9 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Prakretaning Dharma Pemaculan”, Potret Ritual dan Problematika Pertanian Bali: Sebuah Pembacaan yang Belum Usai

JaswantobyJaswanto
September 3, 2024
inUlas Pentas
“Prakretaning Dharma Pemaculan”, Potret Ritual dan Problematika Pertanian Bali: Sebuah Pembacaan yang Belum Usai

Pementasan “Prakretaning Dharma Pemaculan” karya Putu Ardiyasa dan STAHN Mpu Kuturan, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri

PANGGUNG gelap. Hanya menyisakan sorot bundar di layar dengan siluet seorang perempuan yang sedang membaca puisi berjudul Jalan Subak yang Menanjak (1997) karya Made Adnyana Ole. Suara perempuan itu patah oleh denging pengeras suara yang barangkali tak diatur dengan baik.

Sedangkan di sisi panggung lainnya suara-suara gamelan khas pedesaan mengiringi beberapa orang yang mengayunkan buyung dan selendang putih di tangan. Tak cukup mengayun-ayunkan, orang-orang itu berdiri dan menari dengan buyung dan selendang tersebut.

Sementara puisi yang dalam, kritis, dan pesimis, itu cukup membuat penonton terdiam, menunggu, apa yang akan terjadi di atas panggung berikutnya. Pembacaan puisi itu, meski dibacakan secara lempeng-lempeng saja, seperti kurang gairah, barangkali bisa disebut semacam strategi untuk memulai pertunjukan sebelum hal-hal mengejutkan terjadi di atas panggung.

Setelah puisi mengalun datar, panggung menjadi gelap total. Nah, di tengah gelap itulah kemudian muncul kerlap-kerlip cahaya putih menyala, seperti kunang-kunang yang terperangkap dalam toples. Dari sedikit bertambah banyak. Dari banyak lenyap tiada.  Musik pengiring yang menenangkan, bersama suara-suara bangau cangak, mendaulat panggung pertunjukan. Penonton tampak mulai merasa lega–mereka seakan diantar ke dunia yang berbeda.

Pementasan “Prakretaning Dharma Pemaculan” karya Putu Ardiyasa dan STAHN Mpu Kuturan, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri

Begitulah potongan awal dari pertunjukan teater dengan tajuk Prakretaning Dharma Pemaculan dari seorang dalang dan akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraja, I Putu Ardiyasa. Karya ini berangkat dari refleksinya atas narasi pertanian dalam lontar Dharma Pemacula.

Dari pembacaannya, Ardiyasa ‘bermain-main’ dengan ritual-ritual suci yang wajib dilakukan oleh para petani klasik Bali. Lebih lanjut, dalang yang kini bermukim di Singaraja ini mengkritisi praktik pertanian kini yang lebih mengandalkan pikiran pragmatis ketimbang nilai-nilai luhur dan keseimbangan alam.

Padahal, dalam Dharma Pemaculan praktik pertanian tidak hanya sekadar rutinitas fisik, gerak, atau, katakanlah, bertahan hidup, melainkan mempunyai filosofi tersendiri pada tiap lakunya. Atas dasar itu, menurut pembacaan saya, Ardiyasa memberikan gambaran setiap praktik pertanian untuk dipelajari secara lebih rasional tapi tetap mempertahankan mistisme dan glorifikasi yang diamini oleh kebanyakan orang Bali.

Lantas dalam mewujudkannya, dalam pengujung pertunjukan, selain menjadi sutradara, suara Putu Ardiyasa juga hadir mengiringi para pemain di atas panggung. Ia seperti merapal mantra atau terdengar seperti seorang yang sedang membaca lontar. Sementara itu, Kadek Anggara Rismandika dan wira Pradana melakukan sentuhan pada tata bunyi dan musik; serta Putu Batria Dama Danayu melakukan penataan gerak, koreografi, para aktor.

Pementasan “Prakretaning Dharma Pemaculan” karya Putu Ardiyasa dan STAHN Mpu Kuturan, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri

Pada karya ini, Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja dan Komunitas Lemah Tulis membantu Ardiyasa dalam hal teknis dan properti. Selain itu, kostum para pemain dalam karya ini diurus oleh Manubada Art Creative Studio. Untuk pementasan, karya ini dipentaskan pada Jumat, 23 Agustus 2024 pada pembukaan Singaraja Literary Festival 2024 di panggung Sasana Budaya, Singaraja, Bali.

