KETIKA membaca sekilas sebuah rangkaian penggalan kata yang teruntai menjadi kalimat pada sampul dua dimensi novel Segala Yang Diisap Langit, saya tidak menaruh perasaan berlebih semacam tertarik, selain pada warna biru, gambar matahari, dan satu bunga yang terdapat di tampilannya.
Terhadap judulnya, pikiran saya hanya menerima proyeksi apa yang terlihat oleh mata, menafsirkannya dalam bentuk bahasa berupa kata-kata, menangkap maksud sekilas, kemudian secara otomatis memberikan gambaran asal tentang isi novel yang barusan judulnya saya baca.
Tidak ada perkiraan awal memikirkan, apakah saya akan menyukai isi cerita dalam novel ini? Lantas adakah alasan khusus memilih novel yang secara awam tidak ada sedikitpun pemaparan bocoran perihal cerita di dalamnya kepada saya sebagai pembaca yang akan menikmati tulisan ini?. Jawabannya, nihil.
Atas dasar ketidaktahuan itulah, tidak ada sedikitpun prasangka dibuat-buat untuk menebak tentang isi cerita yang akan saya nikmati ini dan justru hal tersebut membuat saya selalu tercengang tidak menyangka atas setiap kata-kalimat-paragraf yang terangkai di tiap lembarnya.
Segala Yang Diisap Langit karya Pinto Anugrah memberikan gambaran awal kepada saya tentang segala hal berhubungan dengan objek berupa benda maupun non-benda yang keberadaannya di dunia ini bersifat fana, kemudian lantas ketika waktunya telah tiba akan dikembalikan kepada langit Sang Maha Pemiliki Segalanya.
Akan tetapi, anggapan tersebut ternyata lebih ringan, daripada keseluruhan cerita pada novel yang memberatkan pikiran, ketika akhirnya saya memutuskan untuk membaca halaman pertama bagian bab awal.
Berkisah tentang histori keluarga bangsawan Rangkayo Minangkabau, novel ini mengangkat tema tentang kebudayaan yang di dalamnya mengaitkan segala aspek budaya, meliputi adat istiadat, perilaku atau kebiasaan masyarakat adat, dan tradisi lama, dengan aspek spiritualitas kepercayaan ajaran agama dan kegigihan perjuangan.
Lebih jelas di dalam novel menuliskan kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau yang masih berpegang erat pada kebiasaan adat istiadat daerah setempat dan penolakan terhadap kehadiran ajaran baru sebab dirasa akan menghapus budaya leluhur yang sudah turun menurun diwariskan.
Dengan empat tokoh utama pelaku dalam cerita yang menjadi penentu jalan cerita dan terjadinya setiap konflik dalam cerita, yaitu Bungo Rabiah, Magek Takangkang, Tuanku Tan Amo, dan Karengkang Gadang, tulisan ini nantinya akan membahas tentang pemertahanan budaya leluhur adat Minangkabau sampai dengan kegigihan perjuangan dalam upaya memberikan paham kebenaran spiritualitas ajaran agama Islam yang akan mengubah hidup masyarakat ke jalan yang benar.
Identitas Matrilineal
Pertama-tama, pembahasan novel ini akan diurutkan dari latar belakang latar tempat dan budaya yang diceritakan dalam novel ini yaitu Minangkabau. Menurut Dirajo dalam Rahmat dan Maryelliwati (2018), Minangkabau merupakan sekelompok etnis yang berbahasa dan menjunjung tinggi adat Minangkabau di Indonesia. Masyarakat Minangkabau memiliki aspek utama identitas dengan menempatkan perempuan sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan (Rahmat dan Maryelliwati, 2018).
Garis utama keturunan dalam keluarga akan diurutkan dari ibu atau mandeh (dalam bahasa Minangkabau) dan ayah hanya akan diperlakukan sebagai tamu keluarga. Definisi dari identitas masyarakat Minangkabau tersebut disebut matrilinealitas (atau sering diperpendek menjadi matrilineal). Identitas matrilineal sangat dijunjung tinggi dalam keluarga bangsawan Minangkabau (atau yang sering disebut Rangkayo) untuk dikukuhkan sebagai pewaris utama harta kekayaan keluarga yang biasanya berupa rumah tempat tinggal yaitu Rumah Gadang (artinya besar).
Gadang menjadi rumah kebesaran identitas Minangkabau yang dalam artian luas memiliki fungsi dan peranan penting berkaitan dengan kehidupan serta tradisi adat masyarakat Minangkabau.
