Menyambung tulisan saya terdahulu tentang Paradoks di Timur Tengah, kali ini saya tergerak untuk berkomentar tentang gerakan viral beberapa hari belakangan, siapapun yang membaca tulisan ini pasti familiar dan bahkan turut pula meramaikannya: All Eyes on Rafah.
Gerakan ini adalah reaksi keras masyarakat dunia terhadap serangan sadis nan mematikan Israel ke Rafah, tempat perlindungan sekaligus kota terakhir di Jalur Gaza, terutama pada Minggu (26/5) dan Selasa (28/5).
Setidaknya 71 orang tewas termasuk wanita dan anak-anak serta 249 lainnya luka-luka (detik.com). Tentang bagaimana data dan fakta mengenai tragedi tersebut, silahkan kawan-kawan simak laporan dari berbagai kanal berita terpercaya, niscaya lengkap semua wacana dan analisisnya.
Disisi lain, ada satu persoalan yang menurut saya cukup menarik; Gambar yang menyertai seruan All Eyes on Rafah di media sosial.
Ini bukan gambar asli melainkan rekayasa kecerdasan buatan (AI) yang menampilkan pemandangan udara dari sebuah kamp yang ditata dalam barisan tenda, dengan tulisan “All eyes on Rafah” di tengahnya. Template gambar AI tersebut dibuat oleh pengguna Instagram dengan akun @shahv4012.
Pengguna ini menggunakan fitur Instagram “Add Yours” untuk memungkinkan pengguna lain membagikan gambar tersebut dengan lebih mudah. Dalam tiga hari terakhir, gambar diatas telah dibagikan lebih dari 46 juta kali dan mendominasi wacana media sosial mengenai agresi Israel di Gaza (cnbcindonesia.com). Bagaimana sebetulnya etika gerakan aktivis di dunia digital?
Perdebatan
For your reference, gerakan ini terinspirasi dari pernyataan “all eyes on Rafah” oleh Rick Peeperkom, Direktur Kantor Wilayah Pendudukan Palestina di WHO, yang secara harfiah bermakna “Semua mata tertuju pada Rafah”. Dia mengajak masyarakat global untuk menggalakkan solidaritas dan kepedulian terhadap penderitaan warga Rafah akibat serangan Israel dan langsung mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan di Media Sosial, termasuk Indonesia, Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.
Figur publik terkenal, baik selebritis maupun olahragawan internasional seperti Bella Hadid, Celeste Barber, Nicola Coughlan, dan Ousmane Dembele ikut berpartisipasi. Hanya saja, kampanye tersebut mendapat sorotan terbaru yang menyinggung dilema aktivisme di era media sosial terutama berhubungan dengan kesengajaan menciptakan sensasi untuk menarik perhatian publik versus menjaga transparansi dan validitas informasi.
Perlu diingat, saya tidak sedang meremehkan gerakan masyarakat sipil global ini, melainkan turut bersimpati. Meski demikian, menjunjung validitas informasi harus tetap menjadi pilar penting dalam prinsip dasar aktivisme oleh siapapun. Jangan sampai motif mulia terdegradasi oleh taktik problematik.
Lanskap Media Sosial dan Sifat Algoritma
Lanskap media sosial saat ini memang menghadapkan aktivis pada godaan untuk mengambil jalan sensasionalisme demi merebut perhatian publik. Algoritma platform digital cenderung mempromosikan konten yang provokatif dan mengundang engagement dibanding substansi. Studi dari Pew Research Center pada 2021, setelah menganalisis konten Youtube dan Facebook, menunjukkan bahwa konten emosional dan kontroversial memiliki peluang lebih besar untuk viral dibandingkan konten informatif yang netral.
Dalam konteks ini, aktivis sering kali dihadapkan pada dilema antara memproduksi konten yang dapat menjangkau audiens luas namun berisiko melibatkan disinformasi atau mempertahankan integritas informasi tetapi dengan jangkauan yang terbatas.
Dalam kasus “All Eyes on Rafah”, upaya menggalang empati global untuk korban konflik justru terganggu lantaran kredibilitas kampanye dipertanyakan. Energi dan diskusi publik lebih tersedot untuk memperdebatkan etika taktik penggunaan foto AI dibanding substansi isu kemanusiaan di Rafah.
Jalan menuju tipping point opini publik menjadi terhambat. Tanpa landasan kredibilitas, sensasi yang diciptakan hanya menjadi ledakan sesaat yang tak berkelanjutan untuk menggerakkan perubahan.
Meski demikian, saya cukup memaklumi alasan mengapa para pendukung kampanye lebih condong menggunakan foto AI. Itu adalah alternatif untuk merepresentasikan penderitaan warga secara visual. Ditambah persoalan repotnya mengakses zona konflik.
Visi Aktivisme di Era Perkembangan Teknologi
Perkembangan teknologi AI dan visualisasi seperti Virtual Reality (VR) di masa mendatang membuka peluang tapi juga risiko baru bagi aktivisme. Di satu sisi, kemampuan mereproduksi realitas secara realistis dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan edukasi dan membangun empati terhadap isu-isu kemanusiaan.
Namun di sisi lain, jika tidak diimbangi kejujuran dan transparansi, teknologi tersebut berpotensi disalahgunakan untuk menyebarkan persepsi palsu yang justru kontraproduktif. Kredibilitas aktivisme bisa terkikis jika terlalu mengedepankan sensasi dengan manipulasi realitas.
Pada akhirnya, bagaimana aktivisme menavigasi lanskap media baru tidak cukup dengan mengeksploitasi sensasionalisme dan mengejar viralitas semata. Diperlukan strategi konten yang mengombinasikan sensasi untuk membuka jalan diikuti penyampaian substansi dengan transparansi dan validasi data. Aktivis perlu memastikan bahwa informasi yang disebarkan telah diverifikasi dan dipresentasikan dengan konteks yang tepat.
Hanya dengan prinsip integritas dan kredibilitas yang kokoh, aktivisme mampu melampaui kepanikan sesaat menuju membangun kesadaran mendalam untuk menggerakkan perubahan nyata. Kasus “All Eyes on Rafah” kiranya menjadi pelajaran berharga bahwa di tengah gempuran konten media sosial, publik semakin meningkatkan sensitivitas mereka terhadap disinformasi.
Itu artinya, meskipun sensasi dapat membuka mata dunia terhadap isu-isu penting, keberlanjutan dan dampak nyata dari gerakan tersebut sangat bergantung pada kepercayaan publik.
Oleh karena itu, masa depan aktivisme harus berlandaskan pada transparansi, validasi data, dan strategi komunikasi yang bertanggung jawab. Dengan begitu, aktivisme dapat terus menjadi kekuatan yang mendorong perubahan positif di masyarakat. [T]