TAMAN Kota Singaraja. Saat jalanan masih tampak sepi dan sebelum salat Idul Adha dilaksanakan di sana, memotong dingin dan kabut pagi, Gede Sedia (70) sudah ada di Jalan Ngurah Rai No. 42 Singaraja lebih dulu dengan membawa setumpuk koran bekas untuk dijual kepada jamaah Idul Adha, Senin, (17/6/2024) pagi.
Ya, lelaki bertopi itu adalah penjajak koran bekas. Ia menanti para jamaah datang dan membelinya untuk tilam atau alas ketika salat Ied. Ia terlihat santai dengan rokok di mulutnya dan koran-koran di tangannya. Tanpa kekhawatiran sedikit pun, walaupun di sampingnya berderet panjang para pesaingnya—sesama penjual koran bekas.
Jam 06.58. Dari kejauhan, orang-orang, lengkap berbusana muslim, mulai berdatangan ke arahnya. Laki-laki dan perempuan, sendiri dan bersama keluarga, menenteng sajadah di bahunya dan Sedia menenteng setumpuk koran di tangan kanannya.
Gede Sedia saat menjajakan koran di Taman Kota Singaraja | Foto: Son
Walaupun kaki kanannya terdapat bekas luka patah tulang, ia berdiri tak lagi seimbang, dengan cermat lelaki paruh baya itu melempar keramahan, menutupi kekurangan dirinya. Ia menawarkan koran-koran kepada orang-orang yang datang dengan senyuman.
Terus menerus ia lakukan dengan suka cita. Ya, dengan suka cita. Sekitar 5 ribu sampai 10 ribu koran-koran miliknya dijual kepada jamaah yang datang.
“Koran-korannya, Bu. Koran-korannya, Pak,” ucap lelaki itu sambil tersenyum menawarkan koran-korannya kepada para jamaah yang mulai berdatangan untuk salat.
Berjualan koran-koran bekas ternyata bukan pertama kali baginya. Setiap hari raya muslim, ia telah terbiasa berjualan koran-koran bekas di Taman Kota untuk alas salat.
Dan tak menentu, di mana ia mesti melapak dan menawarkan dagangannya ke orang-orang jika hari raya itu sudah tiba. Dinamis.
Kelihaiannya dalam menawarkan koran-koran (waktu itu koran baru), jelas ia bukan “pemain” baru. Ternyata kelihaiannya sudah diasah selama 21 tahun lalu. Tepatnya saat kematian Nike Ardila.
Lelaki paruh baya itu masih ingat betul bagaimana 21 tahun lalu koran-korannya sangat laku terjual. Terutama koran-koran yang mengkabarkan kematian penyanyi kondang asal Bandung itu.
Di Taman Kota, di lampu merah, dan di dekat dinas-dinas pemerintahan, Sedia berjualan. Tanpa menunggu lama koran-koran yang ia bawa tentang Nike Ardila itu, dia berkata, sebentar saja raib dibeli orang-orang di sana. Dan pundi-pundi rupiah bisa terkumpul di kantongnya setiap hari, di tahun 1995—tahun yang tidak mengenakkan bagi bangsa Indonesia.
Memang, tahun itu adalah tahun terberat bagi dunia musik bangsa ini. Terutama bagi penikmat musik—yang mengidolakan Nike Ardila, pemilik suara merdu dan khas. Dan kematiannya adalah kabar duka sangat dalam untuk dunia musik Tanah Air.
Apalagi Nikke Ardila pergi masih terlalu muda, 19 tahun. Dengan karya-karya yang cukup banyak hingga dijuluki sebagai “Lady Rocker”. Hingga sekarang, nyaris setiap lagunya masih banyak yang diputar. Menanandakan masih banyak orang yang tak lupa—menikmati karya-karyanya untuk mengenang.
Jamaah Idul Adha di Taman Kota | Foto: Son
Dan lelaki berkemeja itu, ternyata masih ingat betul bagaimana kabar duka perempuan bernama lengkap Raden Rara Nike Ratnadilla Kusnadi itu menyorot perhatian banyak orang. Dan pula banyak orang yang membicarakannya di mana-mana, di waktu itu.
“Kalo hari raya Islam, biasanya saya jualan koran bekas di sini buat alas orang salat. Tapi dulu, waktu berita Nikke Ardila meninggal, pernah saya keliling jualan koran terbaru tentang Nike Ardila di sekitar Kota Singaraja ini. Itu banyak sekali yang beli,” ucapnya lirih.
Hanya saja, sejak kakinya tak lagi bisa berjalan normal akibat patah tulang karena kecelakaan, ia memensiunkan diri berjualan koran. “Paling pas hari raya semacam ini saja saya jualan lagi. Sebagai sampingan,” katanya lirih.
Kini, lelaki tua itu banyak menghabiskan waktu untuk menjadi juru parkir di Pantai Bali Taman Seririt, dan sesekali bantu-bantu di warung makan milik anaknya di Taman Kota Singaraja setiap Sabtu dan Minggu.
Dan pengalamannya bergelut berjualan koran di jalanan, membuat lelaki tua itu tak hanya pandai menawarkan koran. Ternyata ia juga pandai melihat peluang bisnis—menwarkan yang lain kepada saya selain koran.
“Bolehlah mampir nanti adik ngopi di warung tempat saya bantu-bantu itu,” ucap lelaki yang biasa di sapa Pak Gede itu sambil tersenyum.
“Haha.. Asiaaap Pak!” kata saya. “Laris manis usahanya yah, Pak.”
Sampai di sini, saya berpikir bahwa Idul Adha, selain berkah bagi umat Islam, ternyata juga berkah bagi Gede Sedia, pria tua yang notabene menganut keyakinan agama yang lahir di sekitaran Sungai Hindus itu. Agama, sejauh ini, dan dalam beberapa hal, memang masih perlu untuk diyakini—khususnya ajaran-ajarannya tentang kemanusiaan dan cinta kasih.[T]
Reporter: Sonhaji Abdullah
Penulis: Sonhaji Abdullah
Editor: Jaswanto