BURUNG-burung terus hinggap di padi yang sudah menguning, tentu, bersamaan dengan belalang. Menggigit daun, mengupas padi menguning yang keemas-emasan itu; menyesap, dan para petani di Jatiluwih sudah biasa mengusir mereka (hama) dengan kepuakan.
Mengapa tidak bedil?
“Gak boleh!” kata Ketut Suke (69), petani asal Jatiluwih. Di sana, sejak pagi ia menunggu Wakil Mentri (Wamen) Kebudayaan, Giring Ganesha Djumaryo, untuk membuka Subak Spirit Festival 2024 pada Sabtu, 9 November 2024.
Waktu itu, Suke diminta panitia untuk menyambut Giring menggunakan bunyi kepuakan.
I Ketut Sumantra menggunakan baju hitam sisi paling kiri, saat memainkan kepuakan | Foto: tatkala.co/Son
Kepuakan adalah alat pengusir burung yang terbuat dari bambu setengah tua—alias muda tapi gak muda-muda amat. Pokoknya begitulah. Panjangnya sekitar 60 cm. Dan Suke sudah membuatnya dari rumah, juga dengan yang lain. Secara bersamaan, alat itu terus dibunyikkan—diperkenalkan kepada para pengunjung suaranya.
Setiap masa panen raya, para petani sudah biasa membunyikannya, tentu, di samping lelakut—orang-orangan sawah yang sudah di pasang di sekitar sawah mereka. Menakuti burung tengah malam, atau menakuti musang itu malam-malam. Horor tapi nyeni.
Sebuah manipulasi yang bagus, burung bisa tergocek dengan sendirinya, juga musang. Bahkan dengan kepuakan, belum digocek, sudah becek—begitulah kira-kira kata komedian Kiki Saputri. Hehe..
Mesti kita sadari, kepuakan menjadi alat yang teramah walaupun memiliki fungsi mengusir, dan bedil tentu tidak. Bedil memang bisa mengusir burung, bahkan juga mengusir manusia. Sebab itulah bedil dianggap tidak ramah karena dapat membantai ekosistem (mata rantai makanan) di sawah. Apalagi nuklir. Haram jaddah!
Instalasi kepuakan yang dipajang di panggung utama Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswan
“Burung itu jangan ditembak, Mas, nanti mati. Pakai alat ini aja,” ujar Ketut Suke tersenyum sambil menunjukkan alat yang ia pegang, kepuakan.
“Tuktuktuktuk..” ia membunyikkan kepuakannya kemudian.
Padi lokal Bali di Jatiluwih, itu menjadi pemandangan yang agaknya langka. Tentu, revolusi hijau—yang digenjot oleh Orde Baru (Orba)—merubah cara pandang para petani, tak hanya di Bali, tetapi juga di seluruh Indonesia. Sampai sekarang.
Padi-padi asli Bali panjangnya bisa melebihi anak SD kelas lima. Dan ketika alat kepuakan dibunyikkan saat jam makan siang si burung—oleh Pak Tani, tok..tok..tok.. Syahdan, burung-burung itu terbang tak beraturan. Sepertinya suara kepuakan adalah suara petani itu sendiri.
Simulasi Kecil Menyambut Panen Raya
Tak terbayang, menjadi pemandangan yang bagus itu jika kita melihatnya di atas ketinggian, atau setara dengan padi lokal menjulang sejajar tubuh kita. Tentu, sekarang, barangkali fenomena itu masih ada, tetapi tidak banyak—sebagaimana padi lokal kini. Cobalah datang saat panen raya tiba. Semoga ada.
Wakil Menteri Kebudayaan, Giring Ganesha, saat mencoba membunyikan kepuakan | Foto: tatkala.co/Son
Di Jatiluwih, tentang sawah—yang luasnya sekitar 636 hektar itu—-dengan petaknya yang berundak, telah menciptakan lanskap hijau yang bagus. Uh. Mata siapa yang tidak tercolok untuk menatapnya lebih lama? Bule-bule bertengger untuk itu, dan dolar dikoceknya dalam-dalam.
Dan Subak Spirit Festival 2024, barangkali merupa ruang perayaan dan sebuah simulasi kecil panen raya. Bagaimana aktivitas para petani dipertunjukkan, beserta dengan alat-alat peraga yang biasa mereka gunakan saat bertani. Lihat aktivitas membuat lelakutyang ditulis Kanda saya, Mas Jaswan di sini: Ada Lelakut di Subak Spirit Festival 2024.
Tapi saya mau cerita yang lain. Di balik gapura yang cantik, berjejer para petani memeragakan dirinya, tentu, sebagai petani. I Ketut Sumantra (63), misalnya. Ia berdiri tak memakai baju dengan waktu cukup lama. Kulitnya yang sawo matang itu, menggurat usia, menandakan begitu lamanya ia sudah menjadi petani. Tak terbayang asam–garam sebagai petani ia pernah rasakan.
I Ketut Sumantra, tengah, sedang menagen atau memonggok hasil bumi: padi, bersama petani yang lain saat menyambut Wakil Menteri Kebudayaan | Foto: tatkala.co/Son
Ia adalah seorang petani dari Desa Jatiluwih. Di sana, ia memonggok hasil panen sebagai contoh bagaimana masyarakat memiliki corak budaya demikian. Intinya, festival ini melibatkan masyarakat untuk kembali memainkan ornamental pertanian subak di Jatiluwih.
Berderet dengan yang lain, yang membawa bakul, oleh ibu-ibu, menjadi tukang sabit rumput kemudian bapak-bapak itu. Membawa dedaunan, membawa sayu-sayuran—atau hasil panen, masyarakat benar-benar tampak terlihat tradisional.
Kemudian, tak hanya tentang lanskap yang indah secara sekala atau nyata itu, tetapi juga bagaimana masyarakat Bali begitu mengagungkan alam—menghubungkannya dengan rasa spiritual. Melalui subak, yaitu sistem pengairan itu, masyarakat di Jatiluwih secara niskala pun memiliki pura subak yang agung.
Ibu-ibu petani saat menyambut Wakil Menteri Kebudayaan di Subak Spirit Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Son
Tapi bagaimana dengan Revolusi Hijau yang memiliki efek samping sangat panjang sekarang? Sawah tak lagi agung?! Atau memang tak dipikirkan sedetail petani memikirkan alat pengusir burung? Hehe..dorrrr..! Tiaraaaaaap….[T]
Reporter/Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto