DI Vietnam, di Kawasan Songhong—sekitar abad 500 SM, terdetek sebuah peradaban Dong Son, yang sudah lebih dulu menggunakan logam sebagai kebudayaan fisik mereka. Berupa artefak alat musik seperti Nekara, Moko, dan alat-alat sehari-hari (dapur) telah ditemukan di sana, dan tercatat sebagai budaya logam pertama.
Kadek Anggara Rismandika, salah satu dosen di STAHN Mpu Kuturan Singaraja, bercerita soal peradaban Dong Son itu melalui Seminar Alat Musik Tradisioal Bali di Museum Sunda Ketjil, Rabu, 23 September 2024. Kata dia, peradaban Dong Son dari Vietnam itu telah memengaruhi juga kebudayaan logam di Nusantara, khususnya di Bali.
“Jadi jauh sebelum Majapahit. Kebudayaan itu (Dong Son) sudah masuk ke wilayah-wilayah Nuasantara, termasuk di Bali itu sendiri. Kita bisa mengenal uang kepeng, dan sebagainya..” Kata Kadek Anggara saat mengisi seminar.
Selain itu, di Bali, daerah Pejeng—Gianyar, di sebuah Pura, lanjut Kadek Anggara, terdapat peninggalan sejarah Dong Son, yaitu Nekara, Moko—gendang yang berbahan logam, tapi bentuknya lebih kecil dari pada bentuk khas daerah Dong Son.
“Nah ini diperkirakan, itu, pada masa-masa itu, dibawa, ke wilayah kita. Di sanalah masyarakat Nusantara mulai mengenal logam,” lanjut Kadek Anggara.
Pula tak hanya itu, lanjutnya, pengaruh musik tradisional Bali juga dapat dilihat pada relief Candi Borobudur. Yang menunjukkan bahwa budaya musik kuno Nusantara telah berkembang dan membentuk tradisi musik Bali—bahkan sampai sekarang.
Kemudian, instrumen-instrumen—yang asalnya dari mana saja memberikan warna dan ciri khas tersendiri pada musik Bali, yang sering kali terdengar dalam berbagai upacara adat maupun pertunjukan seni.
“Instrumen pertama yakni, jenis instrumen Membranophone. Instrumen ini biasanya terbuat dari kulit. Salah satu contohnya adalah kendang atau gendang. Gendang menjadi salah satu instrumen dalam musik tradisional Bali. Alat musik ini sering digunakan untuk memberikan ritme yang dinamis pada gamelan Bali, serta mengiringi tarian dan ritual adat. Relief gendang yang ditemukan di Candi Borobudur menunjukkan bahwa alat musik ini telah lama digunakan dalam budaya kuno di Indonesia,” kata Kadek Anggara.
Kedua adalah jenis instrumen Chordophone yang biasanya alat musik tersebut dimainkan dengan cara dipetik. Di Bali alat musik yang menggunakan senar atau dawai pada rebab dan alat musik Penting. Rebab dimainkan dengan cara digesek sedangkan Penting dimainkan dengan cara dipetik.
Prof Bandem (tengah) dan Anggara (kanan) dalam seminar gamelan di Pelabuhan Buleleng | Foto: Disbud Buleleng
Di Bali, instrumen petik tradisional jenis ini dikenal memberikan sentuhan melodi yang halus dan khas. Alat musik petik yang digambarkan pada relief Candi Borobudur membuktikan adanya alat musik petik di masa lalu yang turut mempengaruhi musik tradisional Bali, terutama dalam alunan lagu-lagu ritual dan pertunjukan tari.
Selanjutnya adalah jenis instrumen Aerophone. Instrumen ini akan menghasilkan bunyi yang bersumber dari udara atau napas. Contohnya seperti suling atau seruling. Suling atau seruling bambu adalah alat musik tiup yang menghasilkan nada lembut dan menenangkan.
Dalam musik Bali, suling digunakan untuk menambah suasana magis, terutama pada upacara keagamaan. Keberadaannya pada relief Borobudur menunjukkan bahwa instrumen ini sudah menjadi bagian penting dari tradisi musik masyarakat sejak masa lampau.
Yang terakhir yakni jenis instrumen Idiophone. Instrumen ini dimainkan dengan cara dipukul. Seperti halnya gong. Dalam gamelan Bali, gong memainkan peran dalam menciptakan dinamika dan ketegangan dalam komposisi musik.
“Jejak keempat instrumen ini di Candi Borobudur mengisyaratkan betapa kayanya tradisi musik Nusantara yang telah ada sejak zaman kerajaan kuno. Musik tradisional Bali, dengan pengaruh dari alat-alat musik ini, tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga sarana untuk menyampaikan nilai-nilai budaya dan spiritual masyarakatnya,” jelas Anggara.
Pernyataan itu pun dikuatkan oleh budayawan Bali, Prof. I Made Bandem. Dikatakan, perjalanan alat musik tradisional Bali, selain mengandung unsur instrumen tersebut, juga tercatat dalam catatan kuno. Dua manuskrip Bali yang menjadi acuan musik tradisional adalah Lontar Aji Gurnita dan Lontar Prakempa. Kedua lontar ini dikatakan sangat lengkap dalam menjabarkan khasanah musik tradisional Bali.
“Lontar Aji Gurnita yang merupakan koleksi satu-satunya di Gedong Kirtya isinya sangat lengkap. Tetapi tidak mengatur tentang teknik gamelan. Dan Lontar Prakempa itu tidak hanya bicara tentang keindahan musik. Tapi juga membahas gebugnya,” ujarnya.
Lontar Aji Gurnita sendiri lebih spesifik mengandung unsur filosofis dari asal suara yang berposisi pada Sembilan arah mata angin. Dalam hindu disebut Dewata Nawa Sanga.
“Dan dalam Lontar Prakempa yang saling berkaitan dengan Lontar Aji Gurnita itu, dikatakan setiap instrumen memiliki teknik tersendiri dalam menyuarakannya,” kata Prof. Bandem. [T]