SETELAH diritualkan (dikafani), mayat biasanya langsung ditegen (diusung) menuju setra untuk dikuburkan. Sementara, anggota keluarga beserta krama lainnya berbondong-bondong (jalan kaki) mengikuti dari belakang—dengan langkah terburu-buru seperti hendak mengejar maling. Namun, pemandangan ini tidak terlihat waktu penguburan Men Dame (bibi saya) pada tanggal 2 Agustus 2024 lalu. Jenazahnya dibawa menggunakan mobil pick up terbuka menuju setra atau kuburan.
Fenomena ini terjadi Pulau Nuda Penida, tepatnya di Desa Adat Sebunibus, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali. Krama Desa Adat Sebunibus tidak mengusung jenazah dengan cara ditegen, tetapi menempatkannya di atas mobil terbuka. Kemudian, pihak keluarga dan beberapa krama lainnya duduk sambil menjaga kondisi jasad agar tidak terpeleset ke bawah. Sisanya, berdiri berpegangan pada pagar pembatas mobil. Sementara, krama yang tidak dapat jatah di mobil mengikuti beramai-ramai dengan sepeda motor dari belakang, mirip orang berkonvoi.
Fenomena mengusung mayat dengan mobil terbuka ke setra inidiperkirakan ada sejak tahun 2019 di Desa Adat Sebunibus. Kira-kira apa yang memicu munculnya fenomena baru tersebut? Adakah korelasinya dengan perkembangan pariwisata yang melejit per tahun 2017-2018 di Nusa Penida? Atau jangan-jangan ini memang sikap visioner krama Desa Adat Sebunibus dalam merespon dinamika (perkembangan) zaman?
Sebagai awalan, coba kita telusuri dulu beberapa faktor elementer yang menjadi pemicunya. Yang pertama ialah faktor jarak. Perlu diketahui bahwa tidak semua krama Desa Adat Sebunibus memilih opsi membawa jenazah (ke kuburan) dengan mobil terbuka. Hanya krama yang tinggal di area “demelan” (ngubu). Krama yang tinggal agak jauh dari jumah desa atau pusat desa adat. Jarak untuk mencapai setra-nya kurang lebih 1 kilometer.
Kedua, faktor lintasan. Kebetulan, rute dari lokasi demelan ke setra Desa Adat Sebunibus melintasi jalan utama yang menghubungkan lokasi Desa Adat Sebunibus dengan wilayah lainnya seperti Desa Adat Sakti, Desa Adat Klumpu, Kampung Toya Pakeh dan lain sebagainya. Lintasan jalan utama itu tergolong cukup panjang (kurang lebih 1 kilometer). Hal ini tentu menjadi pertimbangan serius bagi krama Desa Adat Sebunibus (demelan) ketika mengusung mayat ke setra karena memengaruhi arus lalu lintas di jalan utama.
Kedua faktor dasar inilah yang memberikan tantangan tersendiri bagi krama Desa Adat Sebunibus (demelan) hingga memunculkan ide membawa mayat ke setra dengan mobil terbuka. Namun demikian, tidak semua krama demelan menerima ide tersebut. Hingga kini (selama 5 tahun berjalan), ada beberapa krama demelan belum dapat menerima keputusan tersebut. Mereka menolak jasad keluarganya dibawa menggunakan mobil terbuka.
Kelompok yang kontra berpandangan bahwa membawa mayat dengan mobil terbuka dianggap kurang etis. Kurang manusiawi. Pasalnya, sebelum dikubur mayat sudah mengalami prosesi ritual dan mendapatkan penghormatan dari pihak keluarga. Semestinya, jasad itu mendapatkan perlakuan terhormat. Karena itu, kelompok kontra tetap menginginkan jasad ditegen dengan model konvensional.
Mayat diusung ke setra dengan mobil | Foto: Serawan
Tampaknya, kontroversi ini sudah diprediksi oleh krama Desa Adat Sebunibus (demelan). Karena itu, membawa mayat dengan mobil terbuka bukan keputusan wajib melainkan sebuah opsi. Jadi, semua tergantung pada krama itu sendiri. Apakah dibawa dengan mobil terbuka atau ditegen? Pilihan ada di pihak keluarga yang berduka.
