SATU-SATUNYA saudara laki-laki Ngaji yang terhindar dari Tragedi Sebelas ialah I Nyoman Pindah. Ia selamat karena memang tidak ikut dalam rombongan sekaa angklung Desa Adat Sebunibus yang ngayah pada tanggal 21 September 2011. Saat kejadian, Pindah berada di daerah transmigran (Kalimantan) untuk menyelesaikan 2 bade dan 27 petulangan.
Nyoman Pindah merupakan kakak kedua dari Ngaji. Total saudara Ngaji berjumlah 8 orang yaitu 2 perempuan dan 6 laki-laki. Lima laki-laki dengan urutan paling tua yaitu Made Riawan (alm.), Nyoman Pindah, Ketut Ginastra (alm.), Gede Muji (alm.), Made Ngaji (alm.) dan alm. bungsu Gede Suradnya. Ngaji memiliki saudara perempuan yakni Wayan Rame (sulung) dan adik perempuan, Ketut Rai.
Semua saudara laki-laki Ngaji ialah seniman karawitan, termasuk Nyoman Pindah. Pindah termasuk seniman otodidak yang memiliki intelegensi atau kecerdasan seni yang mempuni—meskipun hanya mengenyam pendidikan kelas 4 Sekolah Dasar.
Nyoman Pindah menjadi satu-satunya saudara laki-laki Ngaji yang putus sekolah. Sisanya, kakak dan adiknya tamatan SPG hingga kuliah penyetaraan (guru PNS SD). Sedangkan si sulung, Gede Suradnya, merupakan satu-satunya yang mengenyam pendidikan seni paling tinggi. Selepas dari kokar (SMKI), Suradnya melanjutkan ke ASTI (STSI) Denpasar. Sayang, di injury time wisuda, Suradnya harus kehilangan nyawa karena mengalami lakalantas pada tahun 2002, sebelum tragedi sebelas.
Seniman I Nyoman Pindah [Foto: Dok keluarga
Nyoman Pindah boleh saja terpuruk di dunia akademis. Ia tidak memiliki gelar mentereng untuk dibanggakan. Namun, ia membuktikan kepada dunia bahwa minus pendidikan (formal) bukan alangan untuk menjadi seniman karawitan. Menurutnya, kecintaan, lingkungan, pergaulan dan konsistensi adalah sekolah dan kampus tinggi—meski tak memberikan selembar legalitas. Prinsip ini sangat nyata dialami oleh Nyoman Pindah.
Nyoman Pindah tidak pernah belajar ilmu seni karawitan secara khusus. Akan tetapi, ia bisa memainkan gamelan tradisional Bali sejak kecil. Kedekatannya dengan dunia karawitan bersumber dari sang ayah, Mangku Rame. Kebetulan, Mangku Rame adalah pelatih alias pembina sekaa gong di Sebunibus. Setiap sang ayah melatih gong di banjar, Pindah selalu menjadi ekor. Awalnya, pria yang berteman baik dengan alm. I Made Subandi ini hanya mengamati—melihat dan mendengar—lalu mencoba memainkan instrumen gong secara mandiri.
Selanjutnya, ia tersandera dengan formulasi tabuh gong. Zaman ia kecil, sangat sulit mendapatkan referensi pola tabuh yang utuh. Ia tidak memiliki fasilitas seperti tape recorder untuk belajar pola tabuh gong. Satu-satunya cara ialah ia mendengarkan tabuh gong yang didengarnya lewat loudspeaker sewaktu-waktu, tidak tentu.
Biasanya, setiap upacara adat-keagamaan, misalnya nelubulanin, di Desa Adat Sebunibus, pihak yang punya gawe yang ngupah loudspeaker. Loudspeaker itu menyiarkan tabuh-tabuh garapan ASTI di udara. Tabuh inilah yang menjadi incaran Nyoman Pindah. Jika tabuh gong mengalun lewat loudspeaker, ia mencari posisi ideal untuk mendengar dengan jelas. Sementara itu, kedua telinganya terbuka lebar-lebar sambil berkonsentrasi tinggi agar dapat menangkap pola-pola tabuh tersebut. Ia rela mengabaikan setiap pekerjaan hanya untuk mendengar tabuh-tabuh itu secara tuntas dan komprehensif.
“Pernah ada tetangga memutar tabuh gong di loudspeaker sepotong-potong. Kadang, gonta-ganti tabuh nggak jelas. Ini bikin saya jengkel. Kemudian, saya melemparkan batu ke arah stand loudspeaker itu berkali-kali,” ujar pria berambut sedikit ikal ini, suatu kali saat bercerita.
Melatih Gong Sejak Kelas 4 SD
Berkat bakat semestanya yang luar biasa, pada usia anak-anak, Pindah sudah mampu memainkan gamelan tradisional Bali lebih dari satu instrumen. Bahkan, kepiawaiannya dalam memainkan gamelan melebihi kemampuan orang dewasa.
