Antara Pura Gunung Payung dan Pura Batu Pageh di Gumi Delod Ceking adalah wilayah pesisir bertebing yang dalam bahasa setempat disebut ngampan. Kawasan ngampan itu tersurat dalam Awig-Awig Desa Adat Kutuh, sebagai karang pamupon Desa Adat Kutuh. Dulu, sebelum 1980-an, Kawasan ngampan itu dijadikan kebun jagung oleh krama Desa Adat Kutuh. Jagungnya tumbuh subur dengan buah besar-besar penuh tuah. Aneh, memang. Kera-kera sepanjang ngampan di Kawasan itu bersahabat dan tidak merusak kebun jagung petani. Itu dulu Ketika tebing belum dipotong, vila belum ada, turis belum mengenalnya. Tempatnya tersembunyi dan terisolasi. Hanya dijadikan ladang bagi nelayan tradisional setempat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Berbeda dengan kini, kera-kera sudah sampai merusak ke pemukiman penduduk. Bahkan warga di sekitar Jalan Alas Arum yang menghubungkan Kawasan Nusa Dua Selatan menuju arah Pantai Pandawa hingga Pantai Melasti, kera-kera itu tidak hanya merusak kebun, tetapi juga mengganggu sampai ke rumah-rumah penduduk, bahkan sampai nyurud daksina di pelinggih-pelinggih milik warga. Umat yang menghaturkan banten pun mesti mencari waktu yang tepat misalnya menjelang malam dengan harapan tidak terganggu para kera. Pada akhirnya, manusia mesti paham perikekeraan di samping memuliakan perikemanusiaan. Syaratnya, tempat habibat kera-kera itu harus aman dan tidak dieksplorasi untuk kepentingan mendulang rupiah semata. Di sinilah pembangunan sektor pariwisata perlu bersahabat dengan alam dengan segala isinya, termasuk hak-hak asasi kera terlindungi. Pariwisata budaya berlandaskan Agama Hindu secara ajeg berkelanjutan mestinya juga mempertimbangkan kehidupan kera-kera di tebing-tebing ngampan antara Nusa Dua Selatan sampai Kawasan Uluwatu.
Begitulah gambaran antara Pura Gunung Payung dan Pura Batu Pageh dulu dan kini. Krama Desa Adat Kutuh berutang budi sehingga ngampan mesti dimuliakan. Bukankah Dang Hyang Nirartha sebagai Kawi Wiku tempo doeloe banyak terinspirasi dari kokohnya tebing-tebing ngampan yang menghadap ke laut, bagai pemuja yang mengagumi Dewi Pujaannya. Tebing-tebing itu adalah gunung yang setia memuja laut. Oleh karena itu, krama Desa Atas Kutuh Khususnya dan krama Gumi Delod Ceking umumnya menggelar upacara Nyegara Gunung dari atas tebing itu. Oleh karena itu, tebing-tebing itu jangan ditebang sembarangan. Tebing-tebing itu telah mengajarkan kekokohan pendirian ibarat pertapa yang tak tergoda memuja Dewi Baruna sambil berharap mendapat Tirta Sanjiwani di kedalaman samudera untuk kesejahteraan bersama, sekala niskala.
Betapa hebatnya para leluhur di Gumi Delod Ceking membatinkan dan memuliakan kearifan lokal untuk memuja dan menuju-Nya. Belakangan ini, Krama Delod Ceking juga melaksanakan upacara Nyegara Gunung dari Goa Lawah menuju Besakih. Itu terlaksana berkat kemajuan ekonomi yang makin dirasakan membaik oleh krama dari Gumi Delod Ceking berkat gula-gula pariwisata. Berkah yang pantas disyukuri dan dimaknai sebagai pembelajaran berbasis historis dengan tiga dimensi waktu dalam konteks trisemaya : atita (dulu), wartamana (kini), nagata (nanti) yang telah dijadikan rujukan dalam Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
Sebagai gugusan tebing yang membentang dari Timur (Pura Gunung Payung) ke Barat (Pura Batu Pageh) yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia terdapat tiga loloan yang disebut Sawang Nungkak berhadapan dengan Pura Gunung Payung, Sawang Melang berhadapan dengan Pura Melang Kelod, dan Sawang Sambing berhadapan dengan Pura Batu Pageh. Di bawah tebing Pura Gunung Payung juga ada Batu Kembar berhadapan langsung dengan Sawang Nungkak tempat melukat yang biasa dilakukan krama Desa Adat Kutuh. Sementara itu, Sawang Melang berhadapan dengan Pura Melang Kelod dan di bawah tebingnya terdapat batu buyar. Anehnya batu di batu buyar kadang-kadang berserakan (buyar) kadang-kadang tertata rapi secara alami. Di sekitar tempat itu pula krama Desa Adat Kutuh biasanya melaksanakan prosesi nganyut “melarung sesajen” sekaligus mohon Tirta Amerta kala Melasti Dewa Cili digelar Desa Adat Kutuh setiap dua tahun sekali pada Purnama Kasa setiap tahun ganjil Masehi, sekitar bulan Juli. Selanjutnya, Sawang Sambing berhadapan dengan Pura Batu Pageh yang terdapat di tengah-tengah tebing, orrng setempat menyebut, di bangkiang ngampan.
Di antara tiga loloan yang disebut Sawang itu, hanya Sawang Melang dan Sawang Sambing yang biasa digunakan menyeberang oleh nelayan ke tengah Samudra bila ombak bagus dan cuaca cerah. Akan tetapi, nelayan tradisional dari Desa Adat Kutuh biasanya menjadikan Sawang Melang tempat menyeberang ke tengah Samudra. Ketika mendarat, Jukung-jukungnya di parkir di goa-goa yang penuh karismatis (mataksu). Ini juga mengingatkan peradaban purba tentang kehidupan manusia di goa-goa yang secara alami terpelihara hingga kini dan seharusnya dirawat secara baik dan benar dengan peradaban modern. Tempo doeloe, bila Galungan tiba jukung-jukung nelayan itu pun dimuliakan dengan menghaturkan Canang Sodan Sakasidan, tidak dengan kemewahan ritual, tetapi dengan kemewahan hati penuh sungguh seluruh. Selalu eling dan waspada bercengkrama dengan Dewi Baruna yang memberkahi kehidupan.
Menarik juga dicatat di antara Pura Gunung Payung dan Pura Batu Pageh terdapat sejumlah Pura yang di-sungsung Desa Adat Kutuh, yaitu Pura Melang Kelod, Pura Panyarikan, Pura Segara. Di Luar Pura itu, terdapat Pura Keneng-Kenengan milik warga yang konon karena terjadi pembunuhan, arwah korban “minta” pelinggih Pura. Begitulah krama Desa Adat Kutuh beragama dengan tradisi yang diyakini secara turun-temurun. Tidak ada yang salah tentang hal itu. Yang perlu dicermati adalah tidak hanya berenang di lautan tradisi yang indah di permukaan seperti pesurfing menikmati indahnya buih ombak, tetapi juga menyelam di kedalaman lautan tradisi menggali makna agar mendapatkan Mutiara terpilih, selanjutnya divibrasikan untuk memuliakan kehidupan ke arah adab yang lebih baik dan lebih bermakna. Di sinilah, umat perlu belajar sepanjang hayat. Belajar terus, terus belajar, dan belajar.
Begitulah antara Pura Gunung Payung dan Pura Batu Pageh menyimpan kekayaan peradaban spiritual yang Maha Agung nankokoh selaras dengan nama-nama tempat secara toponimi, yang membentang dari Timur ke Barat, tempat persinggahan Dang Hyang Nirartha yang menjadikan keduanya sebagai Pura Dang Kahyangan. Keduanya berdiri kokoh menghadap Sang Hyang Baruna di antara tebing-tebing mataksu dengan batu karang melalui jalan Batu Cupit menuju sumber air yang disebut suukan oleh masyarakat setempat. Batu Cupit kini telah menjadi jalan masuk utama menuju Pantai Pandawa, akses yang dulu hanyalah rurung sempit (gang kecil) akses melaksanakan upacara Melasti Desa Adat Kutuh. [T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT