PANGGUNG gelap. Hanya menyisakan sorot bundar di layar dengan siluet seorang perempuan yang sedang membaca puisi berjudul Jalan Subak yang Menanjak (1997) karya Made Adnyana Ole. Suara perempuan itu patah oleh denging pengeras suara yang barangkali tak diatur dengan baik.
Sedangkan di sisi panggung lainnya suara-suara gamelan khas pedesaan mengiringi beberapa orang yang mengayunkan buyung dan selendang putih di tangan. Tak cukup mengayun-ayunkan, orang-orang itu berdiri dan menari dengan buyung dan selendang tersebut.
Sementara puisi yang dalam, kritis, dan pesimis, itu cukup membuat penonton terdiam, menunggu, apa yang akan terjadi di atas panggung berikutnya. Pembacaan puisi itu, meski dibacakan secara lempeng-lempeng saja, seperti kurang gairah, barangkali bisa disebut semacam strategi untuk memulai pertunjukan sebelum hal-hal mengejutkan terjadi di atas panggung.
Setelah puisi mengalun datar, panggung menjadi gelap total. Nah, di tengah gelap itulah kemudian muncul kerlap-kerlip cahaya putih menyala, seperti kunang-kunang yang terperangkap dalam toples. Dari sedikit bertambah banyak. Dari banyak lenyap tiada. Musik pengiring yang menenangkan, bersama suara-suara bangau cangak, mendaulat panggung pertunjukan. Penonton tampak mulai merasa lega–mereka seakan diantar ke dunia yang berbeda.
Pementasan “Prakretaning Dharma Pemaculan” karya Putu Ardiyasa dan STAHN Mpu Kuturan, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Begitulah potongan awal dari pertunjukan teater dengan tajuk Prakretaning Dharma Pemaculan dari seorang dalang dan akademisi STAHN Mpu Kuturan Singaraja, I Putu Ardiyasa. Karya ini berangkat dari refleksinya atas narasi pertanian dalam lontar Dharma Pemacula.
Dari pembacaannya, Ardiyasa ‘bermain-main’ dengan ritual-ritual suci yang wajib dilakukan oleh para petani klasik Bali. Lebih lanjut, dalang yang kini bermukim di Singaraja ini mengkritisi praktik pertanian kini yang lebih mengandalkan pikiran pragmatis ketimbang nilai-nilai luhur dan keseimbangan alam.
Padahal, dalam Dharma Pemaculan praktik pertanian tidak hanya sekadar rutinitas fisik, gerak, atau, katakanlah, bertahan hidup, melainkan mempunyai filosofi tersendiri pada tiap lakunya. Atas dasar itu, menurut pembacaan saya, Ardiyasa memberikan gambaran setiap praktik pertanian untuk dipelajari secara lebih rasional tapi tetap mempertahankan mistisme dan glorifikasi yang diamini oleh kebanyakan orang Bali.
Lantas dalam mewujudkannya, dalam pengujung pertunjukan, selain menjadi sutradara, suara Putu Ardiyasa juga hadir mengiringi para pemain di atas panggung. Ia seperti merapal mantra atau terdengar seperti seorang yang sedang membaca lontar. Sementara itu, Kadek Anggara Rismandika dan wira Pradana melakukan sentuhan pada tata bunyi dan musik; serta Putu Batria Dama Danayu melakukan penataan gerak, koreografi, para aktor.
Pementasan “Prakretaning Dharma Pemaculan” karya Putu Ardiyasa dan STAHN Mpu Kuturan, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Pada karya ini, Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja dan Komunitas Lemah Tulis membantu Ardiyasa dalam hal teknis dan properti. Selain itu, kostum para pemain dalam karya ini diurus oleh Manubada Art Creative Studio. Untuk pementasan, karya ini dipentaskan pada Jumat, 23 Agustus 2024 pada pembukaan Singaraja Literary Festival 2024 di panggung Sasana Budaya, Singaraja, Bali.
Pembacaan yang Buru-Buru
Sebagaimana telah disinggung di atas, Prakretaning Dharma Pemaculan adalah seni pertunjukan yang terinspirasi dari lontar Dharma Pemaculan, salah satu manuskrip yang memuat ajaran suci yang menjadi landasan dalam laku pertanian tradisional Bali. Karya ini berusaha menggali filosofi dan praktik pertanian di Bali, yang menggabungkan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal dalam pengelolaan tanah dan alam, dengan simbol-simbol gerak tarian yang dimainkan aktor di atas panggung dan visual pewayangan.
Cerita dimulai dengan ritual mapag (atau magpag) toya (ritual menjemput air dalam Dharma Pemaculan). Ardi dan Dama memperlihatkan buyung-buyung, selendang putih, dan tarian-tarian kecil yang berputar-putar untuk menggambarkan praktik ritual pertama petani sebelum menanam padi itu. Saya pikir, pembacaan atas gerak ritual tersebut perlu diperkaya lagi. Sebab, pada kenyatannya, mapag toya juga melibatkan arit dan cangkul.
Pementasan “Prakretaning Dharma Pemaculan” karya Putu Ardiyasa dan STAHN Mpu Kuturan, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Tetapi saya sepakat bahwa, sebagaimana telah tercantum dalam sinopsis karya, ritual tersebut adalah bentuk pemujaan kepada Dewi Sri, Dewi Padi dan Kesuburan, yang telah memberikan ajaran-ajaran penting kepada petani mengenai bagaimana cara yang benar dalam memelihara tanah, menanam padi, dan menjaga keseimbangan alam. Menurut Ardi, dalam ajarannya, Dewi Sri menekankan pentingnya harmoni antara manusia, alam, dan roh leluhur, yang semuanya saling terhubung dalam siklus kehidupan yang berkelanjutan.
