MEMASUKI minggu ke 3 saya berada di Thailand Utara, Mae Salong menjadi tujuan saya berikutnya. Perjalanan dari desa ke desa, begitulah saya menyebutnya. Dan saya percaya bahwa esensi perjalanan adalah belajar dan melihat sekitar lalu berpikir apa yang bisa dikembangkan dari pengetahun tersebut. Itulah mazhab berwisata yang saya anut.
Berkendara dari pusat Kota Chiang Rai, saya menghabiskan dua jam di perjalanan. Seperti biasa, hujan, panas, dan jalan naik turun melewati lembah, wajib saya hadapi untuk menuju Mae Salong. Tapi saya tidak begitu terkejut, karena itu tak serumit—walaupun romantis—jalur Kintamani-Siakin yang melegenda itu.
Sepanjang perjalanan sudah tampak hamparan luas kebun teh. Dan, sekali lagi, hujan menyambut ketika saya sampai di Mae Salong.
Di Mae Salong tampak tak banyak wisatawan yang berkunjung bulan ini. “Peak Season pada bulan Desember sampai Januari,” ujar receptionist hotel tempat saya menginap.
Dua malam di Mae Salong saya seperti merecharge energi. Saya hanya melakukan aktifitas jalan kaki ke pasar, ke kebun teh, dan sesekali berkendara keliling desa. Saya mengangap desa di Mae Salong sama saja seperti di Bromo, berada di ketinggian 1000 mdpl membuat cuaca di sini sagat adem.
Mae Salong memang dikenal dengan desa di mana budaya China sangat kental. Meski di Thailand, tempat ini serasa di China. Bahasa Mandarin menjadi bahasa kedua setelah bahasa Thai. Bahkan, menurut informasi dari warga lokal, anak-anak akan lanjut belajar bahasa Mandarin selepas pulang sekolah.
Di Mae Salong Anda dengan mudah menemukan benda-benda yang identik dengan China. Oolong Tea (Teh Oolong), misalnya. Ini adalah jejak bagaimana budaya China masuk dan menjadi ciri khas dari daerah ini. Oolong tea memang diyakini berasal dari daerah China. Labu botol juga masih banyak saya lihat di penjual souvenir.
Menurut petugas hotel tempat saya menginap, bentuk dari labu botol ini merupakan simbol “mengambil yang baik-baik saja. Yang jelek-jelek tidak bisa masuk”. Persis seperti beberapa pagoda yang menyerupai bentuknya.
Mengenai labu botol, saya teringat sesuatu. Di Bali Utara, dulu, di rumah-rumah ada banyak sekali labu seperti ini. Ya, perjalanan, sekali lagi, selalu memberi isyarat bahwa banyak hal di satu daerah mempunyai keterhubungan dengan daerah lain. Terkadang lewat sesajen, buah labu, atau cara bagaimana kita berbudaya. Bukan begitu, traveler?[T]