AKU tidak pernah membayangkan sebelumnya, aku akan menanam pohon di atas bukit berbatu—di atas tanah kering dengan batu-batu yang tajam. Pada beberapa kesempatan, aku sempat mengikuti kegiatan penanaman pohon di sejumlah tempat, dari lereng gunung sampai tepian pantai, tapi belum pernah kutemukan tempat se-“istimewa” ini.
Lokasi itu berada di kawasan Dusun Yeh Mampeh, Desa Batur Selatan, Kintamani, Bangli. Di tempat ini, sejauh mata memandang yang terlihat hanya bebatuan tajam. Itu batuan vulkanik hitam berpori, jika terinjak dengan kaki telanjang, kaki akan terasa ditusuk. Tentu sakit.
Awalnya aku mengira akan menanam di dataran miring yang rawan longsor. Ternyata tidak. Tapi aku menikmatinya. Ini adalah pengalaman yang luar biasa untukku.
Sudah hampir 10 tahun, aku meninggalkan kegiatan di alam, seperti mendaki atau menanam pohon pada rentang alam yang rawan. Dulu waktu SMA, hampir setiap minggu, ada saja teman yang mengajak mendaki ke Gunung Batur.
Waktu itu, mendaki gunung masih dipandang kegiatan ekstrem dan mahal. Teman-temanku mengira, mendaki Gunung Batur itu harus menyewa guide setempat. Memang, saat itu akses informasi masih terbatas. Seperti halnya lingkungan pertemananku yang menginstall sosial media masih terbatas.
Konten TV “My Trip My Adventure”, cerita dari mulut ke mulut, tautan profil pada postingan facebook setiap perjalanan menambah rasa penasaran mereka. Permintaan teman-teman sekolahku sampai membuatku terasa seperti guide asli hanya saja ini palayanan gratis.
Kintamani saat itu masih asri dan belum seramai saat ini. Atraksi wisata yang ditawarkan itu masih terbatas. Kini, wajah pariwisata Kintamani telah bertransformasi. Kini ada atraksi Jeep seperti yang biasa kita lihat di Wisata Bromo. Ada barisan kedai kopi di sepadan jurang Kaldera Batur Kintamani seperti yang biasa kita saksikan di Ubud. Dari semua usaha wisata itu, hampir semunya “menjual” view dari gunung, danau, dan tentu hutan di wilaah Batur.
Tini, kordinator kelompok membagikan pohon untuk ditanam di titik yang telah ditentukan | Foto: Dok. Diyana
Dan kali ini, tepatnya 8 Desember 2024, aku kembali ke alam Batur. Sembari melihat segala perubahan yang terjadi, aku punya kegiatan lain: menanam pohon. Kegiatan ini adalah bagian dari Bali Reforestation Festival yang diselenggarakan oleh Yayasan Bali Hijau Lestari. Yayasan ini memang sudah aktif melakukan reboisasi sejak 2006.
Aku tinggal di Singaraja, Buleleng, dan tentu membutuhkan perjalanan yang cukup lama untuk bisa tiba di lokasi penanaman. Pagi, sebelum menuju lokasi aku menyempatkan untuk sarapan. Taluh mice dan kopi susu di Kopi Tiam Kampung Tinggi menjadi piliha.
Bersama Dewa Janu, Pukul 07.30 kami berangkat. Kami hanya memiliki waktu 1,5 jam untuk tiba sesuai dengan agenda yang dijadwalkan di Dusun Yeh Mampeh, Desa Batur Selatan.. Maka, laju motor matic-ku harus lebih kencang.
Ada hal yang tidak biasa kutemui di jalur Desa Bengkala. Sebelah kanan jalan di 20 meter setelah bengkel Edie Arta, ada beberapa guci besar berjejer di depan bangunan bertembok anyaman bambu. Puluhan motor serta beberapa mobil parkir di sana dan perhatianku tertuju pada plang tempat tersebut, “Pasar Intaran”.
Pasar Intaran, yang dibuka setiap Minggu itu, adalah salah satu ruang berkumpul bagi orang-orang yang ingin belajar banyak hal, seperti belajar berusaha di bidang ekonomis kreatif, belajar menciptakan gagasan, dan sejenisnya. Aku hampir setiap hari Minggu berada di situ, tapi kali itu aku harus lewati tempat itu karena harus secepatnya tiba di lokasi penanaman.
Para volunteer dari Mapala Cakra Buana Politeknik Negeri Bali| Foto: Dok. Diyana
Kami menggunakan beberapa jalur alternatif untuk bisa memangkas waktu perjalanan, misalnya aku belok kanan di Puskesmas Tamblang (wilayah Tangkid), kemudian aku melewati Desa Mengening untuk memotong jarak tempuh. Barisan pohon cengkeh dan sejuk udara pagi begitu nikmat. “Tin”, jangan lupa untuk membunyikan klaksonmu di setiap tikungan ketika ngebut. Ini jalan umum, bukan sirkuit.
Semburat cahaya dan senyum gadis yang pipinya merah kutemui ketika melewati Desa Dausa, Desa itu sudah masuk wilayah Kecamatan Kintamani, Bangli. Dingin mulai menembus jaket ketika memasuki hutan pinus menuju puncak Penulisan.
