SEBELAS dua belas dengan Pilpres. Modal dana besar di Pilkada tidak menjamin pasti menang. Nama besar? Masih belum tentu juga. Partai pendukung beken di daerah tersebut? Bukan juga. Sayang sekali.
Banyak yang mengira bahwa banyaknya perolehan suara paslon gubernur, walikota, atau bupati di daerah sangat berbanding lurus dengan banyaknya kucuran dana yang digelontorkan. Banyak dana berarti banyak suara, banyak uang berarti semakin besar peluang kemungkinan untuk menang.
Apakah benar demikian? Sayangnya tidak juga.
Banyak contoh calon kepala daerah di Pilkada yang merosot walau memiliki kekayaan berlimpah ruah. Kalian bisa googling sendiri untuk mencari tahu siapa saja orangnya. Banyak tahu. Di Pilkada, aturan seperti ini masih berlaku. Dana besar memang perlu, tapi bukanlah faktor penentu. Bila uang bukanlah penentu garansi menang, lalu apa? Apakah figur dan prestasi calonnya? Endak juga.
Memang ada calon yang sudah tenar, beken, berprestasi, dan dikenal sejak lama, tapi jumlahnya tidak seberapa. Kebanyakan dari calon kepala daerah itu, kita baru tahu pas hari-hari menjelang pilkada. Benert tho? Gara-gara gambarnya ada di mana-mana, apalagi saat-saat kampanye dan menjelang hari pemilihan, justru baru kita tahu “oohhhhhh ini to calon calonnya”.
Ketika dana besar dan figur calon tidak bisa dijadikan garansi untuk memenangkan pertarungan, tapi ada satu yang bisa, yaitu Tim Sukses. Namanya saja menyandang kata sukses tapi pekerjaannya gila bukan main.
Sekelompok orang yang tujuannya memenangkan salah satu paslon ini, perannya sangat krusial dalam Pilkada. Bahkan, tim sukses ditengarai harus mampu dan kompeten serta memahami segala situasi, kultur, budaya, kebiasaan, dan seluruh kegiatan Masyarakat.
Harus paham juga cara mengendalikan organisasi massa dan bahkan harus mampunya menguasai 4 elemen dasar, yaitu air, api, udara, dan tanah. Hahaha
Secara tidak langsung, faktanya tim sukses ini adalah cerminan dari calon yang diusung. Ketika tim sukses memiliki kepribadian yang baik, ramah, serta dekat dengan masyrakat, ringan tangan saat dimintai bantuan, tanpa menenunjukkan SKCK pun masyarakat bisa menilai bahwa calon yang diusung tim sukses ini juga orang yang baik. True, begitu kenyataannya di lapangan.
Para pemilih, apalagi yang berada di desa-desa, jarang sekali memandang atau memikirkan calon kepala daerah. TOH, SIAPAPUN YANG JADI, NASIB MEREKA TETAP BEGITU-BEGITU SAJA. Kalimat klasik yang kayaknya hampir semua masyarakat desa mengatakan begitu.
Sebagian besar pemilih bukan memilih karena mendukung calon, atau menyukai program-programnya. Karena nyatanya mereka toh ndak paham sama program-program tersebut, apalagi cuma terhitung beberapa hari saja masa kampanye, jelas ndak diinget di benak masyarakat.
Jadi, itu lebih kepada perasaan balas budi kepada tim suksesnya. Apalagi ketika tim sukses di masyarakat dikenal sebagai ujung tombak sehingga banyak orang yang merasa berutang budi atas kebaikan yang telah dilakukan oleh tim sukses.
Setiap kali ada kegiatan di lingkungan, si tim sukses ini langsung turun dan berbaur dengan masyarakat. Rela mengeluarkan tenaga dan biaya bahkan waktu demi kepentingan bersama.
Sudah berkorban banyak hal tanpa meminta apa-apa kala itu, lalu pada saat momen menjelang hari pencoblosan Pilkada tiba-tiba tim sukses ini minta dukungan kita untuk mencoblos satu suara terhadap calon yang diusungnya. Apakah kira-kira masyarakat akan menolaknya?
Tentu sangat sulit sekali untuk mengatakan “tidak”, apalagi berpindah haluan memilih calon sebelah. Tim sukses seperti ini hampir bisa dipastikan akan mendulang banyak suara untuk calon yang diusung.
Begitu pula sebaliknya. Saat ada salah satu tim sukses, yang kesehariannya kurang baik dengan masyarakat, gunjing sana gunjing sini, menjelekkan calon sebelah, tiba-tiba saat Pilkada meminta bantuan pada kita untuk memilih calon yang diusungnya, kira-kira bagaimana respons masyarakat?
Saya meyakini, dalam bibir bisa saja masyarakat berkata iya atau mengangguk-angguk karena merasa gak enakan, dalam jabat tangan yang berisi amplop sudah barang tentu diterima, tapi di dalam TPS, semuanya masih menjadi rahasia. Di atas perhitungan matematis tim sukses dikira menang, namun di bilik suara ternyata suaranya melayang.
Pemilih mengatakan “iya” bukan karena mereka mau, melainkan karena dalam kultur masyarakat bahwa menolak permintaan orang lain masih dianggap sebagai hal yang tidak sopan. Sekalipun yang meminta bantuan orang yang kurang baik terhadap masyarakat, tetep dianggap tidak sopan. Kultur yang sulit dilawan karena mempertaruhkan perasaan dua insan.
Tim sukses tipe kedua ini, nyatanya jarang sekali mendulang banyak suara bagi calon yang diusungnya. Bahkan disinyalir malah tidak memperoleh suara sama sekali. Maka dari itu, bagi calon yang mempunyai tim sukses semacam ini, siap-siap saja menerima pil pahit, sudah kalah, kesan di masyarakat juga jadi gak baik. Apes tenan.[T]