Sebagai permulaan, ide membawa mayat dengan mobil terbuka memang wajar mengalami kontroversi. Mungkin mirip dengan kasus mundut sesuhunan menggunakan mobil terbuka saat melasti ke laut (dulu). Awalnya, mendapat penolakan dari beberapa krama Desa Adat Sebunibus. Seiring perjalanan waktu, power penolakan itu pun perlahan-lahan meredup. Ujung-ujungnya, krama Desa Adat Sebunibus menerima sesuhunan-nya memargi dengan menggunakan mobil terbuka.
Begitu juga dengan kasus membawa jasad ke setra dengan mobil terbuka. Pelan-pelan tampaknya akan diterima oleh krama Desa Adat Sebunibus. Di samping praktis, juga hemat tenaga dan efektif. Inilah faktor lain yang mendorong beberapa krama (demelan) memilih opsi tersebut.
Dalam konteks sekarang, opsi dengan mobil terbuka tentu lebih populer. Relevan dengan karakter dan kebutuhan masyarakat modern yang tidak suka ribet. Masyarakat sekarang pasti lebih menginginkan cara-cara yang praktis, cepat dan ekonomis. Begitu juga dengan krama Desa Adat Sebunibus demelan. Apakah hal ini menandakan bahwa krama Desa Adat Sebunibus demelan terlalu berjiwa praktis?
Penurunan ego adat, respon cepat, dan toleransi
Ide membawa mayat dengan mobil terbuka memang tidak bisa dilepaskan dari sikap praktis krama Desa Adat Sebunibus. Namun, kepraktisan itu hanya menjadi pintu masuknya aspek “penurunan ego adat”. Aspek ini begitu urgen dan memberikan efek besar bagi masyarakat umum.
Ego adat yang dimaksud ialah ego dalam memanfaatkan jalan raya (umum). Biasanya, aktivitas adat lebih sering memanfaatkan badan jalan secara berlebihan. Di beberapa tempat, seringkali kita jumpai krama desa adat menggunakan badan jalan umum secara total. Hampir semua jalan dipenuhi. Seolah-olah jalan umum menjadi milik krama adat. Padahal, jalan umum milik krama dan semua orang di luar krama adat.
Dampak dari ego adat itulah yang menyebabkan laju lalu lintas menjadi lambat. Jalanan menjadi macet. Mungkin, inilah yang mendorong krama Desa Adat Sebunibus (demelan) memunculkan ide penguburan dengan menggunakan mobil terbuka. Apalagi kemacetan (sekarang) sudah menjadi pemandangan sehari-hari di Nusa Penida.
Semenjak pariwisata bertumbuh di Nusa Penida (dimulai sekitar tahun 2017-2018), kasus macet menjadi pemandangan jalanan hampir setiap hari. Di samping karena keberadaan kendaraan yang terus mengalami peningkatan, ukuran jalan juga terlalu sempit.
Karena itu, krama Desa Adat Sebunibus tidak mau lagi menambah kemacetan di Nusa Penida dengan aktivitas adat. Sebaliknya, krama Desa Adat Sebunibus ikut berpartisipasi aktif mencari solusi untuk meminimalisasikan kasus kamacetan di Nusa Penida.
Coba bayangkan, jika menggunakan model penguburan konvensional. Mayat di-tegen, diiringi krama—maka monopoli jalan sulit dihindari. Efeknya, lalu lintas menjadi lebih lambat. Waktu kemacetan juga menjadi lebih lama.
Setiap orang pasti tidak menginginkan kemacetan. Terlebih lagi, di daerah tujuan wisata seperti Nusa Penida. Kemacetan akan merugikan pengguna jalan umum dan terutama pelaku pariwisata di Nusa Penida. Yang paling merasakan di lapangan ialah para driver (sopir yang membawa tamu), ketika perjalanan menjemput (di pelabuhan) dan mengantar tamu (ke objek wisata). Begitu juga saat mengantar tamu kembali ke pelabuhan.
Bagi para driver, kemacetan menjadi biang ketidaktepatan waktu yang serius. Pasalnya, kebanyakan para driver di Nusa Penida membawa tamu yang half atau one day trip. Para tamu mengelilingi objek wisata hanya setengah atau satu hari. Kemudian, hari itu juga mereka harus kembali ke Bali seberang. Untuk memenuhi jadwal tour tamu tersebut, para sopir seperti diburu waktu.
Para sopir harus membawa tamu keliling dalam waktu setengah atau satu hari di Nusa Penida. Hari itu juga, mereka harus mengantar tamu kembali ke pelabuhan untuk menyeberang ke Bali seberang. Kondisi inilah yang memicu para sopir menjadi raja jalanan. Mereka dipaksa harus memenuhi rute dengan waktu yang sudah ditetapkan. Sementara, bayang-bayang kemacetan sulit mereka hindari.
Akhirnya, para sopir menyetir mobil dengan ekspektasinya sendiri. Mereka menjadi tergesa-gesa, ngebut di jalanan sempit hingga mengambil badan jalan arah lawan. Kondisi inilah yang sering memicu lakalantas di Nusa Penida.
Di samping sebagai bentuk “penurunan ego adat”, penguburan dengan memanfaatkan mobil terbuka juga merupakan wujud respon adat yang cepat. Hanya berselang satu tahun pasca pariwisata melejit di Nusa Penida, krama Desa Adat Sebunibus sudah mampu merespon dinamikanya. Buktinya, muncul perubahan pola penguburan adat yang semula ditegen menjadi menggunakan mobil terbuka.
Kecepatan respon ini mungkin dipengaruhi oleh pola pikir dasar masyarakat Desa Adat Sebunibus yang terbuka, adaptif, dinamis dan modern. Mungkin, mindset ini dibangun dari jiwa-jiwa perantauan krama Desa Adat Sebunibus. Generasi kelahiran (mulai) tahun 70-an ke atas dari krama Desa Adat Sebunibus tergolong generasi perantauan. Jiwa rantauan ini setidaknya memengaruhi fleksibilitas mereka dalam berpikir, merespon dan mengambil keputusan.
Jika dilihat dari aspek historisnya, fleksibilitas itu mungkin sudah dilatih sejak Nusa Penida dipolitisasi menjadi pulau pembuangan zaman dulu (kerajaan). Efek samping misi pembuangan ini ialah menjadikan masyarakat Nusa Penida membangun standar diri ala Bali seberang. Artinya, fleksibilitas berpikir itu sudah ada sejak lama pada masyarakat Nusa Penida, termasuk dari krama Desa Adat Sebunibus.
Krama adat mengantar mayat ke setra juga dengan menggunakan sepeda motor | Foto: Serawan
Jadi, tidak mengherankan jika krama Desa Adat Sebunibus begitu cepat dalam merespon dinamika zaman. Apalagi (sekarang), dikuatkan lagi dengan dominasi pejabat strategis Desa Adat Sebunibus dari kalangan milenial. Rata-rata pejabat Desa Adat Sebunibus berumur kisaran 30 hingga 40-an tahun. Bendesanya saja masih berumur 40-an. Bisa jadi, pola pikir pejabat muda ini setidaknya memengaruhi kecepatan adaptasi adat dalam merespon modernisasi.
Selain penurunan ego adat dan sikap responsif krama, kita juga menjumpai sikap “toleransi adat” dalam kasus ini. Membawa mayat dengan mobil terbuka adalah sikap betapa krama Desa Adat Sebunibus mengedepankan toleransi kolektif. Sikap yang penting untuk menjaga adat dapat hidup berdampingan dengan modernisasi.
Selama pariwisata bertahta di Nusa Penida, toleransi adat krama Desa Adat Sebunibus akan terus mengalami ujian. Artinya, ada peluang munculnya fenomena-fenomena baru ke depan entah seperti apa wujudnya. Hal ini wajar-wajar saja sepanjang tidak menggerus dan mengeksploitasi substansi nilai-nilai adat krama Desa Adat Sebunibus. [T]
- BACAartikel-artikel menarik tentangNusa Penidadari penulisKETUT SERAWAN