Sepanjang perjalanan dari Dausa menuju Sukawana, kulihat suasana agak ramai. Rupanya ada sejumlah pelari dan rombongan pick-up memuat motor trail di atasnya. Nampaknya, di daerah itu, pada hari itu, ada dua event yang barangkali biasa mereka lakukan. Lari dan naik trail.
Pikirku, Bali sudah pantas untuk dieksplorasi dengan menyelenggarakan event olahraga alam, tentu juga untuk menggeser sedikit keramaian dari diskotik dan event-event massal di Kuta dan Canggu.
Seperti biasa, di kiri jalan sebelum SMPN 1 Kintamani, aku akan menengok rumah dinas pegawai kehutanan yang kini telah menjadi toko retail modern. Sial, aku belum memiliki foto rumah tersebut hingga saat ini.
Setelah melalui deretan warung kopi modern, di perempatan jalan belok kiri aku menemui turunan curam dan belokan tajam. Jalan yang sangat tidak direkomendasikan bagi pemula. Ada diskon senderan jalan jebol di sisi kiri atau kanannya. Tapi, semua itu menandakan bahwa tujuanku sudah dekat.
Kelompok ungu titik 5. Dari kiri ke kanan. saya, Ibu Ria, Tini dan Dewa Janu | Foto: Dok. Diyana
Ini merupakan kali keduaku mengaspal di jalur ini. Teringat, saat itu aku tersesat dengan tujuan rutenya adalah Pura Ulun Danu Batur. Meskipun diskon senderan jalan jebolnya tidak sebanyak saat ini, jalur ini tetap saja horor. Ini merupakan jalur pengangkutan material tambang pasir.
Kalian akan banyak menjumpai tempat penyaringan pasir (pemisahan pasir halus) di pinggir jalan sepanjang Dusun Yeh Mampeh ini. Sedikit ada rumah penduduk dan yang menjual BBM. Selalu, di musim hujan jalan ini seperti jalur trail. Ada kubangan air berwarna cokelat. Jika tidak stabil, kaos kakimu bisa basah karena harus mendarat di kubangan itu. Bayangkanlah.
Pukul 09.28, aku tiba di titik berkumpul Bali Reforestation Festival. Meskipun terlambat hampir 30 menit, kami disambut ramah panitia. Kami kemudian dibagi dalam kelompok kecil dalam menanam. Saat itu ada 5 orang. Aku, Dewa Janu, Ibu Ria (Dosen Biologi Udayana), beserta sepasang muda-mudi lainnya.
Kami didampingi seorang koordinator yang merupakan relawan di kegiatan ini, namanya Tini. Ia mahasiswi semester 3 Ilmu Komputer di Politehnik Negeri Bali.
Kami mendapatkan tugas untuk menanam di titik 5 ungu. Berdasarkan info dari panitia, telah disiapkan 4000 pohon untuk 320 peserta yang hadir. Tini, membawa 5 kresek merah yang berisi pohon. Luas lahan titik 5 ungu kiranya ada 4 are. Kondisinya, itu merupakan lahan berbatuan seperti yang telah kujelaskan diawal tulisan ini.
Pohon puspa (schima wallichii) yang ditanam di tanah batuan vulkanik | Foto: Dok Diyana
Panitia telah mempersiapkan ini jauh hari, dalam setiap jarak yang telah terukur ditempatkan tanah dan pupuk kandang. Pada titik itulah pohon Jempinis, Puspa dan Ampupu ini kami tanam.
Kami serius menanam. Aku berorientasi target, seperti sales. Pantang pulang sebelum target dicapai. Melelahkan juga, beberapa momen Bu Ria sempat mengambil waktu untuk istirahat. Kami membagi tugas untuk mengefisienkan energi.
Ada yang melubangi kembali, menaruh pohonnya, dan memasang tali pengikat. Tak terasa 1,5 jam pohon yang disiapkan untuk kelompok ini habis. Artinya, target telah dicapai dan kami bisa mengambil momen untuk dokumentasi.
Kegiatan serta perjalanan ini menjadi suatu refleksi bagiku. Lebih dari sekadar nostalgia masa SMA, aku mulai menyadari beberapa hal penting. Pemandangan yang berwarna hitam dari sepadan jurang jalan Kintamani (atas) itu kukira hanya karena awan yang menutupi cahaya matahari di atasnya. Namun, pada beberapa titik itu memang merupakan lahan hutan yang kritis.
Saya (penulis) berpose sehabis menanam di sela-sela batu | Foto: Dok. Diyana
Kita melihat dari jauh hamparan batuan vulkanik, pasir atau kerikil berwarna hitam di lereng Gunung Batur itu adalah pemandangan yang begitu indah. Melihat lebih dekat hamparan batuan vulkanik tersebut, itu merupakan daerah lahan kritis. Titik tutupan hijaunya sedikit.
Setiap tahun, eksploitasi dari pemandangan lahan kritis itu kian meningkat. Peningkatan itu perlu diimbangi dengan meningkatnya agenda-agenda konservasi di daerah itu agar angka tutupan hijau juga ikut meningkat.
Bali Reforestation Festival menjadi alarm setiap tahunnya tentang keberlanjutan lingkungan, keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan generasi. Antara refleksi dan nostalgia, festival ini kembali mengingatkan bahwa melestarikan alam bukan hanya kenangan masa laluku, tetapi tentang keberlanjutan untuk masa depan. [T]
Penulis: Gede Diyana Putra
Editor: Adnyana Ole