SEORANG presentator mempersilakan penonton untuk merapat mendekati lantai pertunjukan, sangat dekat, nyaris tanpa sekat. Ia menyapa semuanya dengan basa-basi dan beberapa informasi. Tak cukup hanya meminta penonton duduk manis menikmati pertunjukan, presentator itu pula meminta penonton turut serta, melibatkan diri, membaca naskah yang akan dibacakan oleh para pemain—ia menyebutnya rekan-rekan saya.
Saat presentator panjang-lebar menjelaskan bahwa naskah yang akan dipentaskan adalah karya penulis generasi Y yang berupaya untuk mendekonstruksi dongeng dan mitologi Ni Tuung Kuning dan Luhiyang—dua tokoh fiktif yang dihadirkan dua penulis perempuan dari Bali dan Jawa—sebagai pijakan atas keberlangsungan plot untuk menyadarkan, merefleksikan, dan mengusik pemahaman kita hari ini tentang posisi perempuan dan menerangkan pengertian mitos dan legenda menurut tokoh-tokoh Barat, satu persatu aktor (pembaca naskah) memasuki panggung dan duduk di kursi properti yang telah ditata sedemikian rupa.
Musik terdengar mencekam, seorang penari—salah satu aktor yang duduk di kursi tadi—bergerak mengelilingi panggung, seolah menyihir pemain lain untuk berpindah, berdiri di atas kursi. Tak berselang lama, kursi-kursi itu dirobohkan satu persatu dengan penuh perhitungan. Pembaca melantunkan melodi dengan kata pecah, pedih, persis—sebuah acapella yang mencekam. Alih-alih suara tersebut terpisah satu sama lain, suara alunan kata tersebut justru beriringan dengan narasi lain yang mengiringinya.
Menyita perhatian agaknya menjadi frasa yang tepat pada pertunjukan bertajuk Tabuhan 4/4 Luh karya Tamimi Rutjita dan Kelompok Pojok ini. Pasalnya, pertunjukan yang dipentaskan pada gelaran Singaraja Literary Festival 2024 (24/8/2024) ini membuka ruang pembacaan drama lintas media yang menarik. Di mana dua judul naskah, dua kisah, dari dua perempuan yang berbeda wilayah—Wulan Dewi Saraswati (Bali) dan Dyah Ayu (Jawa)—digabungkan menjadi sebuah naskah baru. Hal ini menjadi persilangan unik, mengingat, sependek pengetahuan saya, satu naskah pertunjukan lazimnya dipentaskan sendiri-sendiri secara terpisah.
Pementasan “Tabuhan 4/4 Luh” karya Tamimi Rutjita dan Kelompok Pojok, 24 Agustus 2024, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Dari pertemuan antara Pararatoning Luh (karya Dyah Ayu) dan Tabuhan (karya Wulan Dewi) ini, Tabuhan 4/4 Luh menjelma menjadi ruang dialog yang produktif. Namun, bukan karena pertunjukan tersebut berisi banyak dialog antartokoh, melainkan menjadi wahana bicara atas kegelisahan untuk melawan kemapanan dan mengangkat persoalan kehidupan perempuan yang masih dianggap sebelah mata, juga ‘terpinggirkan’.
Atas dasar itulah, saya pikir, Tamimi sengaja membumbuinya narasi menggali lebih dalam melalui kajian terhadap disertasi Titi Surti Nastiti yang telah dibukukan pada 2016 dengan judul “Kedudukan dan Peranan Perempuan dalam Masyarakat Jawa Kuna (Abad VIII-XV Masehi)”. Lantas, ‘gabungan’ kedua naskah ini membuahkan pertunjukan yang menarik, baik secara visual, aural, maupun esensial.
Sebagaimana penjelasan yang tercantum dalam booklet pertunjukan, Tabuhan 4/4 Luh adalah sebuah karya yang telah berjalan cukup lama. Selama empat tahun terakhir, karya ini telah dipentaskan di berbagai kota yang dianggap sebagai sumber folklor yang dibahas dalam naskah, seperti Jakarta, Malang, dan Lombok—dan terakhir di Singaraja, Bali. Awalnya, dua naskah terpisah dipresentasikan dalam pembacaan dramatik Kalampuan secara daring. Namun, setelah menemukan kesamaan tema antara kedua naskah tersebut, beberapa plot kemudian dikurasi dan dirangkai menjadi sebuah ceramah dan pembacaan bersama.
Masih dari sumber yang sama, Tabuhan 4/4 Luh merupakan pembacaan drama lintas media yang menggabungkan dua naskah, seperti yang telah disinggung di atas, dari dua penulis dengan latar belakang berbeda. Naskah pertama, Pararatoning Luh, mengejawantahkan sosok mitologis Ken Dedes dalam setting modern. Sementara itu, naskah kedua, Tabuhan, merekonstruksi takdir kosmis Ni Tuung Kuning dari folklor Bali.
Peran Ganda
Seingat saya, ada 10 chapter dalam Tabuhan 4/4 Luh, yang masing-masing silih berganti mengisahkan bagaimana Luhiyang dan Ni Tuung Kuning ‘melawan’ ketidakberdayaannya sendiri. Alhasil, kita seperti menonton dua cerita dalam satu panggung pertunjukan secara bersamaan. Tetapi perpindahan dari satu kisah ke kisah lainnya dikemas dengan sangat halus, seolah nyambung satu sama lain, dan aktor—pembaca naskah—juga dengan santai saja sekejap menjelma-rupa menjadi banyak tokoh—multiperan.
Pementasan “Tabuhan 4/4 Luh” karya Tamimi Rutjita dan Kelompok Pojok, 24 Agustus 2024, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Untuk itu saya tak segan-segan mengangkat topi kepada Indian Akbar, Magda Julia, Renold Pakpahan, Haris S, dan Dewi Sutjianti yang dengan baik menjalankan tugasnya sebagai penampil. Lihatlah, mereka tak hanya memerankan satu tokoh, tapi banyak—saya lupa pastinya.
Mereka menjadi orang satu, dua, tiga, dan empat. Sekejap menjelma batang, lalu Banaspati, Banaspati Raja, Prajapati, dan Anggapati. Oh Tuhan, sekarang Indian Akbar bahkan sudah jadi Jataka yang mengobrol dengan Luhiyang. Dan apalagi ini, sesaat setelah satu chapter Jataka dan Luhiyang selesai, Dewi, Haris, dan Renold sudah berubah menjadi Vagina, Teratai, dan Hantu—pula saling bercakap-cakap dan membuat penonton terbahak.
Malam itu, di Sasana Budaya, Singaraja, dari chapter 1 sampai pementasan berakhir, aktor silih berganti peran. Mereka hanya berlima, tapi peran yang harus dimainkan lebih daripada itu. Ya, tak perlu menjadi pemerhati seni pertunjukan untuk mengetahui bahwa setiap pemeran dalam Tabuhan 4/4 Luh memiliki kemampuan ganda. Di samping memiliki keterampilan dalam membawakan peran tokoh lakon dalam cerita, mereka juga terampil dalam bernyanyi, menari, monolog, dan memahami iringan musik.
Pementasan “Tabuhan 4/4 Luh” karya Tamimi Rutjita dan Kelompok Pojok, 24 Agustus 2024, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Nino Bukir, selain sebagai presentator, pula bertanggungjawab atas iringan musik. Renold Pakpahan juga demikian. Ia pembaca sekaligus stage manager. Dan Magda Julia dalam Tabuhan 4/4 Luh belakangan saya ketahui ternyata juga menjelma sebagai asisten sutradara. Iqbal Samudra, produser pertunjukan tersebut, bahkan ikut turun tangan di panggung pementasan meski perannya hanya sebagai sempilan dalam satu chapter.
Tabuhan 4/4 Luh yang dipentaskan di Singaraja malam itu tentu berbeda dari pementasan-pementasan sebelumnya. Pada kanal Kelompok Pojok di YouTube saya menonton naskah ini dipentaskan dengan lebih banyak orang dan kursi-kursi properti yang digunakan pula jauh lebih banyak. Saya tidak tahu pasti alasan mengenai perbedaan tersebut. Entah ini berkaitan dengan efektivitas banyak hal atau Tamimi—atau dalam hal ini Kelompok Pojok—sedang mencari format, katakanlah, ideal untuk mementaskan naskah ini. Saya tidak tahu.
Tetapi, terlepas dari peran ganda tersebut, sekali lagi, saya menaruh kekaguman pada mereka, khususnya para pembaca, pemeran, aktor, atau semacamnya atau apalah sebutannya. Saya merasa mereka seperti lempung yang bisa—dan siap—dibentuk menjadi apa saja. Artinya, mereka mampu menjadi media melalui kepekaan; tubuh, rasa, dan suara dalam membawakan peran dari tuntutan lakon (cerita) yang diekspresikan secara estetis melalui simbol atau lambang audio (suara, kata-kata), visual (gerak tubuh), dan penjiwaan (penghayatan peran) di atas pentas.
Saya tak tahu banyak mengenai seni pertunjukan. Tapi saya percaya bahwa dalam seni peran terdapat takaran atau ukuran dalam menciptakan irama permainan; apakah pemeran lebih mengarah pada “over acting”, “under acting” dari takaran yang seharusnya, sehingga irama permainan menjadi monoton, tidak berkembang, menjemukan, membosankan lawan main, dan penonton. Tapi dalam Tabuhan 4/4 Luh hal tersebut seperti tidak terjadi. Setiap pemeran, menurut awam saya, bersandiwara dalam takaran yang pas—kalau bukan sempurna.
Narasi Perlawanan Perempuan
Bukan tanpa sebab Tamimi memadukan antara Pararatoning Luh dan Tabuhan. Saya pikir, bagi dirinya, sebagaimana telah dijelaskan dalam booklet pertunjukan tersebut, kedua naskah sama-sama memiliki kesamaan tema, yakni perempuan dan perlawanan, sebutlah, penindatas atasnya. Di mana tokoh pertama adalah aktor kunci dalam huru-hara Tumapel—Ken Dedes. Bagaimana ia menjadi sosok validasi atas segala yang kuat dan kuasa. Sementara tokoh kedua—Ni Tuung Kuning—menerobos melintasi ruang dan waktu untuk memperbaiki kisah hidupnya.