Pembacaan yang Buru-Buru

Sebagaimana telah disinggung di atas, Prakretaning Dharma Pemaculan adalah seni pertunjukan yang terinspirasi dari lontar Dharma Pemaculan, salah satu manuskrip yang memuat ajaran suci yang menjadi landasan dalam laku pertanian tradisional Bali. Karya ini berusaha menggali filosofi dan praktik pertanian di Bali, yang menggabungkan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal dalam pengelolaan tanah dan alam, dengan simbol-simbol gerak tarian yang dimainkan aktor di atas panggung dan visual pewayangan.

Cerita dimulai dengan ritual mapag (atau magpag) toya (ritual menjemput air dalam Dharma Pemaculan). Ardi dan Dama memperlihatkan buyung-buyung, selendang putih, dan tarian-tarian kecil yang berputar-putar untuk menggambarkan praktik ritual pertama petani sebelum menanam padi itu. Saya pikir, pembacaan atas gerak ritual tersebut perlu diperkaya lagi. Sebab, pada kenyatannya, mapag toya juga melibatkan arit dan cangkul.   

Pementasan “Prakretaning Dharma Pemaculan” karya Putu Ardiyasa dan STAHN Mpu Kuturan, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri

Tetapi saya sepakat bahwa, sebagaimana telah tercantum dalam sinopsis karya, ritual tersebut adalah bentuk pemujaan kepada Dewi Sri, Dewi Padi dan Kesuburan, yang telah memberikan ajaran-ajaran penting kepada petani mengenai bagaimana cara yang benar dalam memelihara tanah, menanam padi, dan menjaga keseimbangan alam. Menurut Ardi, dalam ajarannya, Dewi Sri menekankan pentingnya harmoni antara manusia, alam, dan roh leluhur, yang semuanya saling terhubung dalam siklus kehidupan yang berkelanjutan.

Setiap adegan dalam karya ini menyoroti ritual-ritual suci yang harus dilakukan oleh para petani, seperti upacara sebelum menanam, perayaan panen, dan doa-doa khusus untuk meminta restu dari para dewa. Ya, pada pertengahan pertunjukan, saya melihat tarian Sanghyang di sana. Empat perempuan terpejam dan berusaha menari melebihi batas tubuhnya—dan dua di antaranya duduk dan berdiri sambil menari di atas bambu yang dirangkai sedemikian rupa. Lainnya berdiri di atas pundak rekannya. Nyanyian, katakanlah, Sanghyang dan genta mengiringi mereka menari.

Sanghyang erat kaitannya dengan masyarakat agraris di Bali. Kemunculannya dikaitkan dengan hasil panen para petani. Dalam pertunjukkan Membaca Sanghyang karya Wayan Sumahardika, misalnya, Jro I Nyoman Subrata mengatakan bahwa fungsi Sanghyang bagi masyarakat Bali—khususnya Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem—dianggap sebagai ritual, selain menolak bala, juga mencegah hama pertanian seperti wereng, walang sangit, burung, dll.

Selain itu, Prakretaning Dharma Pemaculan juga menggambarkan bagaimana ajaran Dharma Pemaculan mengajarkan para petani untuk selalu bersyukur dan menjaga keharmonisan antara aktivitas manusia dengan alam, sehingga hasil panen bisa melimpah dan berkah dapat terus mengalir.

Pementasan “Prakretaning Dharma Pemaculan” karya Putu Ardiyasa dan STAHN Mpu Kuturan, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri

Dan ini yang ingin saya soroti lebih lanjut. Dikatakan dalam sinopsis pertunjukan, konflik dalam cerita muncul ketika petani mulai melanggar ajaran-ajaran leluhur dengan tidak memperhatikan keseimbangan alam, tapi hanya mengutamakan penghasilan besar (pragmatis-materialis). Akibatnya, bencana pun datang, seperti gagal panen, hama yang menyerang, dan cuaca yang tidak bersahabat.

Hal di atas tak sepenuhnya benar. Saya pikir itu bukan semata-mata salah petani yang melanggar ajaran, lebih daripada itu, ini juga berkaitan dengan jiwa zaman yang tidak mau tahu, atau memilih berpaling perihal ajaran tersebut. Ada peran pihak lain—yang lebih mengerikan, tentu saja—yang mengakibatkan ‘bencana’ itu terjadi.

Lihatlah kebijakan Orde Baru perihal Revolusi Hijau yang merusak banyak tatanan itu. Dan itu pula yang menjadi penyebab padi bali tersingkir perlahan dari sawah-sawah orang Bali. Perihal ini, saya pikir sutradara tidak cukup sabar untuk melakukan pembacaan kausalitas kenapa bencana itu bisa terjadi.

Namun, saya memaklumi, pembacaan memang tak bisa dilakukan semendalam itu. Ada “pekerjaan rumah” yang masih harus dilakukan untuk membuat teater ini menjadi benar-benar sampai “pertunjukan konflik” yang sesungguh, agar, tentu saja, tak semata menampilkan eksotisme masa lalu. Artinya, pertunjukan ini bisa jauh lebih bagus, dengan catatan klompok dari STAHN Mpu Kuturan dan Komunitas Lemah Tulis ini “tidak bubar” setelah pentas. Mereka harus melakukan pencarian-pencarian lagi, dan dengan begitu, bukannya tidak mungkin kelompok ini akan menjadi kelompok teater paling mapan dalam dunia teater, khususnya di Bali Utara.

Pertunjukan pada malam pembukaan Singaraja Literary Festival 2024 bisa dijadikan awal mula gairah kreatif, dan tentu saja tidak apa-apa jika masih terdapat kekuarangan. Apalagi pertunjukan itu memang dilalui dalam proses yang singkat. Menurut saya tidak adil menghakimi sebuah karya yang dikerjakan dengan sangat singkat tapi dituntut untuk ini-itu. Menjadi sebuah tontonan yang menarik saja sudah cukup, tanpa perlu dibebani dengan muatan narasi kritis atau simbol-simbol gerak yang memang menggambarkan ritual aslinya.

Sebagai sebuah tontonan, pertunjukan Prakretaning Dharma Pemaculan itu tentu saja bisa disebut berhasil. Ada banyak hal yang bisa menarik hati dan mata penonton untuk tetap menatap ke atas panggung. Ini tentu saja karena para pemain di atas panggung, secara fisik, menampilkan pola-pola gerakan yang bisa disebut mendekati sempurna. Modal utama hampir semua pemain adalah kekuatan mereka sebagai penari. Kekuatan inilah yang disadari oleh sutradara, sehingga gerak di atas panggung dijadikan materi utama untuk menyihir penonton. Itu, sekali lagi, memang berhasil.

Meskipun dalam telaah seni pertunjukan—apakah bentuknya kita sebut “naskah” atau “simbolisasi melalui gerak”, misalnya—, tidak cukup membutuhkan imajinasi, tetapi juga ketajaman pembacaan, kecocokan pendekatan (teoretis), dan tidak boleh dilupakan: keterampilan menulis. Saya pikir itu penting untuk dipertimbangkan.[T]

Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole

BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024

Tabuhan 4/4 Luh: Narasi Perlawanan dari Dua Naskah tentang Perempuan
Tambal Sulam Ekranisasi Teks Lama ke Film
Tribute to Cok Sawitri: Merawat Ingatan, Mengalirkan Pengetahuan
Jam Session Kolaborasi 9 Seniman Bali Utara di Singaraja Literary Festival 2024
Tags: Dharma PemaculanSingaraja Literary FestivalSingaraja Literary Festival 2024STAHN Mpu Kuturan
Previous Post

Sumur Peradaban Itu Bernama “Suukan”

Next Post

Menulis Menjadi Media Terapi

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Menulis Menjadi Media Terapi

Menulis Menjadi Media Terapi

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

ORANG BALI AKAN LAHIR KEMBALI DI BALI?

by Sugi Lanus
May 8, 2025
0
PANTANGAN MENGKONSUMSI ALKOHOL DALAM HINDU

— Catatan Harian Sugi Lanus, 8 Mei 2025 ORANG Bali percaya bahkan melakoni keyakinan bahwa nenek-kakek buyut moyang lahir kembali...

Read more

Di Balik Embun dan Senjakala Pertanian Bali: Dilema Generasi dan Jejak Penanam Terakhir

by Teguh Wahyu Pranata,
May 7, 2025
0
Di Balik Embun dan Senjakala Pertanian Bali: Dilema Generasi dan Jejak Penanam Terakhir

PAGI-pagi sekali, pada pertengahan April menjelang Hari Raya Galungan, saya bersama Bapak dan Paman melakukan sesuatu yang bagi saya sangat...

Read more

HINDU MEMBACA KALIMAT SYAHADAT

by Sugi Lanus
May 7, 2025
0
HINDU MEMBACA KALIMAT SYAHADAT

— Catatan Harian Sugi Lanus, 18-19 Juni 2011 SAYA mendapat kesempatan tak terduga membaca lontar koleksi keluarga warga Sasak Daya (Utara) di perbatasan...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng
Khas

“Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

DULU, pada setiap Manis Galungan (sehari setelah Hari Raya Galungan) atau Manis Kuningan (sehari setelah Hari Raya Kuningan) identik dengan...

by Komang Yudistia
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

Poleng | Cerpen Sri Romdhoni Warta Kuncoro

May 3, 2025
Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

Puisi-puisi Muhammad Rafi’ Hanif | Kenang-Kenangan Seorang Mahasiswa

May 3, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co