IA duduk tenang di antara seniman, pelaku budaya, dan komunitas dari berbagai daerah di Indonesia yang menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia (AKI) 2024. Didampingi kerabatnya, perempuan 71 tahun itu tampak lebih banyak diam daripada berbicara. Ia begitu anteng—walaupun sesekali terlihat berbincang dengan Tatang Setiadi, seniman tradisi, dengan suara pelan.
Dengan menggunakan pakaian Tari Gandrung lengkap; dengan sisa-sia kecantikan, aura, dan kekuatannya, Temu Misti, seniman tua yang duduk tenang tersebut, kini berjalan pelan dan hati-hati. Digandeng seorang pria muda, ia melangkah menuju panggung sesaat setelah namanya disebutkan oleh pembawa acara. Dari jauh, Mbok Temu, sebagaimana ia akrab dipanggil, tampak tersenyum.
Ya, di The Tribrata Hotel and Convention, Jakarta, Selasa (17/9/2024) malam itu, Mbok Temu menjadi sorotan sebab negara, melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), mendakunya sebagai salah satu seniman yang berhak, juga layak, mendapat Anugerah Kebudayaan Indonesia 2024 untuk kategori maestro seni tradisi bersama Kartolo (seniman Ludruk), Rusini (penyusun dan penari tradisi), Tatang Setiadi (seniman tradisi), dan Baiya (pedendang nyanyian sastra lisan Panjang).
Temu Misti duduk di antara seniman dan pelaku budaya penerima AKI 2024 saat gladi bersih | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Di atas panggung, saat ia menerima piagam penghargaan, Mbok Temu tersenyum lebar, menampilkan giginya yang putih dan masih utuh—ia tampak sangat bahagia. Di usianya yang tak lagi muda, maestro Gandrung itu masih tampak cantik, bugar, dan nyenengke.
Temu Misti lahir di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, pada 20 April 1953. Dalam khazanah Tari Gandrung di Banyuwangi, namanya sering disebut. Ia meniti perjalanan panjang menjadi seorang seniman Gandrung.
Mbok Temu merupakan anak dari pasangan Mustari dan Supiah. Temu kecil sering sakit, menurut kisah-kisah yang banyak beredar di kanal berita online. Karena khawatir, ibunya bernazar kalau sembuh dan sudah besar Temu akan ia jadikan sebagai penari Gandrung. Kisah ini mirip dengan Semi—yang dikenal sebagai penari Gandrung pertama.
Berawal dari seorang juragan Gandrung bernama Mbah Ti’ah, Temu akhirnya belajar menari Gandrung saat usianya 15 tahun. Dalam beberapa tahun saja, ia menjadi mahir, terkenal, dan lantas menjalani hari-hari yang padat dengan pentas ke berbagai tempat; bisa sampai 20 kali dalam sebulan. Temu menjadi primadona.
“Saya manggung pertama kali itu di Dusun Gadok, tak jauh dari tempat tinggal saya,” terang Temu. “Pementasan itu merupakan ritual meras—langkah awal sebagai penari Gandrung,” lanjutnya dengan bahasa Jawa logat Banyuwangian yang khas.
Sejak masih gadis, Temu telah dikenal sebagai penari dan penyanyi Gandrung dengan ciri khas vokal lantang dan suara timbre padat, serta penguasaan penuh terhadap lagu-lagu Gandrung Osing. Artinya, hingga saat ini, Temu sudah menari Gandrung selama hampir enam dekade.
Tapi Temu memang lahir dari keluarga seniman. Darah seninya mengalir dari sosok sang ayah yang merupakan pemain Ludruk, dan kakek Temu yang bernama Samin adalah seorang yang ahli dalam seni tradisi membaca lontar di Banyuwangi.
Oleh karena itu, pantas saja Temu berhasil menjadi maestro Gandrung Banyuwangi—dan itu juga berkat kemampuannya dalam menari, menembang, dengan suaranya yang khas, melengking tinggi, gaya khas masyarakat Suku Osing.
Pada masa awal perkembangan rekaman kaset, suara Temu termasuk menjadi bagian awal yang menghiasi pita rekaman. Sejumlah lagu Gandrung direkam dan dijual dalam bentuk kaset dan CD. Penjualannya lumayan laris di pasaran.
