SHOLEH Hidayat, saya masih ingat namanya. Dia teman saya semasa sekolah dasar. Sepulang sekolah, dia berjualan koran di seputaran kota kecil kami di Bali bagian barat. Saat hari Minggu tiba, dia sejak pagi mengantar koran kepada para pelanggan, menaiki sepeda dayung. Sholeh sering mampir ke rumah kami seusai ‘bekerja’. Ayah angkat saya suka membaca, beliau rutin membeli koran Minggu yang dibawa Sholeh. Kami lalu biasanya menonton televisi bersama.
Suatu waktu, Sholeh mengutarakan niatnya mengajak saya berjualan koran. “Wah, menarik ini,” jawab saya. Tanpa banyak berkata-kata saya mengiyakan ajakan Sholeh. Siang hari di Pasar Inpres, kami menjajakan koran. Di tangan saya, terdapat sepuluh eksemplar koran berbagai ‘merk’. Saya mulai berjalan menyusuri pasar, sambil berucap “Koran…koran…koran, Pak, koran Bu…”. Suara saya tidak terlalu keras terdengar. Rasa gugup menyergap saya: takut jikalau ada kerabat atau keluarga mengenali saya. Kami saat itu bisa dibilang keluarga terpandang. Ayah akan merasa malu kalau keluarga lain tahu anaknya berjualan koran. Gengsi ayah amat tinggi.
Padahal, pengalaman pertama ‘bekerja’ sungguh mengasyikkan. Uang hasil berjualan koran menjadi sesuatu yang sangat berkesan bagi saya. Sayang sekali, saya tidak bisa lagi ikut ‘bekerja’ dengan teman saya itu. Penolakan tersebut, baru kini saya rasakan, membuat saya sedikit ‘membenci’ aktivitas mencari uang. Trauma, niat untuk mendapat pengalaman baru tiba-tiba terhenti. Di sisi lain, mungkin itu pula yang membuat saya begitu terobsesi menjalankan usaha buku; berjualan buku secara online atau daring sejak tahun 2015. Meskipun, pada kenyataannya kini tidak banyak orang suka membaca buku, saya tetap bersemangat berjualan buku.
Pengalaman ‘bekerja’ pada diri anak, semestinya tidak dilarang oleh orang tua. Walau sekarang terdapat undang-undang perlindungan anak yang melahirkan istilah ‘pekerja anak’. Pada banyak budaya dan komunitas adat di Nusantara, melatih anak untuk bekerja membantu orang tua merupakan hal yang biasa dan wajar. Dengan mengajak anak ikut serta mengerjakan tugas-tugas rumah seperti menyapu, mengepel, memasak, mencuci pakaian, berkebun, berladang atau membantu ayah yang petani di sawah, itu akan menumbuhkan nilai-nilai kedisiplinan, kebersamaan, rasa tanggung jawab dan rasa memiliki pada diri dan jiwa anak.
Jika semua diukur dengan budaya negara-negara maju, tentu akan menjadi kurang baik, karena “cara hidup” berbagai bangsa di dunia sangatlah berlainan. Keterampilan yang diajarkan anak ketika membantu pekerjaan orang tua akan menjadi bekal saat mereka terjun dalam dunia kerja sesungguhnya, saat mereka dewasa kelak. Bagi pemilik perusahaan atau usaha mandiri, kualitas dan kompetensi para pekerja bisa dilihat dari pola asuh saat mereka kecil. Anak yang biasa dididik dengan manja oleh orang tuanya akan berbeda dengana anak yang dilatih hidup disiplin sejak dini. Termasuk juga dari sisi kecerdasan emosial mereka. Perbedaannya bisa dilihat betul.
Selain Sholeh, saat saya kecil rata-rata teman-teman sebaya saya terutama yang sukunya berbeda dengan masyarakat mayoritas adalah juga ‘bekerja’ sembari bersekolah. Edi dan Ratna misalnya. Mereka ‘bekerja’ di sebuah pabrik tahu selepas waktu sekolah. Perasaan bangga dan salut telah mampu saya rasakan kala melihat kegigihan mereka. Mencari uang tambahan untuk biaya sekolah dan biaya hidup sehari-hari, membantu perekonomian keluarga. Pemandangan seperti itu tentu saat ini sudah tidak atau jarang kita temui.
Anak generasi sekarang semenjak kecil telah merasakan kehidupan yang serba gampang. Dengan alasan agar tidak rewel, oleh orang tua mereka dipinjami atau bahkan dibelikan ponsel pintar; yang membuat mereka ‘tenang’ seharian: menjadi pribadi yang soliter, akrab dengan internet dan media sosial. Di negara-negara maju, anak-anak dengan rentang usia tertentu mulai dilarang mengakses media sosial, mengingat dampak buruk terutama bagi kesehatan mental mereka.
Kebiasaan orang tua mewajibkan anak misalnya merapikan tempat tidur setelah bangun pagi, menyapu lantai rumah atau halaman, bisa jadi sekarang telah jarang dilakukan terutama di kota-kota besar, dimana rata-rata keluarga mempunyai asisten rumah tangga, Anak hanya ‘terima beres’: tidak perlu ikut membantu orang tua mengerjakan pekerjaan rumah. Ini berbeda dengan di kampung atau kota-kota kecil dengan pola hidup yang masih sederhana dan tradisional.
Seringkali saya merindukan teman-teman saya semasa sekolah dasar. Beberapa teman tersebut berteman dengan saya di media sosial. Sementara yang lainnya putus kontak. Mungkin mereka juga menggunakan media sosial, hanya saja dengan nama akun berbeda dengan nama asli. Rasa rindu muncul terutama pada mereka yang telah memberi saya pengalaman ‘kerja’ dan ‘bekerja’.
Teman-teman saya kala itu anak-anak yang tangguh. Saya percaya, pengalaman mereka sebagai pekerja anak memberikan daya juang, keterampilan dan tekad bagi mereka untuk maju dan berhasil. Sama halnya dengan saya yang dididik untuk hidup disiplin oleh keluarga angkat saya. “Bekal hidup” itu kini saya rasakan manfaatnya, termasuk pada karir sebagai penulis dan wartawan. Semua jenis profesi memerlukan kedisiplinan. Pola asuh dan pendidikan dari keluarga punya andil besar membentuk pola dan karater tersebut. Salam. [T]
BACA artikel lain dari penulis ANGGA WIJAYA