Identitas matrilineal dalam novel langsung ditampakkan pada awal cerita dengan menghadirkan tokoh utama bernama Bungo Rabiah. Diceritakan bahwa Bungo Rabiah sangat mendambakan keturunan anak perempuan sebagai pewaris Rumah Gadang Rangkayo. Akan tetapi, seiring bertambahnya usia, Bungo Rabiah tak kunjung juga dikaruniai pewaris tersebut, sehingga hal ini membuatnya khawatir dengan kenyataan akan kebenaran kutukan bahwa keturunan Rangkayo akan berhenti pada pewaris ketujuh yaitu dirinya.
Walau begitu, masih ada satu keresahan hati Bungo Rabiah. Ia belum memiliki seorang anak perempuan, yang nantinya menjadi pewaris dari Rumah Gadang Rangkayo ini. (Halaman 20)
Usia kepala tiganya hampir habis, tapi ia belum juga beranak perempuan. Belum juga meninggalkan pewaris untuk Rumah Gadang Rangkayo ini. Seorang anak perempuan sebagai pelanjut lambang kebesaran dari Rumah Gadang Rangkayo ini. (Halaman 21)
Kutipan kalimat di atas memperjelas adanya keresahan dan kekhawatiran dalam diri Bungo Rabiah yang tidak kunjung diberikan keturunan seorang anak perempuan sebagai pewaris harta kekayaan keluarga Rangkayo dan pikiran bahwa keturunannya punah.
Akan tetapi, suatu hari ketakutan itu akhirnya lenyap juga tatkala Bungo Rabiah mengetahui bahwa dirinya sedang hamil seorang anak perempuan. Buah hatinya bersama Tuanku Tan Amo yang membuat hatinya bahagia sebab kutukan kepunahan keturunan Rangkayo itu tidak terjadi dan pewaris perempuan akan berlanjut dari rahimnya. Kebahagiaan akan kehadiran pewaris perempuan ini terabadikan dalam beberapa kutipan sebagai berikut.
Ketika Bungo Rabiah tahu pada awal ia mengandung, perasaannya sungguh teramat bahagia. Apalagi ditambah ketika ia diberi tahu dukun beranak bahwa janin yang ada di dalam perutnya itu berjenis kelamin perempuan. Sungguh alang kepalang meledak kebahagiaan Bungo Rabiah. (halaman 36)
Sejak kehamilannya, jarang sekali ia turun dari Rumah Gadang Rangkayo. Dukun beranak juga tiap sebentar bolak-balik ke Rumah Gadang Rangkayo untuk melihat dan menjaga kondisi kandungannya. (halaman 37)
Segala usaha untuk menghambat lahirnya janin di kandungan Bungo Rabiah tentu sedang dilakukan oleh kelompok orang yang menginginkan Ranji Rangkayo punah, baik melalui mantra-mantra atau kiriman-kiriman bala lainnya, setidaknya begitulah pikiran Bungo Rabiah. Bahkan, usaha-usaha itu mungkin akan lebih kejam lagi dengan membunuh Bungo Rabiah secara langsung. Jadi, tidak mengherankan jika Bungo Rabiah sejak kehamilannya menjadi lebih berhati-hati dan cemas, sehingga ia jarang turun dari Rumah Gadang Rangkayo. (halaman 37-38)
Penyimpangan Budaya Tradisi Lama
Masih dalam lingkar pembahasan tentang perjalanan budaya, pada novel ini penulis juga membahas tatanan pola kehidupan masyarakat Minangkabau jaman dahulu yang masih kental dengan sosial budaya tradisi adat lama.
Nurgiyantoro (2017) mengemukakan tentang pengertian budaya dalam arti luas merupakan cerminan nilai-nilai luhur yang menjanjikan untuk menjadi manusia berkarakter dan bermartabat bagi yang menerapkannya secara ikhlas pada perilaku sehari-hari. Kebudayaan juga merupakan seluruh hasil daya cipta, karya, dan karsa manusia untuk memahami lingkungan serta pengalamannya agar dapat dijadikan pedoman tingkah laku sesuai unsur umum didalamnya (Suyono dalam Wiranata, 2011).
Dari pengertian tentang budaya dan kebudayaan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa budaya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang melekat sebagai kebiasaan agar dapat dijadikan pedoman tingkah laku. Akan tetapi dalam novel, budaya nenek moyang yang telah melekat tidak mencerminkan adanya pedoman tingkah laku serta dapat dikatakan buruk sebab melanggar norma ajaran agama.
