Mengarak bade-petulangan merupakan atraksi budaya yang paling menarik dalam prosesi ngaben di Bali. Momen atraksi ini tidak hanya mengundang kerumunan, tetapi seringkali berujung pada penutupan akses jalan umum. Pihak penyelenggara menutup jalan tertentu untuk memberikan keleluasaan beratraksi—dan mungkin sudah dianggap lumrah di Bali. Namun, kondisi ini tidak berlaku di wilayah pesisir Nusa Penida (NP). Masyarakat pesisir NP justru memanfaatkan laut sebagai ruang “ngigelang” bade-petulangan.
Sebut saja wilayah adat Batumulapan, Kutapang dan Suana. Wilayah pesisir ini mengarak bade dan petulangan dengan cara basahan-basahan di tengah laut. Mengapa harus memilih ruang laut? Bukankah wilayah pesisir NP ini memiliki akses jalan utama atau jalan raya? Warga bisa saja menutup jalan sewaktu-waktu untuk melakukan atraksi bade-petulangan ketika ngaben.
Namun, nyatanya beberapa masyarakat pesisir NP lebih memilih laut sebagai ruang atraksi dibandingkan dengan jalan raya. Pilihan laut bukan opsi dadakan apalagi sekadar mencari sensasional. Pilihan laut merupakan pilihan purba. Pilihan leluhur yang diwariskan secara turun-temurun hingga sekarang.
Saking purbanya, kebanyakan masyarakat tidak mau ambil pusing untuk mencari alasan (pembenaran) atas pilihan leluhurnya itu. Mereka hanya bertanggung jawab menjadi pelaku estafet adat untuk menjaga kelangsungan tradisi tersebut. Lalu, apa sebenarnya motif leluhur mereka dulu memilih laut sebagai ruang atraksi ngaben?
Pertanyaan itu pantas dilontarkan. Ya, karena setiap pilihan rasanya tidak pernah absen dari fondasi alasan. Pasti ada sejumlah pertimbangan mendasar dari masyarakat pesisir NP memilih laut sebagai ruang atraksi.
Bagi masyarakat pesisir NP, laut adalah lingkungan alam yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari. Laut tidak hanya memberikan penghidupan, sumber ekonomi, tetapi juga ikut mewarnai peradaban pesisir yang khas. Fenomena ini dapat kita jumpai pada sektor kehidupan beberapa warga pesisir NP.
Misalnya, pada sektor budaya. Kekhasan budaya ini terlihat ketika laut dijadikan latar ekspresi. Ekspresi untuk menumpahkan hasrat berbudaya (berkesenian). Momen ini dapat kita saksikan ketika warga menggelar upacara pitra yadnya (ngaben). Tepatnya, ketika mengarak bade dan petulangan.
Para warga mengarak bade dan petulangan di laut. Para tukang tegen (grup yang menggotong) mengarak bade bolak-balik sesuai rute, diringi gamelan penyemangat dari sekaa gong. Sesekali, mereka juga melakukan atraksi memutar bade —layaknya atraksi bade di darat. Rangkaian peristiwa ini disebut dengan istilah niwakang.
Foto: Tradisi Niwakang di Batumulapan. | Foto diambil dari akun facebook Wayan Sukrame
Atraksi bade di laut memiliki beberapa keunikan. Pertama, nihil dari kepulan debu. Ya, namanya saja di air laut. Yang ada hanya kepulan riak-riak air laut. Hasil dari gerakan kaki atau tubuh tukang tegen. Secara fisik, tampaknya lebih sehat mungkin dari atraksi di daratan, yang identik dengan kubangan debu.
Kedua, mengurangi arogansi tukang tegen. Bagi kalangan tukang tegen, kadang-kadang menggarak bade dijadikan arena memperoleh pengakuan/kesaksian. Kesaksian betapa mereka memiliki tenaga dan stamina yang kuat. Karena itu, seringkali tukang tegen di darat menggarak bade dengan langkah cepat (setengah berlari), “sangar” dan sulit untuk dihentikan. Apalagi ada lebih dari satu bade.
Tukang tegen satu dengan yang lainnya seolah-olah berkompetisi untuk memperoleh kesaksian menjadi yang terkuat. Karena itu, mereka enggan untuk menghentikan bade yang digotongnya, bahkan ketika suara gong pengiring sudah berhenti. Beberapa tukang tegen tetap aus untuk menggerakkan bade. Teriakan dan jeritan emak-emak yang khawatir sering tak dihiraukan oleh tukang tegen.
Para tukang tegen berdalih belum puas menggotong bade. Rupanya, kalangan (internal) tukang tegen memiliki standar kepuasan mengarak. Standar kepuasan inilah yang sering luput dipahami oleh masyarakat umum. Karena itu, jangan heran ketika menggotong bade, para tukang tegen ini akan menyalak matanya jika hendak dihadang oleh benda apapun. Hal ini pertanda bahwa “libido” mengarak masih tinggi.
Perspektif Global Niwakang
Ketika publik mengenal orang pesisir berkarakter keras, maka tidak tampak saat mengarak bade di laut. Justru yang tampak adalah kesabaran, ketekunan dan kepatuhan mereka kepada alam. Pasalnya, waktu mengarak bade di laut tidak bisa ditetapkan sepihak oleh penyelenggara (manusia). Pihak penyelenggara harus berkompromi dengan alam (laut).
Para warga akan mempelajari “napas” pasang-surut air laut dan termasuk kedalaman. Mereka tunduk atau mengikuti waktu pasang surut air laut. Waktu yang baik ialah saat air laut sedikit surut. Entah pagi, siang, dan sore. Mereka sangat memahami denyut surut itu walaupun tak pernah mempelajari IPA atau klimatologi.