Setiap adegan dalam karya ini menyoroti ritual-ritual suci yang harus dilakukan oleh para petani, seperti upacara sebelum menanam, perayaan panen, dan doa-doa khusus untuk meminta restu dari para dewa. Ya, pada pertengahan pertunjukan, saya melihat tarian Sanghyang di sana. Empat perempuan terpejam dan berusaha menari melebihi batas tubuhnya—dan dua di antaranya duduk dan berdiri sambil menari di atas bambu yang dirangkai sedemikian rupa. Lainnya berdiri di atas pundak rekannya. Nyanyian, katakanlah, Sanghyang dan genta mengiringi mereka menari.
Sanghyang erat kaitannya dengan masyarakat agraris di Bali. Kemunculannya dikaitkan dengan hasil panen para petani. Dalam pertunjukkan Membaca Sanghyang karya Wayan Sumahardika, misalnya, Jro I Nyoman Subrata mengatakan bahwa fungsi Sanghyang bagi masyarakat Bali—khususnya Desa Adat Geriana Kauh, Karangasem—dianggap sebagai ritual, selain menolak bala, juga mencegah hama pertanian seperti wereng, walang sangit, burung, dll.
Selain itu, Prakretaning Dharma Pemaculan juga menggambarkan bagaimana ajaran Dharma Pemaculan mengajarkan para petani untuk selalu bersyukur dan menjaga keharmonisan antara aktivitas manusia dengan alam, sehingga hasil panen bisa melimpah dan berkah dapat terus mengalir.
Pementasan “Prakretaning Dharma Pemaculan” karya Putu Ardiyasa dan STAHN Mpu Kuturan, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Dan ini yang ingin saya soroti lebih lanjut. Dikatakan dalam sinopsis pertunjukan, konflik dalam cerita muncul ketika petani mulai melanggar ajaran-ajaran leluhur dengan tidak memperhatikan keseimbangan alam, tapi hanya mengutamakan penghasilan besar (pragmatis-materialis). Akibatnya, bencana pun datang, seperti gagal panen, hama yang menyerang, dan cuaca yang tidak bersahabat.
Hal di atas tak sepenuhnya benar. Saya pikir itu bukan semata-mata salah petani yang melanggar ajaran, lebih daripada itu, ini juga berkaitan dengan jiwa zaman yang tidak mau tahu, atau memilih berpaling perihal ajaran tersebut. Ada peran pihak lain—yang lebih mengerikan, tentu saja—yang mengakibatkan ‘bencana’ itu terjadi.
Lihatlah kebijakan Orde Baru perihal Revolusi Hijau yang merusak banyak tatanan itu. Dan itu pula yang menjadi penyebab padi bali tersingkir perlahan dari sawah-sawah orang Bali. Perihal ini, saya pikir sutradara tidak cukup sabar untuk melakukan pembacaan kausalitas kenapa bencana itu bisa terjadi.
Namun, saya memaklumi, pembacaan memang tak bisa dilakukan semendalam itu. Ada “pekerjaan rumah” yang masih harus dilakukan untuk membuat teater ini menjadi benar-benar sampai “pertunjukan konflik” yang sesungguh, agar, tentu saja, tak semata menampilkan eksotisme masa lalu. Artinya, pertunjukan ini bisa jauh lebih bagus, dengan catatan klompok dari STAHN Mpu Kuturan dan Komunitas Lemah Tulis ini “tidak bubar” setelah pentas. Mereka harus melakukan pencarian-pencarian lagi, dan dengan begitu, bukannya tidak mungkin kelompok ini akan menjadi kelompok teater paling mapan dalam dunia teater, khususnya di Bali Utara.
Pertunjukan pada malam pembukaan Singaraja Literary Festival 2024 bisa dijadikan awal mula gairah kreatif, dan tentu saja tidak apa-apa jika masih terdapat kekuarangan. Apalagi pertunjukan itu memang dilalui dalam proses yang singkat. Menurut saya tidak adil menghakimi sebuah karya yang dikerjakan dengan sangat singkat tapi dituntut untuk ini-itu. Menjadi sebuah tontonan yang menarik saja sudah cukup, tanpa perlu dibebani dengan muatan narasi kritis atau simbol-simbol gerak yang memang menggambarkan ritual aslinya.
Sebagai sebuah tontonan, pertunjukan Prakretaning Dharma Pemaculan itu tentu saja bisa disebut berhasil. Ada banyak hal yang bisa menarik hati dan mata penonton untuk tetap menatap ke atas panggung. Ini tentu saja karena para pemain di atas panggung, secara fisik, menampilkan pola-pola gerakan yang bisa disebut mendekati sempurna. Modal utama hampir semua pemain adalah kekuatan mereka sebagai penari. Kekuatan inilah yang disadari oleh sutradara, sehingga gerak di atas panggung dijadikan materi utama untuk menyihir penonton. Itu, sekali lagi, memang berhasil.
Meskipun dalam telaah seni pertunjukan—apakah bentuknya kita sebut “naskah” atau “simbolisasi melalui gerak”, misalnya—, tidak cukup membutuhkan imajinasi, tetapi juga ketajaman pembacaan, kecocokan pendekatan (teoretis), dan tidak boleh dilupakan: keterampilan menulis. Saya pikir itu penting untuk dipertimbangkan.[T]
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024