Menurut Farida Indiriastuti dalam Dari Kemiren ke Hollywood yang terbit di Kompas, 3 November 2007, album kompilasi Temu Disco Etnik Banyuwangi yang direkam Sandi Record mampu menembus angka penjualan fantastis: 50 ribu VCD dan 10 ribu kaset dengan distribusi meliputi Jawa, Madura, dan Bali.
Suara Temu juga telah melengking sampai ke mancanegara. Pada 1980-an, suara Temu diabadikan oleh Smithsonian Institution dari Amerika Serikat dalam proyek pendokumentasian dan penerbitan musik rakyat yang bekerjasama dengan Masyarakat Musikologi Indonesia—sekarang Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Smithsonian membuat 20 volume atau album yang dilabeli Music of Indonesia dan Gandrung Banyuwangi berada di volume pertama yang berjudul Songs Before Dawn dan dirilis tahun 1991.
“Tapi penari Gandrung sekarang ada yang bisa menyanyi tapi tak bisa menari, atau ada yang bisa menari tapi tak bisa menyanyi—sehingga yang menyanyi harus orang lain,” ujar Temu dalam wawancara yang dimuat dalam buku Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan suntingan Philip Yampolsky.
Namun, sebagaimana kisah-kisah maestro kesenian gong kebyar di Bali yang sering diajak pentas di luar negeri oleh para orientalis, popularitas Temu tak berbanding lurus dengan penghasilan yang didapatkan dan kondisi kehidupannya di Banyuwangi. Meski, misalnya, Songs Before Dawn terjual sebanyak 284.999 keping CD dalam tempo 24 jam—sebagaimana catatan Farida mengacu pada data amazon.com—Temu tetap hidup sederhana.
Konsistensinya dalam menjalani karier sebagai seniman Gandrung membuatnya tak hanya mendapat panggung di ranah lokal dan nasional, tetapi juga mendapat sorotan dunia internasional. Pada tahun 2015 lalu, tak main-main, Mbok Temu menarikan Gandrung di Frankfurt, Jerman.
Dan baru-baru ini, di panggung tak berundak di ruangan yang gelap dan dingin dalam ajang Panggung Maestro di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (13/6/2024) itu, Temu seperti dibawa kembali ke masa lampau ketika ia menjadi bintang. Tubuhnya yang dipulas riasan wajah dan kostum merah bak bersinar disorot lampu. Tubuhnya bergerak otomatis saat musik mengalun.
Berkat Temu, Gandrung Banyuwangi kian dikenal dunia. Berkat dedikasi Temu pula, Gandrung tetap lestari sampai ditetapkan sebagai Warusan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. “Padahal saya memulai karier sebagai seniman Gandrung itu dari panggung acara hajatan warga,” Temu menerangkan.
Keberhasilan Mbok Temu melestarikan, mengajarkan, dan memperkenalkan tarian Gandrung kepada generasi muda, khususnya Banyuwangi, menjadi salah satu alasan utama ia dinilai layak menerima AKI 2024. Mbok Temu dianggap menginspirasi banyak orang untuk terus melestarikan seni tari tradisional tersebut.
“Bagi saya, Gandrung merupakan ladang penghidupan sekaligus sarana mengekspresikan diri,” ujar Temu, seniman yang sempat tenar sebagai penari populer, tapi kini dikenal sebagai maestro seni tradisi itu.
Kini, selain masih aktif menari, Temu juga mengelola Sanggar Tari Sopo Ngiro—yang berarti “siapa mengira” atau “siapa sangka”—yang melestarikan dan mewariskan seni Gandrung. Dan berkat dedikasinya dalam bidang ini, ia menerima banyak penghargaan sebagai bukti kontribusinya terhadap seni Gandrung, salah satunya adalah penghargaan Maestro Gandrung yang diberikan di Taman Ismail Marzuki pada tahun 2012 silam.
Sampai sekarang Temu masih aktif menari dan tampil di berbagai pertunjukan tari. Ia menunjukkan konsistensi dan kesinambungan yang tinggi—yang berkiprah pada seni Gandrung sekurangnya 4 generasi Gandrung Banyuwangi. “Saya ingin menari sampai akhir hayat,” ujar Mbok Temu dengan senyum yang meyakinkan.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole