PAGI dan sore hari, di belakang gedung Sasana Budaya, di samping kanan gerbang masuk Museum Buleleng, anak-anak usia TK dan SD bergerombol, duduk lesehan di tikar sederhana yang digelar di sana. Di depan masing-masing anak terdapat meja lipat berbagai ukuran. Dan beberapa anak cukup rela berbagi meja.
Anak-anak yang kini sedang melipat-lipat kertas warna-warni menjadi burung yang cantik itu (mereka sedang belajar origami), berasal dari berbagai penjuru. Mereka tidak hanya orang Singaraja, tapi juga banyak dari luar negeri. Lihatlah, bule-bule kecil itu membaur begitu saja dengan anak-anak pribumi seusianya. Mereka seolah telah menciptakan dunianya sendiri—dunia tanpa diskriminasi satu sama lain.
Seorang anak terlihat kebingungan. Tampaknya ia tak mengerti lipatan berikutnya. Dia mencoba menoleh ke samping untuk mendapat jawaban, tapi teman di sampingnya juga tak bisa. Mereka berdua tertawa. Beruntung, perempuan muda yang sedari tadi berdiri di depan anak-anak sambil memeragakan tahapan lipatan itu, turun tangan. Dengan sabar ia memperlihatkan kepada manusia-manusia kecil itu bagaimana cara melipat kertas yang baik dan benar.
Anak-anak sedang menempel burung-burung kertas di Free Kids Corner Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Seekor burung kertas lahir dari tangan mungil seorang bocah perempuan manis yang duduk di depan, dekat dengan orang-orang yang mengajarinya. Ia bersorak gembira. Disahut anak-anak lain yang juga telah menyelesaikan tugas mahaberat itu. Suasana menjadi gaduh. Bapak-ibu yang duduk di dekat mereka wajahnya berseri-seri sambil menyalakan kamera gawai masing-masing.
“Kalau burungnya sudah jadi, silakan ditempel di kertas itu ya!” seru perempuan muda yang kini sudah berdiri di depan anak-anak sambil menunjuk kertas manila biru yang digelar tanpa alas di paving block belakang Sasana Budaya. Di atas kertas itu tertulis dengan tinta spidol kuning: Jangan kwawatir karena penciptamu memperhatikanmu. Benar. Kwawatir, bukan khawatir. Dan burung-burung kertas warna-warni itu kemudian mengelilingi kredo yang salah tulis itu.
Mercy Jane Lumempouw, perempuan muda yang mengajarkan origami itu, dengan keceriaan berlebih, membimbing dan memastikan anak-anak menempel hasil karyanya dengan benar. Rupanya ia tak sendiri. Monika King, yang berusia lebih tua dari Jane, dengan senang hati membantu menertibkan anak-anak.
Anak-anak sedang bersiap belajar dan bermain di Free Kids Corner Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Sore itu, sekali lagi, di belakang Sasana Budaya, menjelma dunia anak yang ramah dan menyenangkan. Ruang anak ini dibikin oleh Jane dan Monika bersama teman-temannya. Kegiatan yang bertajuk “Free Kids Corner” ini merupakan bagian dari Singaraja Literary Festival 2024. Dalam program tersebut anak-anak dapat mendengarkan dongeng, bermain games, mewarnai, bernyanyi, belajar menulis cerita, dan membuat origami. Kegiatan ini tidak dipungut biaya sepeser pun. Penyelenggara hanya mengimbau untuk membawa meja lipat masing-masing.
Jane dan Monika hanya sukarelawan sebenarnya. Penggagas program ini tak mau disebutkan namanya. Tetapi yang jelas, program ini, sekali lagi, menjadi bagian dalam SLF 2024. Jane dari Manado, kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja, Bali. Sedangkan Monika seorang ibu rumah tangga yang berasal dari Bandung yang kini tinggal di Singaraja. Keduanya mengaku sangat senang dengan kegiatan bersama anak-anak.
“Ini program dadakan. Setelah berkomunikasi dengan Bu Sonia [Kadek Sonia Piscayanti, Direktur SLF], kami langsung sebarkan pamflet dan ternyata banyak yang daftar,” ujar Mercy Jane seusai kegiatan, Sabtu (24/8/2024) sore. Selain mengajari anak-anak seni melipat kertas, Jane juga membacakan dongeng tentang jalak bali yang dilindungi. “Itu supaya anak-anak juga tahu kondisi jalak bali sekarang,” jelasnya.
Anak-anak sedang belajar origami di Free Kids Corner Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Hadirnya ruang anak seperti yang digerakkan Jane dan kawan-kawannya menjadi bukti bahwa Singaraja Literary Festival dapat diakses segala umur. Bukan hanya orang dewasa saja yang memiliki hak berpartisipasi, ikut-serta dalam festival, tapi anak-anak juga berhak. Belakangan ini, beberapa festival di Indonesia memang sudah memerhatikan ruang-ruang yang ramah anak dengan menyediakan tempat penitipan anak dan area bermain untuk anak-anak, sehingga orang tua tak khawatir membawa buah hati mereka.
Eti Noviyanti, seorang ibu dan guru di SMKN 1 Seririt, sepulang mengajar langsung mengantarkan anaknya untuk ikut-serta dalam kegiatan “Free Kids Corner” ini. Ia mengaku mengetahui informasi program ini dari sebuah grup WA les bahasa Mandarin Undiksha—tempat anaknya belajar bahasa tersebut. Eti, saking senangnya mendapati program ini, menemani anaknya sampai selesai. “Pulang ngajar, siap-siap, langsung berangkat ke sini, tanpa istirahat,” kata Eti sembari tersenyum dan mengawasi gerak-gerik anaknya.
Menurut Eti, sejak kecil putrinya sudah suka membaca dan menulis. Oleh sebab itu, pada saat mendapat pamflet “Free Kids Corner”, tanpa berpikir panjang ia langsung mendaftarkan anaknya. “Kegiatan ini bagus dan penting sekali untuk anak-anak. Lihat, anak saya sangat senang. Dia memang suka dengan cerita, dan saya sangat excited melihatnya,” ujar Eti sambil menunjuk gadis kecilnya.
Anak-anak sedang bermain di Free Kids Corner Singaraja Literary Festival 2024 | Foto: SLF/Amri
Gadis kecil Eti masih duduk di bangku kelas tiga SD. Dan ia merasa khawatir kalau gawai akan merebut waktu anaknya. Oleh karena itulah Eti sangat bersyukur dengan kegiatan-kegiatan yang dapat sejenak menjauhkan anaknya dari telepon pintar.
“Hari ini kan anak-anak tidak bisa lepas dari HP. Tapi dengan adanya kegiatan seperti ini kan mereka diberi kesempatan untuk sementara melupakan HP. Juga menyalurkan hobinya, bercerita dan menulis, gitu,” Eti menegaskan.
“Free Kids Corner” hari itu telah usai. Jane, Monika, dan kawan-kawan sukarelawannya memperlakukan anak-anak dengan lembut dan penuh kasih sayang. Bahkan sebelum membubarkan diri mereka sempat bernyanyi sambil membereskan alat-alat dan segala rupa secara bersama-sama.
Anak-anak terlihat senang, gembira, dan ini yang terpenting, aman dan nyaman. Tak ada asap rokok di sekitar tempat mereka bermain dan belajar. Tak ada gambar-gambar tak senonoh. Tak ada ujaran-ujaran yang tak pantas. Ini dunia mereka. Tempat ini milik dan hak mereka.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024