Penyimpangan tersebut seperti menjalin hubungan terlarang dengan saudara sendiri, melakukan judi dan main kartu, melakukan taruhan, menghambur-hamburkan harta kekayaan kepada hal yang tidak berguna, mabuk minum-minuman, dan penyimpangan norma agama lainnya. Semua itu terekam pada beberapa bagian kutipan dalam novel yaitu sebagai berikut.
Jagalah kemurnian rahim ini untuk terus menjaga keturunan Rangkayo di Rumah Gadang ini! Cintailah saudara laki-lakimu itu, hanya ia yang akan menjagamu, bukan suamimu kelak yang akan menjagamu! Dan, kau harus mempunyai keturunan anak perempuan! Agar kita tidak punah, agar keturunan Rangkayo ini, dari rahim ini tidak habis sampai di dirimu, Rabiah! Ingaat, aku adalah keturunan ketujuh, dan kutukan kepunahan pada keturunan ketujuh akan menghantuimu. Namun, kau masih bisa menyelamatkan keberlangsungan rahim ini dengan cara menjaga kemurnian rahim dan darah yang akan menetes di dalamnya. Ingat-ingatlah itu, Rabiah! (halaman 16-17)
Kutipan penggalan cerita di atas adalah salah satu penyimpangan yang menjadikan tokoh utama Bungo Rabiah mempunyai pola pikir bahwa hubungan terlarang antar saudara yang ia jalin dengan kakaknya yaitu Magek Takangkang, adalah suatu bentuk menjaga keturunan kemurnian darah Rangkayo sebab Bungo Rabiah tidak ingin darah rangkayo ternoda oleh darah lain.
Jelas persepsi tersebut salah dan tidak dibenarkan dalam ajaran manapun. Tidak boleh ada hubungan lebih antar kakak adik, kecuali sebatas sewajarnya kepada saudara sekandung.
Candu menjadi obat satu-satunya untuk menenangkan Karengkang gadang. Bungo Rabiah, ibunya, tahu betul itu. Jika Karengkang Gadang sudah tidak bisa ditenangkan, maka Bungo Rabiah tinggal menyumbat mulut Karengkang Gadang dengan candu sebagai jalan satu-satunya. Usianya pun sudah belasan tahun kini. Masuk lepau tuak yang satu, keluar lepau tuak yang lain. Madat di rumah candu yang satu, berancuk di rumah bordil yang lain. Bermain di arena sabung yang satu, berpindah ke arena sabung yang lain. Beronggok di kerumunan dadu yang satu, berpisah di kerumunan dadu yang lain. Tidak terasa tanah-tanah kekayaan Rumah Gadang Bungo Rabiah satu persatu habis tergadai. (halaman 20-21)
Pada kutipan paragraf di atas terdapat banyak penyimpangan tidak sesuai norma agama yang dilakukan oleh tokoh utama bernama Karengkang Gadang, yang merupakan anak pertama dari Bungo Rabiah. Terdapat empat hal menyimpang yang dilakukan Karengkang Gadang dalam paragraf tersebut yaitu menghisap narkotika, meminum alkohol, bermain sabung, dan dadu. Semua itu termasuk menghambur-hamburkan harta kekayaan untuk hal yang tidak ada guna dan manfaatnya.
Pandangannya jadi terlempar akan belaian gundik-gundik Nias nan ayu menyandar di dadanya. Sedangkan oncoy pipa candu tiada henti disodorkan gundik-gundik itu. (halaman 31)
Penyimpangan dalam kutipan kalimat diatas dilakukan oleh tokoh Magek Takangkang. Ia melakukan hal maksiat dengan bermain bersama gundik-gundik, yang pada novel ini gundik dianggap sebagai wanita penghibur bayaran. Berikut ini beberapa penggalan kutipan yang menunjukkan perilaku menyimpang norma agama dalam novel.