Mungkin kepatuhan atas gerak alam ini yang menyebabkan warga pesisir NP memiliki sikap toleransi dan penghargaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitar. Mereka melakukan aktivitas budaya, tetapi tidak mau melawan atau melanggar kemauan alam. Artinya, hasrat berbudaya berjalan, tetapi tidak merugikan siapapun termasuk alam.
Foto: Tradisi Niwakang di Batumulapan. | Foto diambil dari akun facebook Wayan Sukrame
Jangan-jangan sikap inilah yang ingin dicerminkan tetua warga pesisir NP ketika tidak memilih jalan utama (raya). Karena sekecil apapun, penggunaan akses jalan utama mungkin dianggap menganggu kenyamanan pengguna jalan. Apalagi dalam konteks sekarang. Akses jalan raya hanya ada satu. Seandainya ditutup, maka antrian kendaraan pasti tidak dapat dibendung. Ini jelas merugikan banyak orang.
Bisa jadi persoalan ini sudah menjadi pertimbangan tetua warga pesisir NP zaman dulu. Jika benar, berarti tetua mereka sudah memiliki sikap visioner. Mereka sudah memprediksi hal ini jauh sebelum eksistensi kendaraan menjamur di NP. Para tetua dulu hendak mengekspresikan hasrat berbudaya tetapi tidak menganggu kepentingan warga lain.
Kemungkinan lainnya ialah terkait etika dan keyakinan niskala. Mengarak bade di jalan utama bisa jadi dianggap kurang etis. Terlebih lagi, sudah berisi sawa (tulang manusia). Jika sawa-sawa ini diarak bersama bade di jalan raya, maka akan melintasi sanggah-sanggah warga dan atau pura-pura di sekitarnya. Tentu dirasakan kurang etis. Apalagi, bade di NP umumnya tinggi-tinggi. Rata-rata sampai bertumpang 7. Bisa dibayangkan, bukan?
Secara niskala, mungkin sawa-sawa ini dianggap belum “bersih” (dianggap masih cemer, kotor). Walaupun tidak sampai masuk ke pekarangan, energi sawa-sawa dengan sanggah warga dan pura di sekitar—tetap dianggap kontradiktif. Mungkin menimbulkan perasaan kurang nyaman. Posisi sawa yang tinggi dianggap sebagai representasi “cemer”, yang bertolak belakang dengan energi suci dari sanggah atau pura.
Karena itu, laut menjadi pilihan merdeka, lepas dari senggolan internal dan eksternal. Warga pesisir dapat berekspresi sangat leluasa dengan latar laut, tanpa beban tekanan dari pihak manapun. Ya, karena mereka tidak menyenggol atau menganggu kenyamanan warga lokal maupun masyarakat umum baik secara skala-niskala.
Dalam konteks inilah tetua warga pesisir sangat cerdas, arif dan bijaksana. Mereka cerdas karena menyadari memiliki “bonus” lingkungan (geografi) yaitu pesisir laut. Ketika ada kepentingan massa (adat) bersinggungan dengan kepentingan lebih umum, maka para tetua pesisir ini menemukan win-win solution yakni memanfaatkan bonus lingkungan laut.
Pilihan win-win solution ini juga didukung oleh keberadaan setra (kuburan) adat. Mereka memiliki tanah (lokasi) setra di pinggir pantai. Tanah setranya berada pada garis terluar daratan. Jadi, berbatasan langsung dengan pasir pantai. Faktor ini pula yang memudahkan kegiatan ngaben terfokus di seputaran pantai dan laut.
Meskipun bade-petulangan diusung di laut, ritual ngaben tetap terpusat pada titik sentral yaitu pamuun (lokasi pembakaran)—sama seperti ngaben di tempat lain. Perbedaannya hanya terletak pada proses niwakang. Di daerah lain (NP), bade, petulangan dan sekaa gong melakukan atraksi di darat (jalan setapak/ jalan raya).
Awalnya. tradisi niwakang didukung oleh banyak warga pesisir NP. Namun, belakangan tradisi ini mulai mengalami minus pendukung. Pasalnya, bonus lingkungan alam (laut) mengalami kerusakan (misalnya, abrasi). Kerusakan ruang laut akan menganggu keleluasaan warga dalam mengekspresikan hasrat budayanya. Hal ini berarti bahwa peristiwa niwakang akan menjadi cermin lokal untuk dunia dalam melihat hubungan manusia dengan alam.
Dari lokal niwakang, kita akan melihat dan mengetahui catatan atau arsip “kesehatan” lingkungan laut secara global. Indikatornya sederhana. Jika ritual niwakang tetap berjalan, berarti lingkungan fisik laut di tempat itu masih dianggap sehat dan ramah. Sebaliknya, jika sampai tradisi niwakang lenyap, maka dunia boleh bersedih. Karena besar kemungkinan, lingkungan laut di area itu sudah tak sehat, tak nyaman dan tak ramah.
Jadi, ada banyak pesan filosofis yang hendak disampaikan dari tradisi niwakang. Mulai dari cermin sikap massa yang rendah hati (tidak arogan), toleransi, sikap mengalah, hingga keleluasaan berekspresi yang tak merampas kebebasan orang lain. Lebih besar itu, tradisi niwakang juga mengandung perspektif global tentang isu lingkungan.
Jangan-jangan tradisi niwakang merupakan tumpukan catatan harian, mingguan, bulanan, tahunan dan abad-antentang kondisi laut. Niwakang mungkin sebagai radar dan corong zaman untuk memantau dinamika “kesehatan” lingkungan laut. [T]
_____
Baca artikel lain tentang Nusa Penida dari penulis Ketut Serawan