Seniman I Nyoman Pindah (tengah) | Foto: Dok. keluarga
Karena itu, sejak duduk di bangku kelas 4 SD, pria yang lahir pada tanggal 31 Desember 1963 ini sudah mendapatkan tawaran melatih sekaa gong kebyar di luar daerah yang ada di Nusa Penida. Tawaran ini bermula dari penampilannya bersama sekaa gong binaan ayahnya di Sebunibus. Rupanya, saat pentas, skillnya di atas panggung menjadi sorotan dari warga luar Sebunibus.
Karena itu, pasca pentas, seseorang mencari Pindah ke rumahnya. Orang itu memintanya untuk melatih sekaa gong di desanya. Pindah sempat kaget dan tak percaya. Namun, orang itu meyakinkan Pindah.
“Waktu itu, tahun 1972. Saya masih kelas 4 SD. Utusan dari Sahsalang (Banjar Salang, Batukandik, Nusa Penida) datang meminta sekaa gongnya dilatih selama 2 tahun. Saya bangga dan menyanggupinya,” terang pria yang kini memiliki 5 anak ini.
Tidak berhenti di Sahsalang. Ujian kepelatihan berikutnya datang dari sekaa gong di Banjar Penangkidan, Nusa Penida. Nama Pindah terendus juga ke tempat tersebut. Ia diminta melatih sekaa gong di Penangkidan. Selanjutnya, berpindah ke tempat lain di NP.
Pindah menjadi nyaman dan bersemangat melakoni diri sebagai pelatih gong. Padahal, zaman itu ia tidak mendapatkan finansial yang cukup. Suami dari Ni Ketut Tirah ini hanya mendapatkan pelayanan yang optimal secara pangan (makanan) ditambah sembako yang dibawa ke rumah.
Namun, ia mendapatkan kepuasan yang tak bisa diukur dengan materi. Ia dapat melampiaskan kecintaan seni karawitannya. Ia mendapatkan kesempatan melatih. Ia mendapatkan popularitas. Lebih dari itu, ia mendapatkan pengalaman-pengalaman ber-kerawitan yang tak terpikirkan oleh anak seusianya.
Seniman I Nyoman Pindah (paling kanan) bersama siswa Sanggar Tittari Emas | Foto: Dok. Sanggar Tittari Emas
Kenyamanan Pindah dalam dunia karawitan membuatnya terlena. Ia larut dengan kesibukan berkarawitan hingga terdampar pada persimpangan studi. Anak ketiga dari Jero Mangku Rame ini memutuskan berhenti sekolah hingga kelas 4 SD saja. Sebuah keputusan yang kontroversial. Keputusan yang mendapatkan pertentangan keras dari beberapa saudaranya, terlebih lagi dari sang ayah.
Akan tetapi, Pindah bukan sosok yang mudah digoyahkan. Keputusannya bulat, tak dapat diganggu gugat. Padahal, bertaruh di dunia seni karawitan pada zaman 1970-an adalah keputusan nekat dan tidak rasional.
Siapa seniman karawitan yang dapat eksis (hidup) pada era 1970-an di Nusa Penida? Hampir tidak ada referensi untuk menjelaskan hal ini. Era 1970-an adalah masa-masa sulit di Nsa Penida. Masa ketika sektor pertanian menjadi andalan. Sisanya, ialah undagi atau pertukangan. Seni karawitan tidak masuk dalam hitungan untuk bisa survive.
Menyadari hal tersebut, Pindah juga mengasah skill lain yang bisa menopang hidupnya. Undagi menjadi alternatif. Baginya, menjadi undagi bukan pekerjaan sulit. Ia memiliki guru, yang sekaligus ayahnya sendiri yaitu Mangku Rame.
Kesehariannya, Pindah terbiasa dengan lingkungan undagi. Pasalnya, ayahnya adalah seorang undagi ternama pada era itu. Awalnya, ia membantu sang ayah dalam proyek perundagian (membuat rumah, sanggah, bade, dan petulangan) di beberapa daerah di Nusa Penida. Lama-kelamaan, ia pun bisa membuat hasil karya (undagi) secara mandiri.
Tidak cukup dengan undagi, ia juga belajar bertani dengan lingkungan sekitar. Ia bisa menjadi peladang palawija dan beternak sapi. Namun, cintanya terhadap karawitan tidak bisa ia tinggalkan seratus persen. Pria spesialis pemain terompong ini menjadi petani, peternak, undagi dan sekaligus seniman karawitan dengan komposisi yang ia pahami sendiri.
Hasilnya, ia survive tanpa meninggalkan seni karawitan yang digelutinya sejak kecil. Kesibukkan tidak pernah menyurutkan dia untuk tetap aktif, kontinu, dan konsisten di ranah seni karawitan. Entah sekadar ngayah di banjar, ikut kupah ke luar daerah. Bahkan, berpartisipasi dalam kegiatan festival karawitan.
