PENULIS pantas kagum dan bangga jika orang-orang Madura di perantauan tidak melupakan tanah nenek moyangnya. Di sana, mereka dapat berbaur dengan masyarakat asli bahkan belajar menguasai bahasa daerah tempat mereka merantau tanpa menghilangkan bahasa asli mereka, Bahasa Madura.
Meski leluhur penulis berasal dari Tanah Madura, tapi hingga saat ini penulis tidak bisa berkomunikasi dengan bahasa Madura dengan baik. Namun ketika kebetulan bertamu di rumah orang yang berbahasa Madura, sebaik mungkin penulis akan berkomunikasi dalam bahasa Madura.
Ya, meski pelafalan bahasa Madura penulis kedengaran kaku, tapi setidaknya penulis masih berkesempatan untuk mempelajari tata bahasa Madura. Penulis ingin punya nilai lebih sebagai orang Madura.
Penulis lahir dan besar di sebuah kota yang terkenal dengan Gunung Bromonya. Keluarga penulis berasal dari Sumenep.
Tahun 1880-an, ketika pemerintah kolonial Belanda mengadakan program transmigrasi, kakek dan nenek buyut penulis ikut program tersebut sehingga mereka pun pindah ke sebuah wilayah yang berada di Jember, Puger nama desanya.
Di sana, mereka berprofesi sebagai petani. Perlu diketahui bahwa orang-orang Madura sejak dulu memang ahli dalam mengelola tanah pertanian dengan hasil yang melimpah.
Tidak hanya cakap dalam mengolah tanah, mereka juga banyak menguasai ilmu pembibitan dan pengairan sehingga petani Jember pun lambat laun turut banyak yang menguasai ilmu pertanian.
Setelah berhasil mengajarkan ilmu tani di Jember, kakek nenek buyut penulis lalu hijrah ke utara: Banger, sekarang dikenal sebagai kota Probolinggo. Mereka membangun rumah dengan gaya rumah-rumah priyayi Sumenep. Pondasi rumah dibuat tinggi dan berundak. Di emperan teras terdapat pilar-pilar dan kanopi yang menjulur ke depan. Persis rumah lora-lora yang sering penulis lihat di foto tua.
Tak berselang lama kemudian, lahirlah anak-anak mereka. Tapi penulisng, kakek buyut meninggal dunia karena sakit. Enam tujuh tahun kemudian, nenek buyut menyusul beserta tiga orang anaknya yang lain akibat keracunan krathok.
Alhamdulillah, ketiga anaknya yang lain selamat dari maut, termasuk nenek penulis sendiri. Setelah kepergian ibunya, nenek penulis dan kakaknya merantau ke Surabaya, Malang, Situbondo, dan Bondowoso dengan bekerja sebagai babunya Londo dan Cina.
Setelah dewasa, kakak nenek penulis menikah dengan keturunan Sidi Waseso sehingga darinya kelak lahir kakak sepupu penulis yang menjadi Amangkurat di Keraton Astatinggi, Sumenep. Sedangkan dari nenek, lahirlah penulis. Tidak banyak yang tahu jika penulis masih memiliki darah keturunan keraton Sumenep. Termasuk para kiai di Jawa yang memiliki tali darah dengan keluarga penulis.
Cukuplah itu. Di sini, penulis tidak akan membahas tentang asal-usul keluarga. Bagi penulis, tidaklah penting meskipun penulis memiliki nasab dari adipati Sumenep. Penulis hanya ingin menjadi rakyat biasa sehingga mudah bergaul dengan orang lain tanpa sekat.
Nah, kembali ke bahasa Madura. Jujur, meski penulis keturunan orang Madura, namun penulis tampak kaku dalam pengucapan bahasa Madura. Akan tetapi, setelah penulis menikah dengan istri yang berasal dari lingkungan orang-orang berbahasa Madura, penulis pun jadi terdorong untuk mempelajari bahasa Madura dengan baik dan benar.
Kerap kali penulis temukan banyak kesalahan pelafalan, baik yang diucapkan maupun yang berseliweran dalam rupa tulisan di media-media sosial. Adakalanya susunan kalimat dalam percakaan dan penulisan di media sosial berupa dialek gado-gado antara bahasa Madura Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Penulis merasa geli dan sering mengoreksi logat yang mereka ucapkan. Meski sebenarnya mereka bisa berkomunikasi dalam basa Madura, tapi betapa masih banyak orang-orang Madura yang berada di Madura sendiri maupun yang ada di daerah Tapal Kuda (Baca: Pantura, Jawa) yang tidak bisa menulis ejaan Madura dengan baik dan benar.
Berikut ini beberapa contoh kekeliuan penulisan yang sering penulis jumpai, berikut revisinya berdasarkan 2 kaidah ejaan bahasa Madura, yakni kaidah ejaan Madura sesuai hasil Sarasehan 1973 dan kaidah ejaan Madura hasil Konsinyasi (Kongres) Balai Bahasa Jawa Timur (2008-2011).
Lokah tapeh tak adere. Penulisan yang benar untuk kalimat tersebut adalah: “Loka tape tak adhara”, atau dengan ejaan yang baru — Loka tapè ta’ aḍârâ
Cek lopah: Ja’ loppa atau Jhâ’ loppa
Abe’en dibik: Ba’na dibi’ atau Bâ’na dhibi’
Emak sakek: Emma’ sake’ / Emma’ sakè’
Tolesannah lanjeng: Tolesanna lanjang / Tolèsanna lanjhâng
Bapak deteng deri sabe= Eppa’ dhateng dhari saba / Eppa’ ḍâteng ḍâri sabâ
Burawi ngakan ning berung= Burawi ngakan neng e barung / Bhurawi ngakan neng è bârung
Kyaeh bhuru deteng deri konjengan= Kyae buru rabu (dhateng) dhari onjangan / Kyaè bhuru rabu (ḍâteng) ḍâri onjhângan.
Catatan: ada yang menyebut Ma’ Kaè, karena orang Madura jaman doeloe menyebut Eppa’ dengan Mama’, Emma’ dengan Embu’. Jadi, dengan menisbatkan pada panggilan Eppa’ (lelaki), sebagian orang Madura menyebut Kyaè (lelaki sepuh yang terhormat) dengan sebutan Ma’ Kaè.
Lanjut, sekadar diketahui, berikut ini beberapa contoh macam-macam dialek bahasa Madura berdasarkan wilayah atau daerah masing-masing. Coba penulis kelompokkan menjadi 4 bagian: 1) Sumenep bagian timur, 2) Sumenep bagian barat dan Pamekasan, 3) Sampang, 4) Bangkalan.
Sebenarnya, perbedaan antara dialek Sumenep bagian timur, Sumenep bagian barat, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan hanya terletak pada penyebutan kata ganti orang yang diajak bicara, yakni KAMU.
Masyarakat Sumenep bagian timur menyebut KAMU dengan ba’na/bâ’na (Baca: be’na), sementara mayoritas masyarakat Sumenep bagian barat (Lenteng ke selatan-ke utara dan ke barat) juga warga Pamekasan menyebut KAMU dengan kata: ba’en/bâ’en (baca: be’en).
Sedangkan masyarakat Sampang dan Bangkalan memiliki sebutan tersendiri yang sama sekali tidak mirip dengan penyebutan KAMU bagi orang Sumenep dan Pamekasan. Orang Sampang menyebut BA’NA atau BA’EN dengan KAKEH (baca: kakèh), sementara orang Bangkalan menggunakan Hedhah atau Hèḍâh (baca: hèdeh).
Di bawah ini 4 contoh kalimat atau okara percakapan bahasa Madura berdasarkan 4 dialek yang ada.
DIALEK SUMENEP TIMUR
Be’na alako apa jreya ma’ ta’ lem mare molae kelle’? (KELIRU)
Ba’na alako apa jareya ma’ ta’ gellem mare molae gella’? Atau, Bâ’na alako apa jârèya ma’ ta’ ghellem marè molaè ghellâ’? (BENAR)
DIALEK SUMENEP BARAT & PAMEKASAN
Be’en re lako nemmo pei, ce’ tuliyana kan la mare parkarana ciah! (KELIRU)
Ba’en re lako nemmo bai, ja’ duliyana kan la mare parkara jiyah! Atau, Bâ’en rè lako nemmo bhâi, jhâ’ dhuliyâna kan la marè parkara jiyâh! (BENAR)
DIALEK SAMPANG
Tettih kakeh entar ka tang bungkoh? (KELIRU)
Daddi kakeh entar ka tang bengko. Ada pula yang mengatakan tang bengko dengan “tang roma”. (BENAR berdasarkan ejaan hasil Sarasehan 1973).
Atau, jika ditulis berdasarkan ejaan yang baru (Kongres BBJT, 2013), maka menjadi: Dhâddhi kakèh èntar ka tang bengko.
DIALEK BANGKALAN
Hedeh ma’ puru dateng, de’emma bhai molae ghellak? (KELIRU)
Hedhah ma’ buru dhateng, dha’emma bai molae gella’? Atau, Hèḍâh ma’ bhuru ḍâteng, ḍâ’emma bhâi molaè ghellâ’? (BENAR)
Menulis kek gitu aja kok repot! Payah loe. Hhe..
Penulisan ejaan-ejaan di atas kadang membuat penulis geli. Pernah penulis bertanya kepada anak-anak santri dari Kuripan.
“Le, kamu orang mana?”
“Penulis orang Madura, Mas.”
“Madura mana?”
“Tidak tahu.”
“Masa loe enggak tau asal-usul loe? Atau jangan-jangan loe berasal dari Pluto, Conk!” umpatku sambil guyon.
Jawaban yang aneh. Ditanya berasal dari Madura mana, jawabnya tidak tahu. Lha kan aneh, to!? Mestinya, paling tidak dia pernah bertanya kepada orangtuanya agar memberitahukan asal-usul keluarganya.
Sebelum menutup, penulis merasa bangga dengan adanya media online yang fokus meramaikan bahasa Madura dengan penulisan yang baik dan benar pula. Seperti dimadura.id, alangkah baiknya jika dijadikan sarana untuk saling sharing dalam melestarikan Bahasa Madura, sehingga bahasa nenek moyang kita ini, sangkolan Bhâsa Madhurâ ini, tidak punah karena distorsi bahasa luar (asing).
Sekian, dan mari kita bersama-sama belajar bahasa dan budaya Madura, rawat serta lestarikan peninggalan nenek moyang yang telah mendirikan kerajaan di Madura ini dengan hati yang indah. [T]