Pementasan “Tabuhan 4/4 Luh” karya Tamimi Rutjita dan Kelompok Pojok, 24 Agustus 2024, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Kelompok Pojok—atau Tamimi—mencoba melakukan pemaknaan ulang tentang apa itu kesataran, dan apakah dalam praktiknya manusia—dengan ragam identitas gender—sebagai entitas sama-sama telah mendapat kesempatan yang mereta di masa lalu dan masa kini? Dua hal tersebut terus berdengung dan berkelindan dengan realitas peradaban kontemporer.
Tabuhan 4/4 Luh mengajak penonton untuk berpartisipasi aktif dalam pembacaan dramatik dengan teori dan representasi folklor sebagai pisau analisis. Penonton dan aktor juga menguji satu hipotesis: “Apakah teks hanya menjadi alat untuk memperkuat relasi kuasa bagi si pemenang yang menuliskan cerita?”
Dalam naskah tersebut, Tamimi, Dyah, dan Wulan sama-sama berupaya melawan penindasan berbasis gender dalam norma sosial. Melawan apa yang menjadi hambatan untuk menyatakan dirinya sebagai manusia yang utuh. Kisah Ni Tuung Kuning mengingatkan saya akan zaman jahiliyah di mana beberapa kabilah gurun pasir di jazirah Arab yang tak sudi—bahkan aib—mempunyai seorang anak perempuan.
Pada zaman kebodohan itu anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup oleh ayah kandung mereka sendiri—seperti I Pudak yang tak menginginkan kelahiran Ni Tuung Kuning. “… jika perempuan, bunuh saja, cincang, dan bagikan kepada ayam-ayamku secara merata,” ucap Pudak kepada istrinya sebelum Kuning lahir.
Pementasan “Tabuhan 4/4 Luh” karya Tamimi Rutjita dan Kelompok Pojok, 24 Agustus 2024, serangkaian Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Sampai di sini, saya teringat diskusi dengan seorang dosen sosiologi, I Gusti Made Arya Suta Wirawan, pada suatu petang saat saya masih menjadi mahasiswa—yang kemudian hasil diskusi tersebut ia tulis menjadi esai berjudul Melampaui Domestikasi Perempuan (2017). Tidak bisa dimungkiri, katanya, bahwa sejarah peradaban manusia didominasi oleh peradaban patriarki. Peradaban ini telah menggiring dan menjadikan perempuan tak ubahnya sebuah properti.
Sebagai sebuah properti kebudayaan, perempuan ‘dituntut’ agar tumbuh berkembang sesuai kehendak laki-laki. Sedangkan Laki-laki dianggap memiliki otoritas mutlak dalam menentukan spesifikasi terhadap pembentukan fisik dan moral perempuan. Hal tersebut seolah-olah mengisyaratkan perempuan sebagai sosok yang tidak mampu membentuk kebudayaannya sendiri.
Yang lebih mengerikan, lanjut Arya, peradaban menganggap bahwa kesadaran perempuan tidak lebih dari kesadaran laki-laki itu sendiri. Sebuah kesadaran yang telah—meminjam istilah Arya Suta—“terkamuflase” baik secara kognitif maupun psikologis. Dengan kata lain, ketika perempuan dianggap mampu mendefinisikan dirinya, baik itu sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai seorang gadis anggun yang lihai dan sopan bertutur kata, berbusana tertutup, dan segala hal tentang dirinya, ternyata tidak lebih dari hasil konstruksi dan konsensus peradaban patriarki.
Para pemain dan tim produksi bersama kru Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Kaum feminis mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah laki-laki. Semua basis kehidupan dibentuk lewat fondasi maskulinitas. Sebagaimana Aristoteles menyebut perempuan sebagai “laki-laki yang tidak lengkap”. Publik adalah muara laki-laki. Menurut Arya, segala hal yang publik bisa mengintervensi yang domestik, tetapi tidak sebaliknya, dan prinsip ini menjadi dasar berpikir laki-laki dalam menempatkan perempuan sebagai gender nomor dua—atau yang oleh Simon de Beauvoir disebut dengan istilah The Second Sex.
Terlepas dari catatan konteks tersebut, bagi saya, Tabuhan 4/4 Luh adalah perlawanan atas kemapanan narasai yang diulang-ulang dalam mitologi atau dongeng. Dalam hal ini, padanan ‘nasib’ dan gabungan kedua naskah ini dirasa dapat memberikan satu pesan yang sama, yakni perlawanan. Tapi hal yang lebih menarik adalah, perlawanan atau meng-counter kemapanan ini tidak diposisikan sebagai wahana balas dendam, namun sebagai ruang refleksi dan dialog untuk pelbagai hal yang lebih aktual dan kontekstual.[T]
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024