KAMIS, 19 September 2024, saya berangkat dari Bali ke Kabupaten Banyuwangi. Saya ke sana dalam rangka menghadiri undangan Kemenparekraf dalam acara “Beli Kreatif Desa Wisata” yang diselenggarakan di Banyuwangi.
Seperti biasanya, tema tentang pariwisata berbasis komunitas, regenerative travel, selalu menjadi bahasan yang sangat menarik. Ini kali kelima saya menyelami bagaimana pariwisata Banyuwangi. Beberapa kali berwisata di bumi Blambangan ini selalu menjadi hal yang menarik, terlebih sebagai pelaku wisata di Bali, khususnya Bali Utara.
Berkat magnet Gunung Ijen, Hutan Djawatan, Pantai Merah, Pantai Brangsing, sampai Desa Taman Sari dan beberapa destinasi wisata religi, Banyuwangi semakin menjadi primadona sebagai destinasi untuk dikunjungi.
Sebagai pelaku wisata di desa, saya banyak belajar dan merasakan dari Banyuwangi. Kebetulan, kemarin saya berkesempatan berkunjung dan menginap di Desa Kemiren—desa yang dikenal memiliki jumlah penduduk Suku Osing paling banyak.
Tidak banyak hotel melati dan bintang lima di Banyuwangi. Kebanyakan adalah homestay yang dimiliki oleh penduduk lokal. Di Desa Kemiren saya merasakan bagaimana hal itu dilakukan. Semua penginapan menggunakan kamar yang tersisa di rumah penduduk.
“Ada 50-an kamar yang ada di desa ini,” kata Mak Onah, perempuan berusia 56 tahun yang menjadi tuan rumah tempat saya menginap.
Alamatnya di Dusun Krajan, RW 2, RT 1, Osing Kemiren. Beberapa kamar ada AC, banyak juga yang tidak memilikinya. Tapi yang jelas, jika ingin menjadi warga sehari atau beberapa hari dan merasakan pengalaman berkunjung ke sebuah tempat, penataan tempat wisata seperti ini penting untuk dilakukan dan digalakan. Wisata minat khusus menjadi salah satu format bagaimana regenerative tourism itu bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dan alam sekitar.
Pengalaman yang ditawarkan, menginap bersama penduduk lokal adalah kemewahan. Dari pertama check-in sudah disuguhkan kopi arabika Osing Kemiren yang disangrai sendiri, nasi tempong pecel sepuasnya sampai pengalaman melihat bagaimana cara memasak dan kehidupan orang lokal.
Jika saja kita menginap di hotel mewah, hal seperti ini akan menjadi paket mewah yang harus merogoh kocek yang tak sedikit pula. Saya merasakan bagaimana berjalan di desa, bertegur sapa yang kian langka dilakukan orang-orang kota hari-hari ini.
Menyusuri jalanan Desa Kemiren sampai di pusat Suku Osing Kemiren. Memasuki sudut pusat Suku Osing saya serasa berjalan ke sebuah tempat di masa lalu. Sawah dan pedesaan masih tampak berdampingan dan tak saling mengalahkan. Mereka bertani, bekerja tanpa risau ada tamu yang akan datang atau tidak. Mereka ramah dan anak mereka tampak bermain berdampingan dengan sawah dan sungai di sekitar rumahnya.
Mungkin bagi sebagian orang ini adalah hal yang kurang maju di tengah kemajuan zaman yang serba cepat, tetapi sebagian dari orang yang sudah merasakan kemajuan ingin kembali ke kehidupan yang slow dan sederhana nan mewah ini.
Bagaimana wisata Desa Kemiren telah banyak memberi pelajaran bagi Bali untuk kembali belajar dari Banyuwangi. Tidak ada yang tidak berubah seiring waktu berjalan, begitu kata yang selalu didengungkan. Tak bisa menyangkal dan itu benar.
Tetapi, ketika semua mengeluh karena macet, over tourism, alihfungsi lahan, tebing dibabat, Kemiren barangkali perlu untuk dijadikan bahan ajar dan pelajaran bagi masing-masing kita.
Jika hari ini pariwisata masih tentang hotel bintang lima, tentang orang luar negeri, dan tentang mata uang asing, penting juga membalikkan itu semua menjadi rumah sendiri yang disewakan, kita semua bisa berwisata dengan merdeka dan saling menumbuhkan kesadaran berwisata di destinasi lokal.
Ini butuh waktu lama dan bahkan melelahkan, tapi beberapa tempat di Bali yang lain masih sangat bisa dikembalikan dan dipertahankan. Begitulah hal yang saya dapat pelajari dari Banyuwangi, meski Bali selalu seksi dijadikan narasi di seluruh penjuru negeri ini.[T]