DUA malam di Chiang Mai, saya melanjutkan perjalanan ke Pai—sebuah kota kecil di utara Provinsi Mae Hong Son Thailand, dekat perbatasan Myanmar, sekitar 146 km barat laut Chiang Mai di rute utara ke Mae Hong Son.
Perjalanan ke Pai membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam berkendara dari Chiang Mai. Karena itulah, berhubung sudah punya dan membawa SIM internasional, saya memutuskan untuk menyewa sepeda motor. Syaratnya simpel, hanya butuh Passport, SIM internasional, dan bayar sesuai dengan tipe motor yang disewa.
Beberapa hari ini Chiang Mai dan sekitarnya memang agak mendung dan basah. Untuk itu saya memutuskan berangkat ke Pai pada saat pagi hari. Motor sewaan ini membawa saya membelah bukit dan memasuki kawasan taman nasional. Hal ini mengingatkan saya saat berkendara di setengah kawasan Kintamani sampai ke Bali Barat. Suasananya bikin dejavu.
Sebelum melanjutkan perjalanan, saya berhenti di sebuah tempat ngopi sembari mendinginkan motor dan mengisi perut yang sudah lumayan berontak. Kaohsiung, kuliner sejenis soto, menjadi pilihan saya. Perut sudah terisi, mesin motor sudah stabil, saya melaju menuju Pai.
Saya sampai di Pai. Dan saya penasaran seperti apa suasananya dan apa yang membuat desa ini sangat spesial bagi para pelancong?
Dalam banyak artikel di internet, Pai disebut-sebut sebagai sebuah oasis yang tenang dan tersembunyi di lembah-lembah rimbun Thailand Utara. Dikenal dengan pemandangannya yang menakjubkan, suasana yang tenang, dan budaya yang semarak, Pai menjadi tempat peristirahatan yang sempurna bagi para pelancong yang ingin melarikan diri dari kehidupan kota yang ramai.
Perbukitan dan ladang pertanian serta saluran irigasi mengitari semua sudut, kanan-kiri, desa ini. Lanskap tersebut mengingatkan saya akan Bali, Ubud, bahkan desa saya sendiri, Desa Les, dulu, di mana padi dan semua selokan (telabah) masih mengalir dengan deras dan jernih.
Di Pai, saya menginap di penginapan yang berdiri tepat di tepi Sungai Pai. Di sini, semua tempat menginap berada di sisi-sisi ladang pertanian. Mungkin ini konsep yang diinginkan pemangku kebijakan pariwisata di Thailand dalam mengembangkan wisata yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat.
Benar. Tempat penginapan rata-rata milik warga lokal, berdampingan dengan tanah pertanian mereka. Ini yang jarang terjadi di Bali. Di Bali, khususnya di daerah pariwisata, tak banyak penginapan yang dimiliki penduduk lokal. Kondisi seperti ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan.
Menutup petang sembari makan malam saya berkunjung ke Pai Walking Street. Tempat di mana para pedagang makanan , minuman, dan cafe bertumpah ruah dengan pengunjung dari berbagai negara.
Di Pai Walking Street inilah saya sadar kenapa desa ini begitu spesial. Saya pikir, itu karena mereka menyambut pengunjung dengan apa adanya—tidak dengan keramah-tamahan palsu yang dibikin-bikin.
Di sini, mau menginap silakan, mau belanja silakan, mau makan silakan, tanpa ada perbedaan dan semua menikmati keindahan alam yang sama. Layaknya desa di masa lalu, di Pai semua orang bersuka cita, bukan lo-lo, gua-gua.[T]