GUMI Delod Ceking adalah sebutan untuk desa-desa di Selatan cekungan Pulau Bali yang lebih dikenal dengan sebutan Kaki Pulau Bali. Frasa Gumi Delod Ceking banyak digunakan para tetua sebelum dekade 1990-an. Belakangan frasa itu nyaris menghilang terdesak frasa di Kaki Pulau Bali yang dipopulerkan oleh IB Agastia untuk mengapresiasi karya Kawi Wiku Dang Hyang Nirartha yang mendirikan pondok sastra dengan karya-karyanya yang gemilang.
Keseluruhan Gumi Delod Ceking adalah wilayah Kecamatan Kuta Selatan. Dalam sejarahnya, Kuta Selatan sebelum Reformasi adalah satu-kesatuan dengan Kecamatan Kuta. Sejak 2002, Kecamatan Kuta dimekarkan menjadi tiga : Kuta, Kuta Utara, dan Kuta Selatan.
Gumi Delod Ceking sebagaimana desa-desa di Bali juga memiliki peran ganda sebagai desa dinas/kelurahan di satu sisi dan desa adat di sisi lain. Ada tiga kelurahan di Gumi Delod Ceking : Jimbaran, Benoa, dan Tanjung Benoa serta tiga desa dinas : Kutuh, Ungasan, Pecatu.
Di Gumi Delod Ceking terdapat sembilan Desa Adat: Jimbaran, Bualu, Tanjung, Tengkulung, Peminge, Kampial, Kutuh, Ungasan, dan Pecatu. Ada perbedaan jumlah desa adat dengan desa dinas/kelurahan adalah hal yang wajar dan itu terjadi juga di desa/kelurahan lain di wilayah Bali lainnya, mengikuti kearifan lokal: desa, kala, patra. Perbedaan itu jika direlasikan dengan desa dinas dengan sistem blok pemukiman selalu kontradiktif.
Desa dinas menggunakan sistem kewilayahan berdasarkan blok pemukiman, sedangkan Desa Adat menggunakan sistem tempekan yang sering saling seluk posisinya. Keadaan demikian juga terjadi di desa-desa adat di Gumi Delod Ceking. Jika tidak arif bijaksana menyikapi, keadaan demikian bisa menimbulkan rebutan tapal batas dan dapat menimbulkan disharmoni.
Di antara 9 desa adat di Gumi Delod Ceking, satu-satunya desa tanpa bertepi laut adalah Desa Adat Kampial dan satu-satunya desa tanpa kompleks perumahan adalah Desa Adat Pecatu.
Dua desa ini menjadi istimewa dalam konteks berbeda. Tanpa bertepi laut, Desa Adat Kampial menjadi persimpangan yang dilewati bus pariwisata menuju ke Pantai Pandawa di Desa Adat Kutuh, Pantai Melasti di Desa Adat Ungasan, Pantai Mengiat di Desa Adat Bualu dan Pantai Geger di Desa Adat Peminge. Sebagai desa yang disimpangi bus-bus pariwisata, tingkat kekroditan lalu lintas di Desa Adat Kampial sangat tinggi dengan kondisi jalan yang sempit, kurang berkualitas, dengan lampu penerangan yang kurang representatif.
Walaupun tanpa bertepi laut, dampak pariwisata di Desa Adat Kampial juga sangat terasa, mengalahkan tradisi agraris dan pengangon. Sejumlah ruang kosong di sana-sini masih tampak bengang tanpa petani penggarap. Pamornya dikalahkan gegap gempita glamour pariwisata dengan vila, hotel, penginapan, warung makan, dan pasar modern yang tampak indah di permukaan, tetapi keluh kesah di kedalaman tak terhindarkan. Keberadaan pasar tradisional hanya buka sesaat, pagi hari tempat para urban saling sapa makedekan saling tawar-menawar, Sing bang kuang, Bu? Celetukan yang mengingat saya jauh ke masa silam saat panen bangkuang di Gumi Delod Ceking.
Tanpa kompleks perumahan, Desa Adat Pecatu relatif terjaga dan menjadi kampung bule mem-Bali bersama-sama dalam satu pekarangan dengan krama Desa Adat Pecatu. Desa Adat Pecatu menjadi kampung akulturasi Bali-Bule bersahabat dengan keseharian warga sambil tetap memertahankan tradisi agraris dan ngangon sampi, walaupun jumlah pengangon tidak seberapa. Pamornya kalah jauh dengan glamour pariwisata seperti yang dialami Desa Adat Kampial.
Sejumlah pendatang ada yang mengontrak tempat berjualan yang membuat Pecatu juga hingar bingar siang malam. Tempat kost juga tersedia bagi para pendatang dan pekerja di sektor jasa pariwisata. Sesuatu yang tidak terbayangkan sebelum dekade 1990-an yang orang-orangnya merantau ke kota menuntut ilmu dengan madunungan di rumah kaum urban Kota Denpasar. Hotel, vila, penginapan dan restoran juga banyak dibangun di tebing-tebing Pecatu dengan view sunset dan sun rise tiada duanya di dunia. Posisi Desa Pecatu di ketinggian bukit sangat mendukung.
Begitulah semesta bekerja mengubah Gumi Delod Ceking yang kering kerontang pada musim kemarau tempo dulu, kini menjadi incaran orang dari berbagai negeri. Dulu, orang dikasi tanah pun tidak mau. Kini tanah di Gumi Delod Ceking menjadi incaran orang dari berbagai belahan dunia Seperti orang bermain dadu, dadu dikocok dan terbalik. Dadu bagi orang di Gumi Delod Ceking disebut jai. Mabalik jaine ! Ipidan ke gunung ngalih nasi, jani ke pasih ngalih nasi. Inilah kearifan Segara-Giri.
Salam hangat dari Gumi Delod Ceking! [T]
BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT