DI Geo Open Space, Badung, Bali, orang-orang bergerombol dan mengular. Di ujung padang hijau berdiri sebuah pangggung kecil dengan layar besar di belakangnya. Layar tancap itu memang besar—seperti layar-layar di gedung bioskop. Dan di depan layar tersebut, di kursi-kursi yang ditata, orang-orang yang bergerombol dan mengular tadi kini duduk, sambil menikmati tahu krispi yang kopong. Mereka menunggu acara itu dibuka.
Sementara yang lain duduk, di dekat meja registrasi, tepatnya di area photo booth, beberapa gadis sedang asyik berpose. Berbagai mimik dan gerak tubuh mereka peragakan. Kadang manis, tak jarang konyol dan karikatural. Di depan mereka sebuah kamera menyala dan menangkap, mengabadikan, setiap gerak yang mereka peragakan. Foto tersebut bisa langsung dicetak dan dibawa pulang—sebagai kenang-kenangan.
Ada meja panjang yang tak pernah sepi. Di sanalah orang-orang mengambil kudapan, makanan dan minuman. Semuanya, dibagikan cuma-cuma. Tak perlu bayar, hanya butuh sedikit keberanian, jika urat sungkan Anda—untuk tidak mengatakan malu—lebih besar dari rasa lapar dan haus. Memang tak semua, tapi tampaknya kebanyakan demikian.
Dan itulah sedikit gambaran suasana pembukaan Minikino Film Week 10 (MFW10) Bali International Short Film Festival 2024 di Geo Open Space, Badung, Jumat (13/9/2024) sore. Rangkaian acara MFW10 ini akan berlangsung dari tanggal 13 hingga 20 September 2024 di berbagai lokasi yang tersebar di seluruh Bali.
Suasana pembukaan Minikino Film Week (MFW) Bali International Short Film Festival 2024 | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Sekadar informasi, Minikino Film Week (MFW) Bali International Short Film Festival dimulai pada tahun 2015 sebagai Festival Film Pendek Internasional yang unik di Bali, sebab dapat menjangkau kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.
Layar diatur untuk memberikan kesempatan kepada orang-orang supaya mengalami kembali menonton film secara kolektif, seperti budaya layar tancap, dulu. Lebih jauh lagi, pula membangun ruang berdiskusi tentang pengalaman, mempromosikan pemikiran kritis tentang apa yang baru saja mereka tonton. Layar yang lebih besar, melihat pemutaran bersama, dapat merangsang dan mendorong kesadaran sosial. Dan melalui Bali International Short Film Festival, MFW berupaya membangun kembali budaya sinema itu di Bali.
MFW melibatkan berbagai tempat Micro Cinema, Community Screening, dan Pop-Up Cinema di sekitar Bali, menawarkan aksesibilitas bagi penduduk lokal, serta menawarkan eksposur yang menarik dan unik, bagi mereka yang ingin mengunjungi dan merasakan Bali lebih dekat.
Di usianya yang ke-10 tahun ini, sebagaimana diungkapkan para direkturnya, MFW berkomitmen untuk memperkuat simpul ekosistem film pendek, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional—dengan menghadirkan karya-karya film kreatif dari berbagai penjuru dunia.
Pada tahun ini, MFW menerima 1.231 film dari platform Filmfreeway dan Short Film Depot. Film-film tersebut kemudian dikurasi dan terpilih 293 film pendek dari 62 negara, termasuk film-film dari Indonesia, yang akan ditayangkan. MFW10 akan menampilkan 64 program pemutaran, 26 kegiatan Short Film Market, dan 7 program edukasi untuk menjangkau publik yang lebih beragam. Dalam 8 hari penyelenggaraan, lebih dari 190 kegiatan akan berlangsung di 16 lokasi berbeda di seluruh Bali.
Dari kiri ke kanan: Ursula Tumiwa, I Made Suarbawa, Edo Wulia, dan Fransiska Prihadi | Foto: tatkala.co/Jaswanto
“Kami berupaya menciptakan ekosistem yang mendukung dan berkelanjutan bagi seluruh pelaku industri film pendek,” ujar Direktur Festival MFW10, Edo Wulia, sesaat setelah senja terakhir hilang, kembali ke peraduannya.
Sore itu, di panggung kecil di depan layar besar, Edo duduk berdampingan dengan ketiga rekannya. Di samping kirinya, Fransiska Prihadi, Direktur Program MFW, duduk dengan elegan. Sedang di samping kirinya ada I Made Suarbawa, Direktur Traveling Cinema; dan Ursula Tumiwa, Partnership Director. Mereka berempat adalah sosok di balik MFW.
MFW10 digelar di 17 lokasi berbeda yang tersebar di seluruh Bali. Festival Lounge atau tempat titik temu festival berada di MASH Denpasar. Selebihnya, jika Anda di Kota Denpasar, silakan berkunjung ke Alliance Française Bali, Kebun Berdaya Natah Rare, Dharma Negara Alaya, Double Bee, LSPR Bali, Marmarherrz, Pantai Karang Sanur, Puri Ayu Hotel, Tetuek Sangmong, dan The Rooms.
Selain itu, acara juga akan berlangsung di kabupaten lainnya, seperti Kedai Kopi Dekakiang di Buleleng, Kulidan Kitchen & Space di Gianyar, Desa Adat Pagi di Tabanan, Geo Open Space dan Uma Seminyak di Badung. Pemilihan lokasi-lokasi ini adalah komitmen untuk memproduksi ruang sosial yang dihidupkan oleh budaya sinema yang juga mendorong tindakan sosial.
MFW10 menyikapi ruang tidak melulu dalam artian fisik, sebagaimana Fransiska Prihadi menjelaskan, tetapi juga sebagai wadah interaksi sosial dan budaya. Fransiska mengatakan bahwa upaya ini merupakan bagian dari produksi ruang sosial, di mana ruang dipersepsikan melalui hubungan antara aktivitas sosial, kehidupan pribadi, dan waktu yang melebur dalam budaya sinema.
“Konsep ruang di MFW10 lebih dari sekadar tempat menonton film. Ini adalah upaya kolektif untuk membangun jaringan yang menghubungkan berbagai aktivitas sosial dalam ruang yang dekat dengan keseharian kami,” terang Fransiska.
Salah satu adegan dalam film Sukoun (Amplified) (2023) karya Dina Naser (atas) dan Black Rain in My Eyes (2023) karya Amir Masoud Soheili dan Amir Athar Soheili (bawah) | Foto: tatkala.co/Son
Sedangkan menurut Made Suarbawa, film pendek merupakan medium yang luwes dalam membicarakan berbagai wacana sampai lapisan masyarakat akar rumput, sehingga ia bisa diterima dan menjangkau banyak komunitas. “Dan saya tidak menyangka Minikino Film Week sudah 10 tahun,” sambung lelaki paruh baya yang akrab dipanggil Birus itu.
MFW tahun ini mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan melalui Program Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan Tahun 2024. Menurut Ursula Tumiwa, kehadiran pemerintah mendorong lebih jauh visi dan jangkauan kerja Minikino dan memperkuat kolaborasinya.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, MFW masih berkomitmen terhadap inklusifitas dengan terus memberi ruang kepada mereka yang memiliki “keistimewaan”—untuk tidak mengatakan kekurangan—dalam program MFW10 Inclusive Cinema. Program ini menampilkan serangkaian film pendek yang disesuaikan untuk semua penonton, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
“Kami menyediakan teks deskripsi audio (AD) untuk disabilitas netra dan SDH untuk Tuli,” jelas Fransiska. “Melalui kolaborasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia, Radio Republik Indonesia, dan Minikino Studio, kami memulai gerakan Film Radio yang memungkinkan komunitas disabilitas untuk terlibat secara aktif dalam ekosistem film pendek di Indonesia,” lanjutnya.
Pada pembukaan Minikino Film Week 10 (MFW10) Bali International Short Film Festival 2024, tepatnya di pengujung acara, penyelenggara memutar lima film yang tergabung dalam Opening Program: Short And Sharp. Kelima film pendek tersebut adalah Somni (2023) karya Sonja Rohleder, Sukoun (Amplified) (2023) karya Dina Naser, Black Rain in My Eyes (2023) karya Amir Masoud Soheili dan Amir Athar Soheili, Shallot Salad (2023) karya BW Purbanegara, dan Suli Storyboard (2023) karya Anggun Priambodo.[T]