“Di dunia di mana warna menentukan nilai, dibutuhkan keberanian untuk melukis identitasmu sendiri – Geofakta Razali”
DI sebuah dunia yang penuh sihir dan misteri, di mana norma-norma sosial bertabrakan dengan hasrat untuk menjadi diri sendiri, Wicked 2024 menyajikan kisah dua jiwa yang berbeda namun saling terhubung, Elphaba dan Glinda. Dalam balutan fantasi yang memukau, film ini menggambarkan kompleksitas identitas manusia, bagaimana ia terbentuk, dirusak, dan akhirnya diredefinisi melalui interaksi antarbudaya.
Dua Dunia, Dua Realitas
Kisah Elphaba dimulai dengan kehadirannya yang berbeda secara fisik—kulit hijaunya menjadi simbol stigma yang melekat sejak lahir. Ia tidak hanya menjadi sasaran tatapan curiga, tetapi juga narasi kolektif yang menempatkannya sebagai “yang lain.” Sebaliknya, Glinda hadir sebagai personifikasi ideal budaya dominan: cantik, populer, dan selalu menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial.
Sejak awal, hubungan mereka mencerminkan komunikasi antarbudaya yang dijelaskan Gudykunst (2005). Glinda memandang dunia dari kacamata etnosentrisme, di mana ia menganggap nilai dan norma budayanya sebagai yang paling benar. Sebaliknya, Elphaba, dengan latar belakang marginalnya, hidup dalam pemahaman yang kaya akan pluralitas, meskipun sering diabaikan.
Ketika Glinda dan Elphaba dipaksa untuk bekerja sama, gesekan terjadi. Glinda, yang telah terbiasa menggunakan daya tarik sosialnya untuk mendapatkan pengakuan, merasa terancam oleh keberanian Elphaba yang mendobrak batasan. Di sinilah komunikasi mereka menjadi arena konflik identitas. Elphaba adalah cerminan dari self-concept clarity, sebuah konsep dalam psikologi yang merujuk pada kemampuan untuk memahami siapa diri kita di tengah tekanan eksternal. Sebaliknya, Glinda menunjukkan gejala identity foreclosure, di mana ia menerima peran yang ditentukan oleh masyarakat tanpa mempertanyakan validitasnya.
Pertemuan mereka menggambarkan betapa sulitnya membangun jembatan pemahaman ketika dua individu datang dari “dunia” yang begitu berbeda. Namun, di tengah konflik, muncul momen-momen kecil yang mengubah segalanya. Glinda, yang semula meremehkan Elphaba, mulai menyadari keberanian dan ketulusan di balik sikapnya. Sebaliknya, Elphaba menyadari bahwa di balik topeng glamor Glinda, ada jiwa yang juga mencari makna dan penerimaan. Dalam komunikasi mereka, muncul elemen penting yang disebut oleh teoritisi komunikasi sebagai empathy bridging proses menjembatani kesenjangan budaya melalui empati.
Di sini, Wicked 2024 menyentuh inti dari apa yang membuat komunikasi antarbudaya begitu kompleks namun indah: dialog yang jujur, rasa ingin tahu, dan keberanian untuk melampaui prasangka. Dalam babak klimaks, Elphaba dan Glinda berdiri di dua sisi cerita, satu melawan stigma dan yang lain mempertanyakan posisinya dalam sistem sosial yang tidak adil. Film ini mengajarkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang statis atau tunggal; ia adalah hasil negosiasi terus-menerus antara diri kita dan dunia di sekitar kita.
Seperti yang dikemukakan oleh Stuart Hall dalam teori representasinya, Wicked 2024 menunjukkan bagaimana narasi budaya mendefinisikan siapa yang dianggap “pahlawan” dan siapa yang dianggap “penjahat.” Elphaba, yang awalnya dianggap sebagai musuh, akhirnya muncul sebagai simbol resistensi terhadap narasi dominan. Glinda, di sisi lain, menjadi saksi transformasi dirinya—dari seorang pengikut budaya menjadi individu yang mulai mempertanyakan apa arti “baik” dan “jahat.”
Wicked 2024 bukan hanya sebuah film; ia adalah refleksi tentang bagaimana kita semua terjebak dalam konflik identitas dan budaya. Elphaba dan Glinda mengingatkan kita bahwa di balik perbedaan, ada potensi untuk menemukan makna yang lebih besar. Dengan narasi yang kaya dan visual yang memukau, film ini tidak hanya menghibur tetapi juga memberikan ruang untuk refleksi mendalam tentang komunikasi dan identitas di dunia yang terus berubah.
Dengan begitu, kita semua diundang untuk bertanya: siapa Elphaba dalam hidup kita, dan bagaimana kita dapat menjadi Glinda yang lebih baik? [T]