SIAPA sangka, di bawah Jalan Shortcut 4 Bedugul, Tabanan, di pinggir Danau Beratan, di antara tiang-tiang beton penyangga jalan, terdapat dua-tiga pedagang kaki lima (PKL) yang menggelar lapak di sana.
Mereka, para pedagang itu, sebagaimana umumnya pedagang kaki lima, menjajakan kopi sasetan, air kemasan, mi instan dalam cup, segala cemilan ringan, dan minuman rasa-rasa yang “dikutuk” ahli kesehatan karena dinilai nir-vitamin itu.
Kolong jalan baru ini cukup estetik. Selain karena pemandangan danau dan bukit hijau di seberang, penampakan tiang-tiang beton yang berjejer membentuk lorong-lorong itu juga menawarkan suasana lain. Hanya saja, sebagaimana lumut di batuan lembap, tiang-tiang beton itu juga tak luput dari vandalisme.
“Hampir setahun saya berjualan di sini, Mas,” kata Ana (bukan nama sebenarnya, ia enggan menyebutkan nama asalinya), salah satu pedagang kaki lima yang berjualan di bawah Jalan Shortcut Bedugul. “Anonim aja namanya ya!” serunya sekali lagi.
Tiang-tiang beton penyangga Jalan Shortcut Bedugul | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Perempuan berumur kisaran 30-an tahun itu mengaku pada awalnya jualan strawberry di daerah Pancasari, Buleleng. Karena masa kontrak tempat jualannya habis, ia memilih berjualan di kolong Jalan Shortcut Titik 4 Bedugul. “Tapi di sini tidak boleh jualan setiap hari,” terang Ana menjelaskan. Ia sedikit menggeser letak duduknya.
Di kolong jalan ini, menurut Ana, pedagang kaki lima hanya boleh berjualan di hari-hari tertentu saja. Di antaranya Sabtu dan Minggu. Pula tanggal merah, hari-hari libur seperti hari raya, dll. Ini sudah menjadi kebijakan pemerintah Desa Candikuning dan Tabanan.
Dan sebagaimana para pedagang kaki lima di tepi Danau Beratan, PKL di kolong Jalan Shortcut Bedugul ini juga tidak dipungut biaya apa pun. “Ya cuma diminta menjaga kebersihan aja si, Mas,” Ana berkata sembari merapatkan jaket bulunya. Bedugul dingin. 23 derajat Celsius. Untuk membuka lapak di kolong jalan ini, kata Ana, cukup meminta izin kelian banjar (kepala dusun) setempat. “Itu saja, si,” sambungnya.
Penampakan Jalan Shortcut Bedugul diambil dari bawah | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Meski hari Minggu, siang menjelang sore itu tak banyak orang yang nongkrong di kolong jalan yang semak-belukarnya sudah dibersihkan itu. Hanya ada beberapa lelaki paruh baya yang mencoba peruntungan dengan melemparkan kail ke perut Beratan dan sepasang remaja—sepertinya mereka sedang menjalin kasih—tak henti-henti menyalakan kamera gawainya. Juga dua pemuda yang sedang menikmati mi instan dalam cup sambil berbincang-bincang di lapak sebelah Ana berjualan. Mereka duduk di kursi plastik tanpa sandaran.
Berjualan di tempat seperti ini merupakan ketidakpastian nasib. Ramai atau sepi tak dapat diprediksi. Pasalnya, selain tempatnya yang tak terduga, banyak pula orang yang belum mengetahuinya. “Kadang ramai kadang sepi, Mas. Tak pasti,” Ana berkata lirih. Matanya sedikit sayu.
Lapak Ana di bawah Jalan Shortcut | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Namun, Ana dan pedagang kaki lima di kolong jalan ini bersyukur karena ada bangunan Hotel Ashram Bedugul yang, meski sudah tak beroperasi, tapi masih sering dikunjungi orang-orang.
Benar. Banyak orang datang ke hotel suwung itu bersama keluarga, handai tolan, teman, pasangan, untuk sekadar duduk, berswafoto, berbincang, dan makan-makan sambil menikmati pemandangan danau dan lalu-lalang Jalan Shortcut Bedugul.
Hotel Ashram Bedugul yang sudah tutup | Foto: tatkala.co/Jaswanto
Di tempat ini, di kolong jalan ini, menurut Ana, akan dibangun kios-kios untuk PKL. Lapak-lapak bakso di tepi jalan Danau Beratan yang dianggap “mengganggu” lalu-lintas itu rencananya akan dipindahkan ke kios-kios tersebut. Nanti, mobil dan bus juga direncanakan bisa diparkir di sana.
“Sudah sempat ada sosialisasi dari Pak Kelian. Tapi nggak tahu itu jadi apa enggak,” terang Ana masih bimbang. [T]
Reporter: Jaswanto
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole