GAGASAN mendirikan kasino atau pusat perjudian datang dari seorang pengusaha di Bali. Harapannya, dengan berdirinya kasino akan mendatangkan banyak wisatawan. Hasilnya untuk pemerataan ekonomi masyarakat dan mengatasi persoalan sampah di Bali.
Isu dan wacana kasino di Bali sejatinya bukan barang baru. Sejak awal tahun 2000-an, gagasan membangun pusat perjudian di Bali sudah muncul. Gagasan itu datang dari para pengusaha; sebagaimana saat ini.
Mereka memang kelompok yang paling diuntungkan jika kasino dibuka di Bali. Aliran uang yang besar tentu saja akan deras mengalir ke kantong mereka. Namun perlu dicatat, Bali bukan hanya milik sekelompok pengusaha. Bali milik masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan juga milik Indonesia. Bagaimana pendapat mereka tentang kasino?
Alasan wacana pembangunan kasino adalah untuk meningkatkan angka kunjungan wisatawan ke Bali. Selain itu kasino juga diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD), untuk pemerataan ekonomi masyarakat dan menanggulangi masalah sampah.
Pusat perjudian yang beraroma pariwisata itu akan dibangun di daerah yang secara ekonomi masyarakatnya kurang mampu. Dengan kata lain, kasino akan dibangun di daerah miskin. Bukankah ini justru akan mempertontonkan kemiskinan kepada wisatawan?
Mengulang Rezim Orde Baru
Sistem kepariwisataan dunia memang tidak secara spesifik mengatur tentang kasino maupun perjudian. Organisasi Kepariwisataan Dunia (UN WTO) tidak secara tegas menjelaskan tentang kasino dalam pariwisata.
Lembaga dunia yang mewadahi pariwisata itu lebih fokus pada promosi pariwisata yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Kasino atau perjudian biasanya diatur oleh kebijakan atau undang-undang di masing-masing negara. Beberapa negara melegalkan kasino sebagai bagian dari produk wisatanya, seperti Monako, Amerika Serikat, China, Singapura, dan Malaysia.
Kasino jelas-jelas tidak selaras dengan pengembangan pariwisata di Indonesia, khususnya Bali. Pariwisata Bali sejak dulu dibangun dan dikembangkan dengan landasan budaya, yang dijiwai oleh adat, tradisi, dan agama Hindu. Secara yuridis dalam sistem hukum Indonesia, judi juga dilarang.
Dampak negatif kasino akan lebih besar dibanding dampak positifnya. Melegalkan kasino dengan menumpang pada pariwisata sama halnya mengulang kebijakan rezim Orde Baru yang melegalkan perjudian. Saat Orde Baru berkuasa, perjudian dilegalkan melalui yayasan yang dibentuk pemerintah.
Judi dijadikan sumber pendapatan negara untuk memberi bantuan sosial maupun menunjang prestasi olah raga. Namun nyatanya prestasi olah raga Indonesia di kancah dunia saat itu tetap begitu-begitu saja. Sementara masyarakat setiap hari harus mimpi di siang bolong (day dreaming) untuk mendapatkan hadiah besar dari perjudian itu.
Apabila kini kasino akan dilegalkan, maka tidak menutup kemungkinan muncul gagasan lain untuk melegalkan prostitusi dalam pariwisata Bali. Jika ini terjadi, akan menjadi awal dari kehancuran pariwisata Bali dan Indonesia. Marwah pariwisata Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai budaya akan rusak oleh judi dan prostitusi.
Bukan hanya itu. Ketika kasino dilegalkan, implikasinya bisa merambah pada penyimpangan dan pelanggaran lain. Boleh jadi akan muncul gagasan agar korupsi juga dilegalkan. Alasannya agar tidak terjadi pungutan diam-diam. Maka, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga perlu dibubarkan.
Kasino tetap akan menjadi sulit diterima di Indonesia saat ini. Kalaupun dipaksakan, syaratnya tidak mudah. Pertama, undang-undang yang mengatur perjudian harus diubah atau dibatalkan dulu. Ini tentu hampir mustahil dilakukan. Penolakan besar akan dilakukan oleh rakyat. Wakil rakyat di DPR pun tentu akan menolak pencabutan undang-undang perjudian, karena secara politik isu tersebut tidak populis.
Kedua, kasino hanya mungkin dilakukan di pulau terpencil yang tidak berpenghuni. Ini pun sulit diwujudkan, karena tidak menarik bagi wisatawan; mengingat wisatawan berkunjung ke Indonesia bukan hanya untuk berjudi.
Karakteristik produk wisata Indonesia tidak seperti negara-negara lain yang memang identik dengan perjudian. Wisatawan datang ke Indonesia selain untuk menikmati pemandangan alam, juga menyaksikan adat, tradisi, dan budaya. Menjual kasino dengan kemasan pariwisata justru akan merusak citra Indonesia di pasar wisata dunia.
Klaim Kepentingan Bisnis
Alasan pembangunan kasino di Bali untuk menggali sumber pendapatan asli daerah dan meningkatkan pemerataan ekonomi hanyalah klaim sepihak. Kepentingan bisnis para pengusaha akan tetap menjadi prioritas dalam pengelolaan kasino.
Kasino bukanlah solusi yang bijak dan bermartabat untuk mengatasi permasalahan pariwisata di Bali. Pemerataan dalam pembangunan sektor pariwisata di Bali merupakan salah satu solusi, sehingga tidak terjadi ketimpangan pendapatan dari sektor pariwisata antara kabupaten Badung dan kabupaten lain di Bali.
Mengatasi persoalan sampah juga tidak serta-merta dapat diselesaikan dengan kasino. Masih banyak rekayasa teknologi yang dapat mengatasinya. Tentu saja ini menjadi tantangan bagi para pakar di Universitas Udayana, Bali untuk mencari solusi sampah yang berbasis teknologi; bukan dengan menadah kucuran dana dari kasino yang beraroma pariwisata.
Pungutan kepada wisatawan mancanegara yang saat ini sudah diberlakukan di Bali juga dapat menjadi solusi menggali sumber pendapatan untuk mengatasi persoalan. Dana yang terkumpul dari pungutan itu dapat dimanfaatkan memacu peningkatan kualitas produk wisata nya. Sehingga Bali tidak dijual murah kepada wisatawan.
Ketimbang sibuk berpolemik tentang gagasan kasino di Bali, pemerintah Bali lebih baik memikirkan bagaimana mencegah terjadinya overtourism, membenahi kemacetan, mencegah kerusakan lingkungan, kriminalitas dan perilaku wisatawan yang mulai beringas di Bali. Wacana kasino akan menjadi isu yang kotraproduktif dengan semangat pariwisata budaya Bali.
Bali sudah sarat beban dengan banyaknya persoalan. Melegalkan kasino sama halnya menambah beban bagi Bali. Jika tak hati-hati, Bali akan tenggelam dalam kemegahan kasino yang berbalut pariwisata. [T]
BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU