SEBELUM meninggalkan Yogyakarta pada Kamis, 3 Oktober 2024, setelah menginap semalam di Embe 6 Kelurahan Condong Catur kami mengunjungi Candi Borobudur. Kawasan luar candi sampai area parkir sedang bersolek. Penataan sudah berlangsung sejak Mei 2024. Sekarang stand kuliner dan art shop sudah terpusat bersebelahan dengan area parkir sehingga tidak semrawut lagi.
Sebagai kawasan wisata kelas dunia dan salah satu dari tujuh keajaiban dunia berstatus cagar budaya sejak 1991, Candi Borobudur tampak makin elegan menyambut kedatangan wisatawan dengan sejuta kenangan sesuai dengan nilai-nilai Sapta Pesona (aman, tertib,bersih,sejuk, indah, ramah, dan kenangan).
Setelah berfoto-foto dari berbagai sisi candi, kami berkeliling berjalan kaki sambil menyaksikan bunga terompet (tabebuya) dari Brasilia berwarna merah kuning yang bermekaran sangat menarik menyambut Purnama Kartika. Tiba-tiba saja saya teringat kidung Warga Sari menyambut Purnama Sasih Kapat, saat desa-desa adat di Bali melaksanakan karya Ngusaba Desa. “Kartika panedenging sari…”. Purnama Sasih Kapat (Kartika) diyakini sebagaiPurnama terindah oleh para Kawi Wiku Bali selain Purnama Sasih Kedasa.
Seusai berziarah, kami meninggalkan Candi Borobudur menuju Rumah Makan Geblek Pari sebelum ke Bandara Yogyakarta Internasional Airport (YIA) di Kapenewon Temon Kulon Progo. Kami diantar Mas Mamad sebagai sopir sekaligus pemandu.
Menurutnya, Rumah Makan Geblek Pari terletak di Kampung Pronosutan Kelurahan Kembang Kecamatan Nanggulan Kabupaten Kulon Progo. Jarak dari Borobudur ke rumah makan ini sekitar 24,5 km dengan waktu tempuh sekitar 35 menit melewati suasana alam pedesaan dengan udara segar. Kanan kiri terlihat persawahan hijau memukau dengan pepohonan besar dan kecil. Namun, jarang tampak petani.
Di rumah makan Geblek Pari | Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Sampai di Rumah Makan Geblek Pari yang mulai buka. kami disambut pemandangan alam pedesaan dengan Bukit Manoreh yang membentang bikin hati senang. Rumah Makan Geblek Pari ini dibuka pukul 08.00 – 20.00 WIB pada Senin-Jumat, sedangkan Sabtu – Minggu, buka mulai pk.07.00 – 20.00 WIB. Dibuka sejak 2017 oleh pasangan Popo Yuda dan Mericia Putri dari Sleman. Sejak itu, Geblek Pari langsung booming sebagai tujuan wisata kuliner yang terkenal.
Sesuai dengan namanya, Geblek Pari, menawarkan kuliner utama geblek makanan khas Kulon Progo yang terbuat dari singkong dengan bumbu bawang rasanya gurih dan kenyal. Langsung nendang di lidah, membuat ketagihan. Inilah kekayaan gastronomi Indonesia yang hanya ada di Kulon Progo Yogyakarta. Rugi rasanya ke Yogyakarta tanpa merasakan gurihnya geblek.
Rumah Makan Geblek Pari sebagai bagian dari wisata kuliner memiliki keistimewaan dan keunikan tersendiri. Pertama, makanan yang disajikan masih fresh dari bahan segar yang dipetik dari alam sekitar.
Menu makanan terdiri atas sayur labu, brongkos tahu, oseng-oseng labu, ikan nila, lele, tahu goreng, tempe, dan ayam. Menu itu dapat diambil sendiri sesuai dengan keinginan masing-masing pembeli. Harga perporsi mulai dari Rp 12.000,00. Harga bergerak sesuai dengan pilihan lauk yang diambil menyesuaikan dengan isi dompet.
Kedua, semua bahan makanan dimasak secara tradisional dengan kayu bakar di atas tungku api oleh juru masak dari kampung setempat. Jumlah karyawan memasak di sini ada 5 orang dengan Mbah Katinah sebagai juru masak senior. Pengunjung dapat ikut merasakan sensasi memasak secara tradisional ala Geblek Pari. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan, Geblek Pari dapat dikembangkan menjadi kelas kuliner. Pengunjung dapat merasakan sensasi memasak sendiri di sini.
Ketiga, tempat makannya terbuka di Balai-balai klasik berbentuk joglo khas Yogyakarta dengan pemandangan alam persawahan di Kawasan Bukit Manoreh. Terlihat petani sedang bekerja di sawah sangat alami memenuhi citra alam pedesaan. Sangat cocok untuk tempat makan dengan kopi penutup bertimpal pisang goreng hangat. Duh, sungguh mengundang liur tergiur.
Proses pembuatan kuliner Geblek Pari | Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Keempat, tidak hanya menawarkan makanan, Geblek Pari juga menyediakan lapak membatik di sela-sela Balai-Balai Joglo tempat makan. Pengunjung dapat merasakan serunya membatik sekaligus juga dapat membeli hasil karya pengrajin ini sebagai oleh-oleh. Ini tidak terlepas dari Kota Yogyakarta dengan ikon batik yang terkenal. Wisata kuliner dengan citarasa budaya membatik yang menarik simpatik menggugah empati wisatawan.
Kelima, pengelola Geblek Pari memadukan kuliner dengan petualangan keliling kampung melewati Bukit Manoreh dengan penyewaan sekuter, ATV, dan Jip. Harga sewa sekuter Rp 40.000,00, harga sewa ATV Rp 45.000,00, dan harga sewa Jip Terbuka Rp 450.000,00 untuk 3-4 orang.
Begitulah Geblek Pari sebagai tempat wisata kuliner yang baru 7 tahun dibuka mampu mempekerjakan 13 karyawan dari kampung setempat. Walaupun karyawannya orang kampung, pelayanannya tidak kampungan. Para karyawan ini juga sempat dimanjakan berlibur ke Bali sebagai wisatawan, seperti dituturkan Mbah Katinah.
Menurut Mbah Katinah, Geblek Pari dapat melayani rombongan sampai 400 orang sehari. Resiko pelayanan dalam jumlah banyak, Geblek Pari juga menerima tenaga Daily Worker (DW) yang disebut pocokan dalam Bahasa Jawa. Begitulah pariwisata bila dikelola dengan baik dan professional, dapat dilakukan intensifikasi dan diversifikasi sebagai diterapkan dalam budaya agraris.
Berfoto di tepi sawah di kawasan Rumah Makan Geblek Pari | Foto: Dok. Nyoman Tingkat
Dengan intensifikasi, pariwisata dikemas secara intensif akibat keterbatasan daya dukung sehingga tidak dapat divariasikan. Namun, yang dipasarkan adalah sektor jasa melalui pelayanan prima. Dengan diversifikasi, pariwisata dapat menawarkan kolaborasi dan sinergi dengan daya dukung yang tersedia.
Geblek Pari adalah contoh nyata yang menawarkan kuliner sebagai daya tarik utama, didukung bentang alam persawahan dan bukit Manoreh yang menyediakan arena petualangan. Maka penyewaan sekuter, ATV, dan Jip pun dapat dinikmati pengunjung untuk bertualang, selain bertualang menikmati kuliner memanjakan lidah. [T]
BACA artikel lain dari penulis NYOMAN TINGKAT