SA PA atau Sapa, adalah sebuah tempat yang sekarang menjadi distrik kota Sa Pa di Provinsi Lào Cai di barat laut Vietnam. Distrik Sa Pa berbatasan dengan komune Mường Hoa di timur, distrik Phan Si Păng di barat, distrik Cầu Mây di selatan, dan distrik Hàm Rồng, Sa P, di utara.
Saya menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam dari Kota Hanoi untuk menuju ke sana. Menaiki Sleeping Bus (bus yang memungkinkan kita rebahan atau tidur). Harga tiket Sleeping Bus dari Hanoi ke Sapa seharga 150 VND.
Berhenti sebanyak dua kali di stasiun lumayan untuk pergi ke toilet atau ngopi barang 20 menit. Sesampainya di Sapa, hujan menyapa. Tampak sekeliling adalah bukit. Persis, ini adalah kota yang di kelilingi bukit dan berada di lembah. Suhu udara ketika saya tiba sangat adem. Dan seperti biasa, kuliner adalah hal pertama yang saya coba.
Cho dem semacam bubur yang mengingatkan saya pada mengguh di Desa Les. Beras, kuah, daging cincang ayam, dan chop sayur seakan seperti berada di dagang mengguh di desa saya. Satu mangkok harganya 50 VND. Di tempat saya menyantap cho dem, tampak ibu pedagang juga menjajakan sate babi, ayam, jagung, dan ubi ungu bakar—dan yang paling unik: telur bakar. Dua ubi bakar dan cho dem cukup untuk memberi energi untuk menyusuri Sapa di malam hari.
***
Pagi hari ketika rintik hujan dan kabut turun bersamaan, saya memutuskan bergegas dan keluar hotel. Tidak lengkap rasanya kalau ke sini tidak menyusuri alam di lembah pedesaan. Mulai dari danau di tengah kota, naik kereta ke Fansipan, sampai menyusuri perkampungan di Cat Cat Villlage.
Ya, saya menyusuri Cat Cat Village. Dengan tiket masuk 150 VND seakan sangat worth it untuk trekking melihat bagaimana desa ekowisata ini ditata sedemikian rupa.
Dan pertanian adalah yang utama. Jagung, labu, tampak ada di setiap pekarangan rumah penduduk. Tampak para orang tua menenun sambil sesekali mengisap rokok. Desa ini dikelilingi oleh perbukitan. Tampak sumber air melimpah dari beberapa sungai. Saya menghabiskan 6 jam untuk menyusuri semua sudut di Cat Cat Village.
Sambil trekking, suasana ini mengingatkan saya kembali bagaimana hutan dan pohon dapat menciptakan air; dan air menciptakan peradaban. Peradaban membentuk budaya. Dan pertanian, sekali lagi, adalah hal utama di sini. Setidaknya buah labu dan jagung adalah sumber makanan utama bagi orang-orang Cat Cat Vilage. Sedangkan menenun dan menyulam adalah kegiatan setelah aktifitas dapur selesai.
Sebelum hujan dan kabut tebal datang saya menyempatkan ngopi di sebuah warung. Sembari merasakan dan membungkus kenangan, Bali tampaknya dulu seperti ini. Tapi sekarang tak ada lagi jagung, jarang sekali ada labu di rumah-rumah, semua diganti dengan banyak hal yang instan.
Di Bali, menenun adalah hal yang lumrah, dulu, yang kini menjadi aktifitas langka. Memang sulit membedakan antara kemajuan dan menjaga tradisi. Kebanyakan keduanya saling tidak bersinergi. Terlebih ketradisionalan sering dianggap kurang maju—modern. Tidak semua, memang, tapi itu sering sekali terjadi bukan?[T]
Editor: Jaswanto