KOPI-kopi yang merah, matang di atas pohon itu siap dipetik dengan riang oleh Siti Aisyah, seorang ibu berumur 40 tahun, di sebuah kebun kopi milik Wayan Muhammad Inwan di Dusun Amerta Sari, Desa Pegayaman, Buleleng, pada Senin (8/7/2024) lalu.
Meski pohon kopi tersebut lebih tinggi dari tubuh Siti Aisyah, perempuan itu tetap memanjatnya tanpa rasa ragu dan takut. Biasanya, ia berangkat pagi hari ke kebun itu dengan tas andalannya—tas berwarna coklat yang tercantel asyik di tubuhnya. Suasana sejuk benar-benar menyambutnya sepanjang jalan bersama sang suami.
“Setelah masak dan urus suami, saya baru berangkat. Jam 8 sudah di sini. Tapi suami saya juga ikut metik. Saya ikut bantu-bantu,” ujar Siti Aisyah sambil tetap bergelayut di atas pohon.
Siti Aisyah, perempuan pemetik kopi Desa Pegayaman | Foto: Dian
Dengan penuh teliti, tangan terampilnya memilah kopi di setiap ranting, dari pohon satu ke pohon lainnya. Mengambil yang merah, menyisakan yang hijau. Hal itu ia lakukan dengan mudah. Di kebun yang luasnya nyaris satu hektar itu, Siti Aisyah memetik kopi seperti bermain puzzle warna.
Ia memang sudah lama jadi buruh petik kopi di Pegayaman. Hasil dari memetik kopi itu ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, katanya, terutama untuk dapur, dan ia akan berhenti memetik jika matahari sudah tepat di pukul 12.00 Wita.
“Nanti lanjut lagi sampai jam 4 sore. Sisanya kembali urus rumah. Namanya juga ibu rumah tangga,” katanya mencoba mencairkan suasana.
Di sana, Bu Siti—sapaan akrabnya, tak sendiri sebagai perempuan buruh pemetik kopi. Salah seorang perempuan, masih muda, bernama Umamah, 20 tahun, juga ikut memanen kopi bersamanya. Mereka melakukan pekerjaan yang sama untuk mengisi hari, untuk mengisi peruntungan sampingan, mengisi-menambal-sulam kebutuhan sehari-hari.
Dengan wajah tersipu malu, di balik daun-daun kopi yang hijau, Umamah membuktikan dirinya dapat memanjat pohon dengan baik, dengan lincah, walaupun terhitung masih pemula. Satu persatu merah-merah kopi matang itu dipetiknya untuk dikumpulkan, untuk dikilo dijadikan rupiah.
Buah kopi matang dan siap dipetik | Foto: Dian
Walaupun sedikit tersipu malu saat menunjukan dirinya sebagai buruh petik—karena merasa paling muda itu. Ia berkata dengan lantang, “Gak malulah, kan dapat uang, Kak. Daripada diam saja, tidak punya bekal.”
Meski tergolong pemetik pemula, Umamah tak kalah lincah dari Siti. Baru saja Umamah berada di bawah untuk memindahkan hasil petik ke ember, dalam hitungan sangat cepat, ia sudah kembali bergelayut di atas pohon kopi yang lain.
Menjelang siang, kedua perempuan ini keluar dari kebun kopi. Masing-masing membawa karung plastik yang penuh biji kopi. Karung-karung itu ditimbang lalu dihitung untuk mendapatkan upah petik.
Dalam waktu 4 jam, Siti berhasil mengumpulkan 51 kilogram, sedang Umamah berhasil mengumpulkan 32 kilogram. Walaupun pemula, rupanya perolehannya itu cukup banyak.
Siti Aisyah menimbang hasil kopi yang berhasil ia petik | Foto: Dian
Hasil itu kemudian dikalikan dengan upah Rp 2.500,- per kilogram. Jika ditotal, Siti mendapat upah sekitar Rp 127,500,-. Dan Umamah sekitar Rp 77.500. Lumayan.
Dengan hasil jeri payah selama empat jam itu, Umamah merasa cukup dan puas atas perolehannya sebagai pemetik pemula—apalagi hanya empat jam. “Lumayan. Ada tambahan uang jajan,” kata Umamah singkat, yang ini sudah percaya diri.
Tercatat, Siti dan Umamah memang buruh tetap di kebun kopi milik Inwan. Setiap kali kopi-kopi di kebun itu siap panen, Siti dan Umamah pasti dipanggil untuk bekerja sebagai buruh petik, bersama buruh lainnya.
Semoga Tuhan selalu memberkati perempuan-perempuan seperti mereka bedua. Aamiin.[T]
Reporter: Sonhaji Abdullah
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto