak yang merasa yakin bahwa rasionalitas adalah satu-satunya cara untuk memahami dunia. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, rasionalitas kerap tak cukup. Ketika kita menghadapi penderitaan yang tak terjelaskan, kehilangan mendalam, atau kehampaan yang tak bisa ditutupi oleh harta atau pencapaian, ke mana kita berlari? Apakah kita yakin bahwa semua ini hanyalah kebetulan tanpa makna? Dunia modern mungkin menawarkan jawaban-jawaban praktis, tetapi pada akhirnya, bisakah ia benar-benar menggantikan Tuhan?

Pertanyaan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menyerang atau merendahkan pencapaian modernitas. Sebaliknya, pertanyaan ini sifatnya retoris, sebuah undangan untuk refleksi: apakah kita telah begitu terpukau oleh gemerlap dunia modern sehingga melupakan sesuatu yang lebih besar, lebih transenden, dan lebih abadi? Tuhan mungkin terasa usang di tengah hiruk-pikuk teknologi, tetapi apakah benar kita telah menemukan pengganti yang layak untuk-Nya?

Menyingkirkan Tuhan: Pilihan atau Keterpaksaan?

Dalam dunia yang semakin rasional, sulit bagi sebagian orang untuk menerima Tuhan tanpa bukti empiris. Lebih masuk akal untuk mengikuti teori tentang keberadaan Alien atau spiritualisme baru macam Starseed. Richard Dawkins, melalui bukunya The God Delusion, berargumen bahwa keimanan hanyalah hasil evolusi psikologis manusia, jadi keimanan adalah semacam ilusi kolektif.

Teknologi pun semakin menjadi “Tuhan baru,” yang mampu memberikan solusi instan atas kebutuhan kita dari makanan hingga relasi, semua ada dalam genggaman ponsel. Tanya ponsel, tunjuk di ponsel, klik di ponsel, dan semua jadi kenyataan.

Namun, apakah kemajuan ini benar-benar membawa kita pada kebahagiaan sejati? Banyak orang modern hidup tanpa Tuhan, tapi apakah mereka merasa lebih lengkap? Data menunjukkan hal sebaliknya. Krisis eksistensial dan kesehatan mental meningkat di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara maju yang dianggap telah “melampaui” kebutuhan akan agama.

Ketika Tuhan Tergeser, Apa yang Hilang?

Kehidupan tanpa Tuhan mungkin terasa bebas, bahkan memabukkan, seolah-olah manusia akhirnya menjadi penguasa penuh atas takdirnya sendiri. Namun, kebebasan ini sering kali membawa kehampaan yang tak terelakkan. Seorang Jean-Paul Sartre, filsuf eksistensialis, dengan tajam menggambarkan absurditas kehidupan tanpa dimensi transendental: manusia menjadi seperti perahu tanpa arah, terombang-ambing di tengah samudera luas tanpa pelabuhan tujuan.

Kebebasan ini tidak membebaskan, melainkan justeru mengisolasi, sementara teknologi bergerak maju meninggalkan manusia terperangkap dalam kehampaan eksistensial, mencari makna di dunia yang tidak mampu untuk memberikan pemenuhannya.

Tanpa Tuhan, kita juga kehilangan fondasi moral yang kokoh. Dalam ketiadaan standar moral absolut, nilai-nilai etika menjadi cair dan bergeser. Apa yang dianggap benar hari ini bisa menjadi salah besok, tergantung pada siapa yang memegang kuasa dan narasi.

Ironisnya, kita hidup di zaman yang dipenuhi dengan teknologi canggih, kecerdasan buatan, media sosial, komunikasi instan, namun sering kali tidak tahu untuk apa semua itu digunakan. Media sosial, yang awalnya dirancang untuk menghubungkan manusia, kini justru memisahkan kita secara emosional, membuat kita lebih sibuk dengan citra daripada esensi.

Obsesi terhadap benda materi, prestasi, dan kenyamanan instan menjauhkan kita dari pertanyaan mendasar: Untuk apa semua ini? Ketika Tuhan tergeser, yang hilang bukan hanya makna dan moralitas, tetapi juga jiwa kita sendiri. Dunia modern mungkin menawarkan solusi untuk masalah teknis, tetapi ia sering kali gagal menjawab kebutuhan terdalam manusia akan makna, arah, dan keutuhan spiritual. Apa gunanya menggenggam dunia di tangan jika jiwa hampa dan hati kita tetap kosong?

Kenapa Tuhan Masih Relevan?

Mari kita berhenti sejenak dan berpikir jernih. Teknologi memang mampu menyembuhkan penyakit yang tubuh manusia derita, tetapi adakah teknologi yang mampu mengobati rasa hampa yang menggerogoti jiwa manusia?

 Sains dapat menjelaskan dengan detil bagaimana alam semesta berfungsi, tetapi adakah sains yang mampu menjawab pertanyaan yang jauh lebih mendalam: Mengapa alam semesta ini ada? Di tengah keterbatasan fatal ini, Tuhan menjadi relevan. Dalam kekosongan yang ditinggalkan oleh penjelasan-penjelasan rasional, Tuhan menawarkan jawaban yang tidak bisa diungkapkan dengan angka atau teori fisika.

Paul Tillich, teolog terkemuka, menyebut Tuhan sebagai “dasar eksistensi” ,the Ground of Being. Ini bukan sekadar konsep abstrak; ini adalah kebutuhan yang terpendam dalam setiap diri kita. Meskipun kita tidak selalu menyadari keberadaannya, namun pada saat krisis, ketika rasionalitas kita gagal memberikan jawaban atau penjelasan, secara naluriah kita mencari sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, sesuatu yang memberikan makna dan arah yang tak bisa digantikan oleh teknologi atau materialisme.

Yang menarik, meski kita hidup di dunia yang semakin sekuler, data menunjukkan pencarian spiritual justru semakin meningkat. Komunitas meditasi, kelas yoga, dan praktik mindfulness kini menjadi tren yang meluas. Semua ini menunjukkan bahwa manusia modern tetap membutuhkan dimensi transendental, meskipun mereka tidak selalu menyebutnya dengan kata “Tuhan”.

Mungkin sedikit malu menyebutNya, karena terasa usang dan primitif. Bukankah ini bukti bahwa walau dunia semakin materialistik, jiwa manusia tetap mendambakan keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih bermakna?

Tantangan untuk Kita Semua

Kita hidup di zaman yang penuh dengan distraksi, tetapi mungkin inilah saatnya untuk berhenti, sejenak bertanya pada diri sendiri: Apakah saya benar-benar bahagia? Apakah hidup saya memiliki kedalaman makna? Tuhan tidak akan memaksa kita untuk mendekat. Tetapi jika kita mau membuka hati dan pikiran, kita mungkin tak akan tercekat. Kita akan menemukan bahwa kehadiran-Nya adalah jawaban atas kerinduan, yang selama ini kita abaikan.

 Era modern tidak menghapus kebutuhan akan Tuhan. Justru, modernitas semakin membuktikan bahwa kita memerlukan Tuhan lebih dari sebelumnya, bukan sebagai solusi instan atau budak bagi kita, seperti halnya teknologi, tetapi sebagai sumber makna dan tujuan yang sejati. Maka, di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang serba cepat ini, Natal menjadi momen untuk merenungkan kembali apa yang benar-benar penting. Bukan sekadar tentang perayaan yang mewah atau keberhasilan duniawi, tetapi tentang menemukan kedamaian sejati dalam kehadiran-Nya.

Natal mengundang kita untuk pulang, bukan hanya secara fisik pulang kampung atau ke gereja, tetapi secara hakiki adalah secara spiritual yaitu kembali kepada kasih yang melampaui logika dan pencapaian manusia. Akhirnya, jawaban ada di tangan kita. Tuhan tidak pernah jauh, Dia selalu dalam diri kita, tetapi apakah kita bersedia melangkah mendekat? Maukah kita kembali kepada-Nya? Kita siapkan jawabannya, karena sepertinya Tuhan tengah menunggu jawaban Anda. Kepada saudara yang merayakannya, selamat merayakan Natal! [T]

BACA artikel lain dari penulis PETRUS IMAM PRAWOTO JATI

Dunia Tanpa Ampun: Ketika Jejak Digital Menghakimi Anda
TikTok, Generasi Muda, dan Identitas Digital yang Terkonstruksi
Memaknai Foto sebagai Narasi Identitas, Sosial, dan Budaya
ASMR: Hiburan, Manipulasi, dan Refleksi atas Kehidupan Modern
Merandai Cakrawala Sinema: Membangun Karakter Generasi Milenial hingga Alpha
Tags: Hari NatalNatalrefleksirenungan
Previous Post

Pergi Tanpa Pesan | Cerpen I Wayan Dede Putra Wiguna

Next Post

Fenomena Bawa Mayat ke Setra dengan Mobil Terbuka di Nusa Penida

Petrus Imam Prawoto Jati

Petrus Imam Prawoto Jati

Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah

Next Post
Fenomena Bawa Mayat ke Setra dengan Mobil Terbuka di Nusa Penida

Fenomena Bawa Mayat ke Setra dengan Mobil Terbuka di Nusa Penida

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

by Emi Suy
May 29, 2025
0
Membunyikan Luka, Menghidupkan Diri : Catatan Pameran “Gering Agung” Putu Wirantawan

DI masa pandemi, ketika manusia menghadapi kenyataan isolasi yang menggigit dan sakit yang tak hanya fisik tapi juga psikis, banyak...

Read more

Uji Coba Vaksin, Kontroversi Agenda Depopulasi versus Kultur Egoistik Masyarakat

by Putu Arya Nugraha
May 29, 2025
0
Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Profesi Dokter

KETIKA di daerah kita seseorang telah digigit anjing, apalagi anjing tersebut anjing liar, hal yang paling ditakutkan olehnya dan keluarganya...

Read more

Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

by Bayu Wira Handyan
May 28, 2025
0
Sunyi yang Melawan dan Hal-hal yang Kita Bayangkan tentang Hidup : Film “All We Imagine as Light”

DI kota-kota besar, suara-suara yang keras justru sering kali menutupi yang penting. Mesin-mesin bekerja, kendaraan berseliweran, klakson bersahutan, layar-layar menyala...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud
Pameran

Memperingati Seratus Tahun Walter Spies dengan Pameran ROOTS di ARMA Museum Ubud

SERATUS tahun yang lalu, pelukis Jerman kelahiran Moskow, Walter Spies, mengunjungi Bali untuk pertama kalinya. Tak lama kemudian, Bali menjadi...

by Nyoman Budarsana
May 27, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co