11 April 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Perjalanan
Penulis di gapura masuk Desa Adat Osing Kemiren (Doc: Mochamad Rifa’i)

Penulis di gapura masuk Desa Adat Osing Kemiren (Doc: Mochamad Rifa’i)

Sekilas Tentang Banyuwangi: Sosok Buyut Cili Dibalik Desa Kemiren

Mochamad Rifa’i by Mochamad Rifa’i
July 30, 2019
in Perjalanan
24
SHARES

Segelas jus alpukat dan tempe penyet lengkap dengan sayur rebusnya menemaniku malam ini di tengah kota Banyuwangi. Taman Sritanjung yang tak pernah sepi dari pengunjung. Di tempat inilah saya mengisi perutku yang sedari tadi keroncongan. Tentu malam ini saya tak sendiri. Selain hidangan makan malam ala kadarnya seorang kawan seperjuangan turut hadir di malam ini.

Dialah Faruq Hasan. Seorang kawan yang doyan selfie tapi hasil gambarnya tak pernah di unggah di wall Instagram. Dan hal yang sering membuat kami cek-cok yaitu ketika dia memintaku untuk memfotonya, ia merasa puas dengan hasil jepretanku. Namun sebaliknya, giliran saya yang minta difoto gambar yang dihasilkan tak sesuai dengan yang kuharapkan. Apes bukan?! Ya, begitulah.

Suasana yang benar-benar berbeda. Jujur, saya merindukan suasana seperti ini. Bersama dengan derunya kendaraan, samar-samar lantunan pujian islami dari masjid agung di seberang jalan yang menyejukkan hati. Kerlap-kerlip lampu kota yang seakan menyiratkan kenangan dimasa lalu. Pandanganku tertuju pada sosok ibu-ibu penjual rujak di ujung trotoar.

Beberapa kali ia tersenyum ramah kepada pelanggannya. Walaupun wajahnya mulai keriput, sungguh senyuman yang hangat. Bukan maksud saya tertarik dengan penjual rujak tersebut, saya hanya merindukan kekasihku yang telah lama meninggalkanku. Oke fix! Maaf jika malam ini aku merindukanmu, ibu… ibu… oh, ibu….

Ini kali pertama saya melangkahkan kaki di Taman Sritanjung. Jadi, Faruq mengajakku untuk diam sejenak menikmati pemandangan malam di kota Banyuwangi. Setelah kami menghabiskan makan malam, kami beranjak dari tempat dan mencari bangku yang kosong untuk beristirahat, dan beberapa kali meributkan hasil gambar yang tak sesuai harapanku. Entahlah, mohon dimaklumi diriku yang anak medsos ini.

Muncar

Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan setelah beberapa kali main jeprat-jepret di pinggir jalan yang dihiasi lampu warna-warni. Tapi zonk, karena hanya menggunakan kamera di gawai jadi hasil jepretan pun tak karuan.

Muncar adalah tujuan kami. Muncar terkenal dengan ikan segarnya. Hal ini karena di Muncar terdapat pelabuhan kapal-kapal para nelayan. Jadi ditempat inilah pusat penghasil ikan segar yang ada di Banyuwangi. Selama ini saya tahunya hanya nama salah satu kecamatan saja, bukan mengenalnya dengan hasil laut yang melimpah.

Jarak tempuh antara tempat tinggal Faruq dan pusat kota Banyuwangi lebih kurang satu jam. Ini adalah kali kedua saya untuk bersilaturahmi di rumah Faruq. Motor astrea hijau hitam ini melaju begitu cepat. Dengan kecepatan yang lumayan, beberapa kali saya tersontak kaget akibat dari jalan yang berlubang. Lebih menariknya lagi, jalan menuju desa dimana Faruq tinggal ini lumayan ekstrim. Sisa-sisa jalan yang diaspal mulai rusak, jika diperhatikan yang terlihat hanya bongkahan-bongkahan batu yang lumayan tak kecil.


Jalan penghubung Dusun Curah Pacul dengan Desa Tapanrejo, Kec Muncar
(Doc: Mochamad Rifa’i)

Tujuan saya bermalam di rumah kawanku ini selain untuk menikmati liburan semester juga mempunyai maksud lain. Yaitu sebagai tempat singgah sesaat ketika saya hendak pulang ke kampung halaman. Jadi memanfaatkan waktu sebelum tiket keberangkatan kereta ke Surabaya. Ya, itung-itung menikmati masa muda juga.

Malam yang di dingin. Rasanya ingin cepat sampai dan merebahkan badan dan tertidur lelap. Di rumah kawanku ini tepatnya di dusun Curah Pacul, desa Tambakrejo, Kecamatan Muncar. Malam itu pun saya dipersilakan tidur setelah kami sampai di rumah.

Ketika bangun pagi, telah terhidang segelas teh hangat dan sepiring gorengan. Rupanya ibunya Faruq telah menghidangkan untukku. Ku seruput segelas teh dan kusantap ote-ote hangat.

Wisata Desa Adat Osing Kemiren

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, maka saya pun diajak jalan-jalan ke salah satu desa bersejarah yang ada di Banyuwangi. Yaitu Desa Adat Osing Kemiren. Untuk menuju ke tempat tersebut berjarak 1 jam berkendara dari rumah Faruq.

Desa Kemiren berasal dari kemiri dan duren. Di mana tempat ini dulunya banyak tumbuh pohon kemiri dan durian. Desa Kemiren dihuni oleh masyarakat Suku Osing yang merupakan suku asli Banyuwangi atau sisa masyarakat Blambangan. Kepala desa yang pertama kali memimpin desa ini adalah Walik yang menjabat pada tahun 1657. Dan bahasa keseharian menggunakan Bahasa Osing.

Bahasa Osing itu sendiri gabungan dari Bahasa Jawa, Bali, dan Madura. Seperti Bahasa Bali “sing nawang” kemudian Bahasa Osing “sing weruh” yang sama-sama memiliki arti “tidak tahu”. Hampir memiliki kesamaan bukan?! Begitu kata salah satu pemuda yang kutemui waktu di desa Kemiren.


Gapura Desa Adat Osing Kemiren

Desa yang sama dengan desa-desa pada umumnya. Berisi pohon-pohon di tepi jalan dan rumah-rumah warga desa jawa timuran. Tapi saya penasaran, kami melanjutkan untuk menyusuri sepanjang desa ini. Saya tak menemukan aroma-aroma adat atau bangunan-bangunan bersejarah. Kami akhirnya memasuki wahana Desa Wisata Using dengan tiket masuk seharga Rp. 10.000,- per orang.


Desa Wisata Using (Doc: Mochamad Rifa’i)

Di dalamnya hanya terdapat kolam renang dan arena perkemahan. Saya tak melihat ada bangunan bersejarah, hanya saja beberapa tempat singgah seperti bangunan-bangunan rumah desa seperti umumnya. Rasa penasaranku masih belum terbayar.

Saya mengajak Faruq untuk keluar dari tempat tersebut. Penasaranku makin memuncak, karena saya tak ingin pulang nanti tidak membawa cerita dari tempat sejarah ini. Kemudian saya bertanya kepada penjaga loket yang ada di tempat ini. Akhirnya saya mendapat petunjuk dari bapak Penjaga Loket. Memang di desa ini ada sebuah rumah peninggalan nenek moyang yang masih ada hingga sekarang ini.

Untuk menempuh ke rumah tersebut harus mesuk ke gang sekitar 200 meter dari jalan utama. Dan benar saja desa ini hanya terdiri dari beberapa rumah saja. Dekat dengan persawahan. Hanya terdapat sekitar 12 rumah di desa yang konon katanya peninggalan Mbah Buyut Cili. Nama rumah ini adalah rumah tikel. Di desa ini masih sangat alami. Hanya terdapat satu kamar mandi umum dan mushola. Itu pun jarang difungsikan. Penghuni desa ini lebih suka beraktifitas di sungai seperti mencuci dan mandi.


Rumah adat Tikel warga suku Osing, desa Kemiren

Lesung untuk menumbuk padi masih bisa kita lihat di desa ini. Dapur yang masih terdapat tungku untuk memasak. Dan warga desa ini semuanya petani. Tradisi yang cukup unik bagiku yaitu ketika warga desa tetangga memiliki hajatan, maka akan terdengan bunyi sound dari tempat orang tersebut punya hajat. Maka secara otomatis bagi siapa saja yang mendegarnya, maka akan datang diacara tersebut. Walaupun tanpa adanya undangan.

Buyut Cili

Kami berbincang-bincang sejenak dengan salah satu pemuda yang ada di desa ini. Bahwa tidak jauh dari area desa ini terdapat punden Buyut Cili. Konon beliau merupakan penghuni pertama di desa Kemiren.

Tinjauan secara mitologi keberadaan dari desa ini tak bisa dilepaskan dengan keberadaan Buyut Cili. Nenek moyang atau danyang desa yang telah menjadi punden desa Kemiren. Masyarakat sekitar percaya bahwa Buyut Cili merupakan orang yang memiliki kekuatan sakti dari Majapahit yang memeluk agama Hindu.

Mitosnya nama “Cili” yang dalam bahasa Osing berarti “pelarian”. Ikhwal kisah, Buyut Cili adalah Pendeta Hindu-Budha. Namun berdasarkan versi lain meriwayatkan bahwa Buyut Cili menghuni ke desa Kemiren akibat tekanan dari kerajaan Demak.

Selain itu dikisahkan pula bahwa konon di desa Kemiren terserang wabah penyakit yang cukup mengerikan. Tidak sedikit dari orang sakit di pagi hari, kemudian sore meninggal. Melihat hal demikian, Buyut Cili segera meminta pertolongan dari Sang Maha Agung. Kemudian didapatkan sebuah petunjuk untuk melakukan selamatan. Dalam melakukan selamatan tersebut hendaknya terlebih dahulu menampilkan arak-arakan Barong untuk menolak bala (bencana). Dulu, Barong itu sendiri disebut sebagai binatang mistis yang merupakan binatang peliharaan Buyut Cili.



Petilasan Buyut Cili (Doc: Mochamad Rifa’i)

Petilasan Buyut Cili terdapat sekitar 50 meter dari perumahan warga. Hingga sekarang petilasan ini masih dikeramatkan dan banyak pengunjung yang berdatangan, terutama malam Jumat dan Minggu sore. Sebelumya petilasan ini menurut kepercayaan warga sekitar, ruh dari Buyut Cili tidak ingin untuk petilasannya dibangun.

Dan anehnya tidak ada aliran listrik yang mengalir di petilasan Buyut Cili. Beberapa kali warga sekitar mencoba untuk memasang listrik, namun tetap saja listriknya mati dan tidak bisa dinyalakan. Terakhir saya berkunjung ke petilasan ini Minggu, 30 Juni 2019 dan masih tidak ada aliran listrik di tempat tersebut.

Menyempatkan bermain di Banyuwangi sebelum menjelang pulang ke kota Tuban kelahiranku hari itu sungguh mengobati rasa penasaranku terhadap desa Kemiren yang menyimpan banyak sejarah dan kemistisannya. Selain itu menambah wawasan dan pengetahuan saya. Cocok deh jika Kabupaten Banyuwangi dijadikan sebagai Kota Welas Asih, yaitu kota yang sangat menghargai nilai-nilai kasih sayang, humanisme, dan kebhinekaan. [T]

Tags: banyuwangiDesa KemirenJawa TimurSuku Osing
Mochamad Rifa’i

Mochamad Rifa’i

Lahir di Tuban, 12 Juli 1996. Belajar menjadi manusia kuat, dan kokoh tak tertandingi yang bermodalkan nekad dan niat. Bismilah, atas ijin Tuhan semua akan baik-baik saja.

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi tatkala.co | Satia Guna
Cerpen

Utang | Cerpen Rastiti Era

by Rastiti Era
April 10, 2021
Esai

Saat Sang Murid Telah Siap, Sang Guru Akan Tiba – [Kebijaksanaan Zen]

Sebelum pencerahan Menimba air, membelah kayu Setelah pencerahan Menimba air, membelah kayu ___ (ajaran Zen) Kalimat ini saya baca beberapa ...

April 11, 2020
Esai

Kuliah di Pendidikan Teknik Informatika, Nanggung, Nggak Cukup S-1

Sebelum membaca, saya ingin menjelaskan bahwa tulisan ini tidak ada maksud sama sekali merendahkan pihak manapun, apalagi kampus yang menaungi ...

November 13, 2019
Esai

Pendidikan & Keutuhan Bangsa

“Hormatilah dalam pada itu segala adat istiadat yang kuat dan sehat, yang terdapat di daerah-daerah yang tidak mengganggu atau menghambat ...

May 3, 2019
Ilutrasi dari Google
Esai

Penguatan Bahasa Nasional Indonesia di Era Disrupsi: Dominasi, Infiltrasi dan Dialogisasi

Menjadi salah satu mahasiswa yang mengambil program studi pendidikan sejarah merupakan sebuah labelitas yang cukup berat bagi saya. Karna untuk ...

March 16, 2020
Lomba Cerdas Cermat (Tangkas), Dulu dan Sekarang. Foto dr. Ketut Suantara
Esai

Lomba Cerdas Cermat (Tangkas), Dulu dan Sekarang

kalau kau ingin perjalanan yang cepat                 berjalanlah sendirian                 tapi kalau hendak melangkah lebih jauh                 bepergianlah bersama sama ...

November 12, 2019

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Suasana upacara ngusaba kadasa di Desa Kedisan, kintamani, Bangli
Khas

“Ngusaba Kadasa” ala Desa Kedisan | Dimulai Yang Muda, Diselesaikan Yang Muda

by IG Mardi Yasa
April 10, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Gde Suardana
Opini

Tatkala Pandemi, (Bali) Jangan Berhenti Menggelar Ritual Seni dan Budaya

by Gde Suardana
April 10, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (163) Dongeng (13) Esai (1455) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (352) Kiat (20) Kilas (203) Opini (481) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (10) Poetry (5) Puisi (108) Ulasan (342)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In