- Artikel ini adalah materi dalam sesi “Tribute to Cok Sawitri”, serangkaian Singaraja Literary Festival (SLF), Sabtu 24 Agustus 2024, di area Gedong Kirtya Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024
***
LIMA BELAS tahun lalu, saya sangat ingin punya teman penulis. Penulis perempuan Bali. Kenapa penulis perempuan Bali? Karena saya punya banyak pertanyaan tentang perempuan Bali, khususnya. Dalam benak saya, penulis adalah sosok yang menakjubkan. Berkenalan dengan penulis dan membaca karya-karyanya adalah kesempatan mengenal pikiran-pikiran, perasaan, persepsi, kecerdasan, dan juga kedalaman penyelaman batin mereka.
Lima belas tahun lalu itu, sekitar tahun 2009, Cok Sawitri (Cok) berkunjung ke kota saya, Singaraja. Buku Sutasoma, salah satu karyanya di bedah di FBS, Undiksha. Saya hadir. Sejak itulah saya memulai pertemanan. Pertemuan-pertemuan secara tatap muka jarang bisa terjadi karena Cok di Denpasar dan saya di sini. Media yang sering saya pakai untuk menemuinya adalah kotak pesan FB; tempat saya bertanya, bercerita dan mendengar cerita.
Tahun 2014, Cok rajin berbagi draft tulisannya, Sitayana, di status FB-nya. Setiap hari saya menunggu tulisan Cok dan me-repost-nya. Ternyata saya tidak sendirian. Cukup banyak teman FB saya memberi apresiasi dan setiap hari setia menanti Sitayana. Teman-teman saya itu berasal dari berbagai macam latar belakang.
Saya selalu menyampaikan salam dan apresiasi mereka dan Cok selalu responsif:
”Terima kasih. Indah sekali rasanya jika suka dengan tulisan yang berlawanan dengan yang konvensional. Dari dulu saya ingin menulis tanpa beban di media yang bebas. Ternyata FB menyediakan itu …”
Tentang Sitayana, Cok pernah tiba-tiba menyapa:
”Mbok Tini, ini tahap paling berat dari Sitayana. Rasanya seperti tengah berhadapan dengan konsep awatara sekaligus maskulinitas dalam sastra. ”
”Ya, saya merasakannya. Tidak terbayang bagaimana proses penulisnya. Bagaimana cara Cok menghadapi bagian ini? Saya merasakan proses ini seperti dentuman energi,” jawab saya sekaligus bertanya.
”Saya berusaha untuk menjaga emosi agar tidak tergelincir. Saya seperti menarik nafas untuk bagian-bagian yang sangat ideologis itu,” terang Cok.
Setiap draft Sitayana saya simpan bagian per bagian ke satu berkas penyimpanan di FB. Ada 30-an lebih potongan-potongan tulisan draft itu yang kemudian terbit menjadi novel Sitayana.
Di tahun yang sama, masih 2014, saya juga mulai bertanya tentang Jirah.
”Cok, berceritalah tentang Jirah. Saya ingin mengenalnya,” ujar saya meminta.
”Jirah yang mana Mbok Tini ingin tuju? Jirah sang ibu yang melahirkan garis penganut Siwa Budha atau versi pertunjukkan atau versi ruwatan sastra?” tanyanya sebelum menjelaskan.
”Yang mana menurut Cok yang sebaiknya saya tahu? Sebagai perempuan, sebagai ibu, mendengar nama Jirah membuat saya teringat perasaan yang tak ternamai. Perasaan-perasaan suka dan duka yang berujung rindu pulang ke rahim ibu,” kata saya.
”Sejujurnya, sejak kemarin saya kembali membuka kisah Calon Arang. Entah kenapa saya ingin membacanya dan ingin melanjutkan tulisan saya mengenai Jirah dan murid-muridnyanya. Rangda Ing Jirah atau Calon Arang adalah ibu buyut dari Mpu Tantular, penganut Budha yang tegas dan mempengaruhi sikap Budha Tantrisme. Ajaran Budha Jirah itu, serius mengajak menguji nalar dan rasio … pada akhirnya mengajak menjadi manusia biasa,” terang Cok.
Dengan rendah hati seperti biasanya seorang Cok Sawitri mengaku: ”Sampai sekarang saya juga masih belajar. Belajar dasar lakon ini, belajar menonton diri sendiri. Ada yang di dalam, ada yang diluar. Ada yang menonton, ada yang ditonton. Semua harus dilakoni. Seperti penari, harus bisa merasa menjadi penonton yang menonton agar tidak hanya merasa menjadi tontonan.”
Saat itu adalah saat-saat Cok mulai melengkapi tulisannya hingga kemudian lahir buku Trilogi Jirah.
***
Saya tidak setiap hari mengganggu Cok dengan pertanyaan-pertanyaan. Ada pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan yang seringkali saya maksudkan untuk mencocokan persepsi saja. Dan jika ada berbeda, kami sama-sama mengizinkan perbedaan.
Pernah saya bertanya seputar kematian, kelahiran, dan semesta raya.
”Kemana nanti jika saya mati, Cok?” tanya saya kepadanya.
”Mbok kembali ke alam sebagai penggenap 5 energi besar yang nantinya membuat alam lebih tahan memenuhi kebutuhan manusia. Mbok kembali ke alam,” jawabnya.
”Kesini lagi—ke Bali?” saya kembali bertanya.
“Ini yang susah diprediksi. Ada kisah tentang benih yang terpental dari poros jeruji pedati semesta. Orang Bali memakai metafor ‘benih’ … ‘suinih’ … ‘jelijih’ … Ketika memilih bulir beras, akan ada satu bulir benih yang dicopot dan justru itulah yang bisa tumbuh,” terang Cok.
Kemudian Cok meneruskan tentang “hal-hal putaran akasa, kehampaan adalah energi semesta, dan keentahan dalam hitungan yang mungkin sekejap, dan dalam tarikan nafas siapa kemudian titik kecil energi yang mengandung kita akan dilahirkan…”
Saya melanjutkan bertanya. ”Lantas untuk apa lahir?”
”Untuk menderita.”
”Untuk apa menderita?”
”Untuk tersesat dari kesadaran. Untuk mengira tidur hanya karena mengantuk. Untuk merasakan tekanan sebagai tekanan yang kemudian membuat kita berpikir dan menyadari tentang lahirnya perasaan menderita. Kesadaran menyadari itu selalu disyarati keagungan, yang selalu akan lahir agar kita tidak tersesat .”
Percakapan-percakapan seperti ini biasanya terjadi malam hari hingga waktunya kami perlu istirahat. Cok suka pamit dari percakapan dengan mengabarkan akan pergi mandi dulu sebelum tidur. Cok juga dengan ringan pernah berbagi bunyi doanya sebelum tidur:
“Ya Tuhanku, jika aku mati saat tidur, ya silakan. Agar esok disaat terjaga, terasa terang ringan jiwa tak takut apa-apa.”
Kadang rasa takut sering mengajak bercanda—4 April 2024.
Terima kasih untuk pertemuan singkat ini. Selamat melanjutkan perjalanan ke alam pilihan bersama buah-buah karma yang kelak terlahir di atas sayap-sayap takdir.[T]
Singaraja, 11 Agustus 2024.
- BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024