Tuanku Tan Amo malam itu merungut di lepau tuak sudut kampung. Keningnya berkerut, gerahamnya bertaut. Memandang tajam ke seberang meja, tempat di mana karengkang Gadang duduk dengan tenangnya memandang kartu-kartu ceki di tangannya. (halaman 41)
Sudah tujuh kali putaran kartu, belum sekali pun kartunya ceki. (halaman 44)
Namun, karena itu pula, karena candu yang semakin menjadi-jadi dan tidak hanya dimulai dari diri Karengkang Gadang seorang, candu sudah mendrah daging bagi keturunan Rangkayo ini, membuat harta benda mereka semakin menyusut. (halaman 51)
“Dadu hitam yang keluar!” teriak salah seorang yang tidak melepaskan matanya dari lontaran dadu di udara hingga mendarat di tanah. (halaman 65)
Dadu hitam berarti milik Tuanku Tan Amo, makanya orang-orang langsung bersorak kepadanya. (halaman 65)
Lemparan dadu di udara terasa begitu lama untuk kembali menukik ke tanah. Putarannya melambat seakan udara membeku di sekitarnya. Warna dadu silih berganti mencapai posisi atas dan bawah. Hitam. Putih. Benar-benar sebuah pertarungan hidup. Setiap mata yang memandangi lemparan dadu itu menahan napas. Entah dadu apa yang mereka harapkan jatuh ke tanah dan warna apa yang akan menjadi nasib mereka nantinya. Setiap warna yang keluar, antara hitam atau putih, adalah pertarungan hidup. Entah di warna apa mereka berpegang. Tentu mereka sudah memilih warnanya sendiri, baik yang bertaruh besar maupun yang hanya sekadar bertaruh segantang beras. Dadu di udara mulai menukik. Dan, hujamannya ke tanah begitu cepat, seperti begitu cepatnya pertukaran nasib. Dadu dengan bagian warna hitam mencecah ke tanah, tentu saja, bagian warna putih menjadi bagian teratas, yang berarti orang-orang yang memilih warna putih memenangi pertaruhan. Napas-napas yang sebelumnya tertahan menjadi lepas ke udara, ada yang langsung diikuti sorak, tetapi banyak yang diikuti helaan kekalahan. (halaman 66-67)
Tuanku Tan Amo masih dengan sikap yang tenang, tidak terpancing dengan emosi Tan Sudin. “Baiklah! Tapi, bagaimana kalau kita tambah taruhannya?” (halaman 68)
Orang-orang pun kembali berkerumun di gelanggang. Dadu taruhan Tuanku Tan Amo dan Tan Sudin dilempar. (halaman 69)
“Ya, memang, mereka hanya bisa mabuk-mabukan saja!” (halaman 73)
Aku tahu ini tuak dan ini berisikan candu. Ini yang diajarkan nenek moyangmu itu? (halaman 117)
Spiritualitas Ajaran Agama
Dengan adanya data kutipan diatas yang menunjukkan perilaku menyimpang norma agama, maka salah satu tokoh bernama Magek Takangkang yang bergabung dengan Gerakan orang putih atau kaum padri berusaha untuk menuntas habiskan perilaku penyimpangan tersebut dengan membawa konsep spiritualitas yaitu ajaran islam.
Dalam cerita, Magek Takangkang awalnya memanglah seorang yang menjadi pelaku dalam perilaku menyimpang tersebut juga, namun hatinya terketuk dan membuatnya bertaubat kearah jalan kebenaran. Inilah yang juga diinginkan Magek Takangkang kepada masyarakat Minangkabau yang ada di kampung halamannya.
Ia mencoba datang lagi ke kampung halamannya dengan membawa ajaran islam, dengan tujuan agar orang-orang bertaubat dan bergabung dengan ajaran kebenaran yang dibawanya. Magek Takangkang tau bahwa apa yang telah menjadi budaya tradisi lama masyarakat Minangkabau kaumnya adalah perilaku menyimpang dan sudah seharusnya segera ditinggal. Akan tetapi, dalam usaha baiknya mengajak kearah jalan yang benar, Magek mendapat penolakan secara tegas yang membuatnya harus memakai cara keras dengan melakukan pemaksaan dan menghabisi siapapun orang yang tidak mau untuk bergabung dengannya ke jalan kebenaran. Ini dilakukannya agar tanah kampung halamannya bersih dari segala dosa-dosa dan maksiat yang sudah merajalela dilakukan sejak jaman kehadiran nenek moyang.
Penjabaran aspek spiritualitas yang juga merupakan bagian dari topik utama dibagian resolusi cerita menjadi poin penting karena membahas tentang kepercayaan atau agama.
Firmansyah dan Nurina (2017) mendefinisikan tentang agama atau religi sebagai ikatan untuk selama hidup dan manusia butuhkan dalam keadaan, untuk keselamatan, dan secara keseluruhan.
Koentjaraningrat dalam Firmansyah dan Nurina (2017) juga menjelaskan definisi religi yang memuat hal tentang keyakinan, upacara dan alatnya, sikap dan perilaku, alam pikiran dan perasaan selain hal yang menyangkut para penganutnya.
Pengertian agama dalam bahasa arab dapat disebut al-mulk berarti kerajaan, al-khidmat (pelayanan), al-izz (kejayaan), al-dzull (kehinaan), al-ikrah (pemaksaan), al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat (pengabdian), al-qahr wa al-sulthan (kekuasaan dan pemerintahan), al-tadzallulwa al-khudu (tunduk dan patuh), al-tha’at (taat), dan al-islam al-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan).
Dari ketiga teori tersebut, jika dikaitkan dengan isi novel maka terdapat kesamaan pemahaman tentang agama sebagai ikatan keyakinan yang akan menyelamatkan, serta sebuah hal mengenai sikap dan perilaku. Maka, berikut ini adalah beberapa kutipan dalam novel tentang definisi agama yang akan menyelamatkan.
Ia duduk menekur, tafakur sejak habis Isya tadi dan kini Subuh pun hampir masuk. Matanya sembap dan air matanya tak berhenti berlinang. Ia telah menyadari dosa-dosanya. Dosa-dosa yang terlalu besar. Berkali-kali ia telah memohon ampun. Berkali-kali ia telah menyatakan tobat. Menangisi dosa-dosanya setiap malam. Namun, masih saja hatinya terasa berat. Ia masih merasa Tuhan belum menerima tobatnya. Ia masih merasa air mata tobat yang ia tumpahkan tiap malam belum mampu menyapu dosa-dosanya. (halaman 12)
Ketenangan batin yang selama ini ia damba-dambakan. Ia semakin suluk. Ia semakin dalam tafakurnya. Ia semakin dalam zikirnya. Ia akan memperdalam kajinya. Harta dan tanah pusaka itu hanya urusan duniawi semata. (halaman 53)
“Sembuhkan betul dirimu! Baru kemudian ikut berjuang. Perbanyaklah mengaji. Pelajari kita-kitab yang ada!” nasihat gurunya. (halaman 60)
“Untuk itulah kau kabari, Kasim! Kau bawa mereka ke jalanmu ini! Bukakan jalan untuk pintu pertobatan bagi mereka! Semua usahamu itu akan jadi pahala yang besar bagimu!” (halaman 61)
“Pergilah ke Tanjung Alam, nagari di utara Batang Ka! Bawa para muridmu ke sana! Buatlah kubu pertahanan di sana dengan masjid di tengah-tengahnya. Agar kau dekat dengan kampung halamanmu! Agar kau bisa mengingatkan orang-orang di kampung halamanmu untuk meninggalkan cara-cara lama dan memilih jalan yang sesungguhnya!” (halaman 63)
“Aku kembali karena masih peduli dengan keluarga ini. Meluruskan keluarga ini agar tidak menjadi kafir-kafir penyembah emas!” (halaman 109)
Kasim Raja Malik selalu menghitung tiap kampung yang disinggahinya. Juga menghitung, apakah kampung yang disinggahinya itu mau tunduk kepadanya atau tetap mengikuti hawa nafsu mereka. Dan memang, sasaran utamanya kampung-kampung tempat keberadaan para keluarga Rangkayo yang punya pengaruh besar. Itu berarti, kampung halamannya, Rumah Gadang, saudara-saudaranya juga kan menjadi sasarannya. Dan, apakah juga ia harus mengeluarkan pedangnya dari sarungnya untuk mencabik-cabik kampung halamannya? Ya! Ajarannya mengharuskan itu, ia tidak boleh timpang pilih. Padahal, ia sendiri tahu dan sangat menyadari. (halaman 111)
Cerita tentang negeri ini yang memang sudah sedari dulu kalanya sudah beriman, tidak pernah sedikit pun hidup dalam kegelapan dan tidak pernah diazab. (halaman 128)
Sejalan dengan tujuan penulisan ini yaitu meretas adanya penyimpangan atas dasar untuk mempertahankan tradisi adat lama yang telah ada sejak jaman nenek moyang, Segala Yang Diisap Langit menghadirkan kesan berbeda kepada saya setelah menyelesaikan membacanya. Terdapat perasaan kosong, terkejut, dan kaget yang membuat saya larut terlalu dalam untuk memahami tradisi Minangkabau dalam novel ini.
Dengan bentuk cerita mengangkat tema kebudayaan, Segala Yang Diisap Langit merupakan sebuah novel tentang perjalanan pemertahanan eksistensi budaya dan ajaran spiritualitas yang berusaha untuk mengubah penyimpangan agar berjalan pada jalan kebaikan.
Oleh karena itu, agar keduanya dapat berjalan berdampingan dengan tetap pada arah jalan kebenaran dan tidak meninggalkan tradisi lama, maka sekarang masyarakat Minangkabau menganut prinsip “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” dengan artian yaitu adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an. [T]