Partisipan dan Pelatih PKB
Kecintaan dan karma konsistensinya membuat Pindah menjadi seniman (karawitan) otodidak yang disegani oleh warga Nusa Penida, khususnya warga desa Adat Sebunibus. Kemampuannya dalam seni karawitan sudah teruji. Ia mencatatkan dirinya sebagai tim tabuh yang mewakili Klungkung beberapa kali dalam Pesta Kesenian Bali (PKB). Ia masuk tim inti sekaa gong kebyar Desa Jurangpahit, Nusa Penida, mewakili Klungkung dalam ajang PKB (tahun 2000), mewakili Klungkung bersama gong Kebyar Desa Ped (2003) dan bersama Desa Kutampi (2006).
Seniman I Nyoman Pindah (paling kiri) bersama siswa Sanggar Tittari Emas sebelum pentas ngender | Foto: Dok. Sanggar Tittari Emas
Ia juga menjadi barisan tabuh dalam sekaa angklung Desa Adat Sebunibus yang meraih juara 1 di Kabupaten Klungkung 2008 dan sekaligus ikut mewakili Klungkung ke PKB. Sebelumnya, tahun 1984, Pindah juga sukses mengantarkan sekaa gong Desa Adat Sebunibus menjadi yang terbaik, yakni juara 1, pada Lomba Gong Kebyar se-Kabupaten Klungkung.
“Saya tidak tamat SD. Ada penabuh-penabuh lain yang tamatan Kokar (SMKI) dan bahkan STSI (ASTI). Namun, astungkara saya bisa lolos dan dipercaya beberapa kali bergabung sebagai penabuh mewakili Klungkung,” ucap pria yang pernah menjabat sebagai Seksi Kesenian Pura Dalem Ped utusan Desa Adat Sebunibus ini.
Pindah memiliki insting seni karawitan yang tinggi. Karena itu, ia dapat memainkan beberapa instrumen tradisional Bali secara otodidak. Selain gong kebyar, ia juga piawai memainkan instrumen angklung, gender dan geguntangan.
Skill karawitan pindah tidak hanya teruji sebatas partisipan penabuh dalam dunia per-PKB-an. Namun, laki-laki yang pernah mengabdi 15 tahun di Pura Dalem Ped ini juga pernah menjadi pelatih (pembina) karawitan. Tahun 2014, ia ditunjuk menjadi pelatih (pembina) Gong Kebyar Wanita Desa Batubadeg, Nusa Penida, mewakili Kabupaten Klungkung dalam festival bergengsi yaitu PKB.
Ujian berikutnya, tahun 2015. Ia didaulat menjadi pembina (pelatih) Gender Wayang di Desa Lembongan, Nusa Penida. Kala itu, Desa Lembongan ditunjuk menjadi wakil Klungkung mengikuti parade Gender Wayang dalam PKB. Pindah diberi tanggung jawab untuk melatih (membina) sekaa gender tersebut. Pria dengan tinggi badan kurang lebih 165 ini sukses mengantarkan tim binaannya tampil luar biasa di panggung.
“Banggalah diberi tanggung jawab membina sekelas event PKB. Apalagi, saat mendengar nama saya disebut oleh MC sebagai pembina/ pelatih tanpa gelar di hadapan ratusan penonton. Berbeda dengan pembina-pembina yang lainnya, semua disebut dengan gelar mentereng,” tutur Pindah yang pemilik akun FB Jero Gender ini.
Beberapa siswa Tittari Emas, Binaan Seniman I Nyoman Pindah | Foto: Dok. Sanggar Tittari Emas
Modal skill, pengalaman berfestival dan kepelatihan semakin menguatkan citra diri seorang Nyoman Pindah. Ia banyak mendapat tawaran melatih dari banjar ke banjar, desa ke desa baik di Nusa Penida hingga ke Sulawesi dan Kalimantan. Zona kepelatihan Pindah di Nusa Penida mencapai lebih dari 80 persen.
Ia tidak hanya menjadi pelatih gong kebyar, angklung, gender dan termasuk melatih geguntangan. Untuk menjaga ruang cintanya terhadap seni karawitan, ia mendirikan sanggar gender bernama Tittari Emas pada tanggal 26 Desember 2000. Sanggar ini bergerak untuk melatih anak-anak belajar memainkan intrumen gender.
Hingga sekarang, Pindah dengan sanggarnya sudah berhasil membentuk basis bermain gender kepada anak didiknya. Bahkan, beberapa anak didiknya sudah mengalami uji pentas dalam acara keagamaan di Nusa Penida. Selain itu, Pindah juga aktif membantu sekaa gong DAS, terutama saat pementasan calonarang.
Di tengah kesibukkannya sebagai jero mangku, pelatih karawitan, tokoh masyarakat dan lain sebagainya—pindah tidak mau lepas dari dunia karawitan. Dunia yang dicintainya sejak kecil. Dunia yang mengandaskan pendidikan formalnya. [T]
BACA ARTIKEL SEBELUM DAN BERIKUTNYA:
BACA artikel-artikel menarik tentang Nusa Penida dari penulis KETUT SERAWAN