- Artikel ini adalah materi dalam panel diskusi “Alih Wahana Teks Lama ke Film”, serangkaian Singaraja Literary Festival (SLF), Jumat, 23 Agustus 2024, di areal Museum Buleleng, Singaraja, Bali
- Artikel ini disiarkan atas kerjasama tatkala.co dan Singaraja Literary Festival (SLF), 23-25 Agustus 2024
***
MENDAPAT lemparan topik obrolan alih wahana teks lama ke film dari Singaraja Literary Festival (SLF) 2024, yang secara khusus menyorot Lontar Dharma Pemaculan, mengantar saya pada upaya menengok lagi ke belakang. Menengok ingatan mengenai keluarga petani yang sebagian anak-cucunya tidak lagi bertani.
Kakek saya petani tulen, yang mengantarkan tiga anak laki-lakinya mengenyam pendidikan keguruan, dan dua diantaranya berhasil mengabdikan hidupnya sebagai guru, salah satunya adalah ayah saya. Sehingga saya lebih banyak melihat praktek-praktek hidup seorang guru sekolah dasar, dibandingkan melihat keseharian petani. Namun demikian, ladang permainan saya adalah lumpur, cacing, kodok, belut, telabah dan gorong-gorong di wilayah subak Berawantangi yang sangat luas.
Dari rumah kakek, ada satu ingatan mengenai sebuah buku tipis dan lusuh yang pernah saya temukan terselip di sunduk lumbung padi. Samar-samar dalam bayangan saya, buku itu membahas berbagai hal terkait upacara dan hari baik yang berkaitan dengan pertanian di sawah. Saya menduga, buku itu adalah sebuah panduan ringkas bagi anggota subak, yang mengutip Lontar Dharma Pemaculan dan Lontar Wariga tertentu.
Muncul kemudian pertanyaan dalam diri saya, kemana saat ini para petani anggota subak di pedesaan mengakses pengetahuan dari lontar Dharma Pemaculan dan lontar lain? Kalau langsung mengacu pada fisik lontar, tentu jumlahnya terbatas dan ada ada batasan-batasan Intelektual dan kultural yang membentenginya. Tidak semua orang memiliki kemampuan membaca teks dalam lontar dan ada ruang sakral yang terbangun dalam masyarakat awam ketika berbicara lontar, berbeda ketika kita sudah bicara buku cetakan.
Jika diperhatikan dalam praktek keseharian dalam keluarga saya, pengetahuan itu kemudian dihibahkan secara turun-temurun dan berdasarkan ingatan. Nenek saya menjadi patron bagi menantu perempuannya dalam melakukan praktek ritual di sawah. Belakangan, ketika sepupu saya mulai menggantikan ayahnya bertani di sawah, maka pengetahuan itu juga diakses dari orang tuanya, dari ingatan yang kemudian diingat-ingat dan ditanyakan lagi ketika lupa.
Ketika menentukan hari baik berupacara, masyarakat juga mengakses sumber pengetahuan dari “orang” tertentu, entah penglingsir keluarga, pemangku atau sulinggih. Jika diperhatikan para narasumber ini, akan mengakses buku, cakepan atau sebuah kalender Bali, untuk membaca penanggalan, wewaran dan perhitungan lain dalam menentukan hari baik.
Kembali lagi pada buku tipis dan lusuh di lumbung padi kakek saya. Keberadaan buku ini saya rasa menjadi penting kehadirannya sebagai sebuah “media baru”, turunan dari lontar yang telah ditranslasi dan mungkin diinterpretasi, sehingga menjadi sebuah sarana praktis dalam praktek keseharian para petani.
Alih Wahana Teks Lama Ke Film
Seperti juga buku tipis dan lusuh di atas yang ditujukan menjadi panduan praktis, alih wahana atau adaptasi suatu karya sastra, entah itu telah ditulis ratusan tahun yang lalu atau baru beberapa puluh tahun kemarin, pasti ada motif yang ingin dicapai. Motif ini yang akan menentukan pilihan media dan juga bentuk atau kemasan akhir yang dihasilkan.
Film, terutama yang diproduksi untuk bioskop, seringkali memiliki motif ekonomi yang kuat, terutama ketika cerita-ceritanya diramu dari kisah-kisah lama yang sudah akrab di benak masyarakat. Pendekatan ini memungkinkan produsen film untuk menarik perhatian penonton dengan lebih mudah, karena cerita yang sudah dikenal cenderung memiliki daya tarik yang lebih besar. Penggunaan kisah-kisah yang populer ini bukan hanya soal menghidupkan kembali cerita lama, tetapi juga tentang menciptakan pengalaman yang dapat dijual dan menarik secara komersial.
Di sisi lain, film juga memiliki motif lain, seperti tujuan pendidikan. Banyak naskah dan cerita yang dikemas dalam film dengan tujuan untuk menyebarkan pengetahuan dalam bentuk yang lebih menarik dan mudah diakses oleh masyarakat. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada dorongan ekonomi yang kuat di balik produksi film, ada juga kesadaran akan peran film sebagai media pendidikan. Kita dapat melihat, tujuan akhir dari alih wahana ini, baik itu didorong oleh motif ekonomi atau pendidikan, adalah untuk mencapai jangkauan penonton yang lebih luas dan efektif.
Lalu apa motif menggali-gali naskah lama dan membicarakannya? Dengan gagah tentu saya bisa katakan ini adalah upaya mewarisi “warisan” leluhur yang luhur, yang harus dilestarikan agar tetap lestari.
Ketika menggali tentu banyak hal bisa ditemukan. Bisa saja soal luka, juga soal bahagia. Dan kerja menggali-gali ini adalah proses penting dalam pengembangan cerita film. Menggali dari sumber yang dekat dengan kita, teks lama seperti Dharma Pemaculan merupakan keniscayaan, karena itu adalah ruang hidup dan laku keseharian kita di Bali, sebagai bumi agraris, walau sebagian dari kita bekerja ngempu turis.
Dengan menggali kebelakang, bukan berarti kita ingin terkubur. Sambil kita menulis naskah film baru yang kita cita-citakan, dalam penggalian ini kita dapat menemukan kembali nilai-nilai berharga tentang kebijaksanaan, budaya dan identitas kolektif, dan nilai-nilai estetika yang dapat kita rekonstruksi dalam eksperimentasi media baru.
Narasi Baru dalam Media Baru
Sebagai media untuk menjangkau masyarakat, karya literatur klasik maupun dalam rupa media baru, selalu berbicara mengenai kehidupan. Karena yang berkarya adalah manusia hidup, yang memiliki imajinasi dan ruang hidup, yang berinteraksi dengan dirinya, lingkungannya, dan nilai-nilai yang menjadi ideologi hidupnya.
Dalam berbagai karya, kita seringkali melihat bagaimana seniman merefleksikan kehidupan, mengajukan kritik sosial, dan mencari makna yang lebih dalam tentang jati diri, baik secara individu maupun kolektif. Refleksi yang ditampilkan seringkali merupakan cerminan dari berbagai pengalaman manusia, mulai dari masalah pribadi hingga isu-isu global. Kritik sosial juga menjadi elemen yang menyoroti ketidakadilan atau ketidaksempurnaan dalam masyarakat, sekaligus juga menawarkan perspektif alternatif dan kemungkinan-kemungkinan.
Interpretasi dan eksperimentasi merupakan kata kunci penting dalam karya film. Sebuah gagasan akan melalui berbagai ‘cobaan’ dalam setiap tahapannya, tergantung dengan siapa gagasan itu bertemu. Penulis, produser, dan sutradara memiliki motif masing-masing, isi kepala masing-masing. Mereka akan menginterpretasikan berdasarkan motif dasar dan bereksperimen untuk mencapai tujuan artistik dan mungkin juga tujuan ekonomi.
Ketika teks lama diseret dan dicemplungkan dalam wahana yang baru, maka dia tidak bisa menghindar dari proses interpretasi dan eksperimen tadi. Dia akan lahir menjadi ‘teks baru’ dalam konteks ruang dan waktu di mana dia diciptakan ulang. Yang tentu saja juga tidak bisa dilepaskan dari subteks yang ditanamkan oleh orang-orang yang ada di belakang layar. Ada pernyataan yang dititipkan dalam karya baru bernama film itu.
Dalam proses penulisan cerita dan pembuatan film, saya selalu merasa masuk dalam sebuah proses memahami diri sendiri, proses bertanya kembali, menggali lebih dalam. Karakter yang saya ciptakan, ruang hidup yang saya bangun untuknya, dan rangkaian kejadian yang saya susun, adalah sebuah perjalanan spiritual kembali ke dalam diri. Karena karya film berbicara tentang kehidupan itu sendiri. [T]
- BACA artikel lain terkait SINGARAJA LITERARY FESTIVAL 2024