PANCASILA sebagai pedoman hidup rakyat Indonesia kembali dijadikan bumper dalam rangka memperkokoh kaki-kaki kekuasaan. Baru-baru ini, Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyebutkan bahwa proses check and balance dalam pemerintahan akan lebih mudah dilakukan tanpa hadirnya oposisi, ia menyebutnya sebagai demokrasi gotong royong. Alih-alih memberi dampak konstruktif terhadap demokrasi, narasi ini justru menjadi indikasi mundurnya demokrasi di Indonesia.
Pancasila merupakan prinsip hidup yang digali oleh Ir. Soekarno, kemudian disampaikan pada sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam penjelasannya, Soekarno menyebutkan nilai-nilai Pancasila dapat diperas menjadi Tri Sila, yang terdiri dari sosio-nasionalisme, sosio demokrasi, dan ketuhanan. Dan masih bisa diperas lagi menjadi Eka Sila, yakni gotong royong. Tapi benarkah, nilai-nilai demokrasi gotong royong sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Bamsoet?
Antara Ideologis dan Demokrasi
Sebagai sebuah pedoman hidup, Pancasila jelas tidak boleh memiliki oposisi di republik ini. Pancasila harus menjadi satu-satunya ideologi atau prinsip bagi rakyat Indonesia dalam mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Rakyat harus melihat Pancasila sebagai ideologi yang harus selalu dipelajari dalam upaya untuk memahami lebih jauh nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Namun dalam konteks demokrasi, Pancasila justru memberi jaminan kepada rakyatnya untuk mengungkapkan pendapatnya—termasuk terhadap strategi pembangunan bangsa. Pertentangan ide menjadi salah satu kunci dalam melahirkan pelbagai inovasi-inovasi kebangsaan. Artinya, inovasi-inovasi tersebut hanya dapat hadir apabila terdapat kelompok oposisi di tengah dinamika politik kebangsaan di Indonesia. Tanpa oposisi, niscaya tidak akan ada partai politik yang memiliki keberanian menantang narasi penguasa.
Suara berbeda harus tetap hadir dalam proses bernegara, menjadi lebih powerfull apabila suara berbeda tersebut datang dari partai politik. Memberi ruang bagi kelompok oposisi sejatinya menjadi hal baik bagi penguasa. Mereka yang tidak bergabung ke dalam pemerintahan akan selalu siaga di setiap kesempatan untuk mengingatkan sekaligus melontarkan kritik apabila kekuasaan sedang tidak berada di jalurnya.
Meski idealnya demikian, upaya merangkul seluruh pihak demi meminimalisir partai politik yang berada di luar kekuasaan secara intens dilakukan oleh Prabowo pasca ditetapkan sebagai pemenang Pemilu 2024 oleh KPU RI. Upaya tersebut dilakukan dengan keyakinan bahwa tanpa adanya oposisi, pembangunan akan semakin mudah dilakukan. Alih-alih memudahkan pembangunan, upaya menegasikan kelompok oposisi di tengah dinamika kebangsaan nyatanya memberi ruang-ruang baru bagi praktek penyelewengan kekuasaan.
Narasi gotong royong memang memiliki citra positif di mata rakyat, namun dalam konteks ini, kekuasaan harus tetap dihadapkan dengan suara tandingan. Pola pemerintahan seperti ini kemudian akan melahirkan proses check and balance yang sehat dan berimbang. Menjaga keseimbangan dua kutub kekuatan politik menjadi penting. Terkumpulnya kekuatan politik dalam satu titik memberi ruang bagi lahirnya kebijakan-kebijakan kontroversial.
PDIP dan PKS Jadi Harapan
Upaya konsolidasi terus dilakukan oleh pihak pemenang, salah satunya merangkul pihak-pihak yang kalah untuk bergabung ke dalam kekuasaan. Nasdem dan PKB menjadi dua partai yang telah menunjukkan gesture dukungan kepada pemerintahan Prabowo di lima tahun mendatang. Berbeda dengan PDIP dan PKS, kedua partai ini belum menunjukkan sikap dan posisinya di pemerintahan Prabowo-Gibran.
Apabila PDIP dan PKS memutuskan menjadi oposisi pada pemerintahan Prabowo-Gibran, maka dapat dipastikan proses pengambilan keputusan akan semakin dinamis. Pemerintah akan lebih berhati-hati dalam merumuskan sebuah kebijakan. Prinsip kehati-hatian menjadi satu hal penting, apalagi kebijakan tersebut selanjutnya akan memberi dampak kepada kehidupan rakyat.
Hadirnya oposisi di tengah dinamika politik kebangsaan, memiliki arti bahwa dalam perjalanannya, rakyat tidak akan berjuang sendiri. Terlalu banyak dan berat isu yang harus diperjuangkan rakyat apabila seluruh partai politik bergabung ke dalam pemerintahan. Apabila isu-isu yang diperjuangkan rakyat tidak mendapat ruang atau tidak mendapat perhatian kekuasaan, besar kemungkinan situasi kebangsaan tidak akan kondusif. Bahkan keadaan chaos pun bukan menjadi satu hal yang mustahil.
Apabila PDIP dan PKS telah berkomitmen berada di seberang kekuasaan, maka dua partai politik tersebut akan menjadi kanal utama yang digunakan rakyat dalam rangka menyampaikan aspirasinya. Dan hal tersebut justru mendatangkan keuntungan bagi PDIP dan PKS—setidaknya keuntungan elektoral untuk perhelatan pemilu selanjutnya.
Koalisi gemoy Prabowo-Gibran dapat dilihat sebagai upaya mengkristalisasi kekuasaan, membiarkan kekuasaan beredar hanya di tangan-tangan segelintir elit. Di sisi lain, koalisi gemoy dipandang sebagai jalan utama bagi kelompok penguasa guna mengamankan pelbagai agenda-agenda politiknya.
Pada akhirnya, Pancasila sangatlah menghendaki hadirnya kelompok-kelompok oposisi di dalam dinamika politik Bangsa. Alih-alih memberi keuntungan bagi banyak pihak, kristalisasi kekuasaan justru hanya mendatangkan keuntungan bagi segelintir pihak. Berharap dapat meningkatkan kualitas demokrasi, nyatanya praktek-praktek tersebut justru mengantarkan demokrasi Indonesia pada situasi stagnan, bahkan lebih buruk lagi, yakni menuju kemunduran. [T]
aca esai-esai politikTEDDY CHRISPRIMANATA PUTRAlainnyaDI SINI