CERITA membuat manusia bertumbuh, dan terus bertumbuh. Cerita menjadikan manusia lebih humanis, membuatnya lebih peka, menjadikannya manusia yang mendengar, dan sekaligus membuatnya belajar. Dan itulah yang dilakukan Nengah Januartha dan Ari Dwijayanthi dalam program “Napak Tilas: Membaca Marya dari Masa Depan”—serangkaian program Festival The (Famous) Squatting Dance: Merayakan Marya yang digelar Mulawali Institute di kawasan Puri Kaleran Tabanan, dari tanggal 26-28 April 2024.
Program napak tilas ini dilaksanakan pada hari ketiga, hari terakhir, setelah festival dibuka secara resmi. Dengan mengadopsi tour guiding, bercerita, sebagai metode penyampaian informasi, Nengah Januartha, yang notabene dikenal sebagai arsiparis, dan Ari Dwijayanthi, seorang akademisi, menjelma menjadi pramuwisata andal yang mengantar para turis (peserta napak tilas) untuk mengetahui lebih banyak tentang sosok I Ketut Marya—maestro tari yang namanya melegenda itu—dan menelusuri tempat-tempat yang pernah Marya pijak semasa hidupnya.
Sore itu, Minggu, 28 April 2024, Janu dan Ari mengajak peserta napak tilas untuk terlebih dahulu mengunjungi Pameran Arsip 1928—yang juga salah satu mata program Festival Merayakan Marya—sebelum menapak ruang-ruang hidup I Ketut Marya.
Di Pameran Arsip, Janu banyak menyampaikan tentang betapa tahun 1920-an menjadi awal berkembangnya kesenian gaya baru di Bali (saat itu Bali sedang berada di tengah revolusi seni dengan kebyar sebagai penggerakknya—gamelan yang paling dominan di masa itu).
Di Bali Utara, misalnya, selain eksis di Desa Jagaraga, sebenarnya Gong Kebyar juga sudah eksis di beberapa desa lain, seperti Bungkulan, Ringdikit, Sawan, Banyuatis, Nagasepa, Patemon, Menyali, Kalapaksa, Bebetin, Bubunan, Bantiran, dan Kedis.
Gong Kebyar—atau gong gede sebagaimana orang Jagaraga menyebutnya—menggelinding, menjalar seperti virus, begitu cepat sampai ke ceruk-ceruk jauh di Pulau Bali. Para maestro di utara dipanggil untuk mengajar di selatan. Atau orang-orang selatan sendiri yang rela menempuh perjalanan jauh ke utara demi belajar Gong Kebyar.
Tahun-tahun itu kesenian Bali sedang bergeliat. Kelompok gamelan tua, orkestra seremonial, dilebur dan ditempa kembali dengan gaya baru. Persaingan antardesa atau daerah mendorong para komponis dan koreografer muda untuk berkarya mengembangkan inovasi dan teknik yang mengesankan, tak terkecuali para seniman di Tabanan—tanah yang membesarkan nama I Ketut Marya.
Marya, sebagaimana Gde Manik dan Ketut Merdana dari utara, juga ikut menyemarakan revolusi kesenian Bali. Melalui tangan dinginnya, ia mencipta tarian yang fenomenal, kalau bukan abadi, seperti Igel Jongkok, Oleg Tambulilingan, dan Kebyar Trompong. Semasa hidupnya, Marya berproses di ruang-ruang lingkungan Puri Kaleran Tabanan.
“Di sini dulu sering diadakan pementasan. Di sini pula Marya menari Igel Jongkok yang kita saksikan di video arsip,” ujar Janu kepada peserta napak tilas saat ia berdiri tepat di depan bangunan gapura Puri Kaleran sebelah utara. Menurut pembacaan Janu, bangunan megah dan bersejarah itu dibangun sekitar tahun 1927-28—rentang tahun di mana orang-orang Jawa sedang bergejolak menghadapi kolonialisme.
Nengah Januartha bersama peserta napak tilas di kawasan Puri Kaleran Tabanan | Foto: Mulawali Institute
Selesai menapak ruang hidup Marya di sekitar puri, Janu dan Ari mengajak peserta napak tilas untuk keluar dari puri dan menelusuri trotoar Jalan Gunung Agung ke selatan menuju satu tempat yang dulu diyakini sebagai alun-alun Kota Tabanan di masa kerajaan. Terdapat pohon beringin besar dengan sulur yang menjuntai sampai tanah di sana.
“Biasanya, dulu, pasar itu berada di bawah pohon beringin. Jadi, di sebelah selatan berdiri Puri Gede, di tengah-tengah ada pasar atau alun-alun, di sebelah utara ada pura, dan di sebelah utaranya lagi baru Puri Kaleran,” terang Janu.
Apa yang dikatakan Janu pernah dituliskan oleh Horst Henry Geerken dalam bukunya “A Magic Gecko” (2014). Kehidupan desa di Bali, kata Henry, biasanya terpusat di bawah naungan pohon beringin berukuran besar—“batangnya lebih besar daripada pelukan 20 laki-laki.”
Di sini (di bawah naungan pohon beringin), lanjut Henry, “mereka membeli, menawar, dan bergosip. Di sini pula mereka mencukur rambut, berteman, dan melerai permusuhan. Perempuan yang memangggul keranjang penuh dengan hasil kebun berjalan ke pasar untuk mencari nafkah.”
Di tempat di mana para peserta berpijak, tepatnya di sebelah utara Gedung Kesenian I Ketut Maria, Janu mengatakan bahwa di tempat inilah Marya sering menari dan berinteraksi dengan masyarakat Banjar Lebah, Tabanan. Di sini pula, menurut foto arsip yang ditunjukan Janu, sering berlangsung pertunjukan Tari Joget.
Dari beberapa foto arsip pula, peserta napak tilas menjadi tahu bahwa bentuk pagar puri zaman dulu terbuat dari kayu yang disusun menyerupai pagar kandang kuda di wilayah Montana. Bedanya, pagar-pagar puri ditambah dengan semacam atap dari ijuk atau rumbia.
Lanskap Kota Tabanan di masa kerajaan, sebagaimana telah dijelaskan Janu, nyaris mirip seperti tata letak beberapa kota di Jawa. Di Jawa, bangunan kantor pemerintahan—atau keraton tempat sultan/raja bermukim, dulu—selalu dekat dengan alun-alun kota, pasar, dan tempat ibadah. Di alun-alun kota di Jawa, biasanya juga terdapat empat beringin yang berdiri kokoh di setiap sudut tanah lapang tersebut.
Berkunjung ke Rumah Marya
Janu mengajak peserta napak tilas untuk berpindah dan berjalan ke arah barat, memasuki lorong-lorong sempit menuju kediaman I Marya. Di rumah sederhana yang terletak tepat di samping selatan kawasan Puri Kaleran Tabanan itu, pihak keluarga Marya menyambut para peserta. Di sana, panitia festival juga sudah menyiapkan kudapan dan tempat bercerita dan tanya jawab bersama ahli waris I Marya.
Rumah itu tak besar, luas, dan mewah. Terdiri dari tiga bangunan terpisah dengan sedikit taman di halaman. Di dinding ruang tamu, tercantel banyak foto lama Marya. Di sinilah Marya tumbuh bersama keluarganya. Marya, sebagaimana telah banyak tertulis di berbagai media, lahir di Banjar Angkan, Klungkung. Ketika musim paceklik (ada pula yang mengatakan karena perang Klungkung), keluarga Marya pindah ke Denpasar.
Sehuah gang menuju rumah I Ketut Marya | Foto: Mulawali Institute
Di Denpasar, Mario—sebutan lain Marya—sudah mengenal Tari Gandrung. Namun, karena merasa beban hidup semakin berat, serta siuasi politik (penjajahan) saat itu, Mario bersama ibu dan kelima saudaranya (tiga laki-laki dan dua perempuan) kemudian merantau—beberapa orang menyebutnya rarud—sampai ke daerah Tabanan.
Awalnya, keluarga Marya membantu pedagang Cina bernama Tan Khang Sam di Desa Tunjuk, Tabanan, lalu menjadi parekan (abdi) di Puri Kaleran Tabanan. Di puri, Marya kemudian mengenal seni kebyar hingga mencipta tari-tari kekebyaran yang fenomenal itu.
“Saya dulu tidur seranjang dengan kakek,” ujar Nyoman Sudharma, cucu angkat Ketut Marya bercerita kepada peserta napak tilas. Sudharma mengaku dekat dengan sang maestro. Bahkan, tak sedikit ingatan bersama Marya yang disampaikan kepada orang-orang yang mendatangi kediamannya sore itu. “Mario itu suka memancing. Dan saya masih ingat, saat dia pulang dari Amerika, dia memakai jaket wool ke mana-mana. Padahal di sini daerah yang panas,” sambung Sudharma sembari tertawa.
Pada tahun 1925, saat memasuki usia 28 tahun, Marya meminang gadis pujaannya bernama Ni Made Cereg, yang belakangan kerap dipanggil Men Riken. Sayang, setelah begitu lama berumah tangga, pasangan ini tak juga dikaruniai buah hati. Marya kemudian mengadopsi seorang anak, cucu dari kakaknya, namanya I Putu Kerta—pensiunan tentara angkatan udara yang meninggal di Tabanan tahun 1994.
Peserta napak tilas sampai di rumah I Ketut Marya | Foto: Mulawali Institute
Putu Kerta inilah bapak dari Nyoman Sudharma—yang sekarang menghuni rumah Marya. Jadi, secara biologis, Nyoman Sudharma sebenarnya merupakan cicit dari Marya. Tapi, secara angkat, ia cucu Marya—karena Putu Kerta, yang notabene cucu Marya, diangkat menjadi anaknya.
“Marya itu orangnya sangat nyentrik. Kalau dia berkunjung ke pasar, dia sering menari di tengah keramaian. Dia juga sering nongkrong di Kopi Aboe Talib [kedai kopi legendari di Tabanan]. Saya sering diajak beli es krim zaman dulu,” terang Sudharma.
Sambil menikmati kudapan dari panitia festival, peserta napak tilas khusyuk mendengarkan cerita dari Sudharma. Lelaki paruh baya itu, dengan terbata-bata, mencoba mengingat segala hal yang berkaitan dengan Ketut Marya. Ia mengingat Marya pernah mendapat penghargaan dari Presiden Soekarno, Gubernur Bali, dan Presiden Megawati. Namun sayang, pada tahun 1990-an, emas penghargaan dari Gubernur Bali terpaksa dijual untuk keperluan keluarga.
“Selama mengajar tari, Marya tak pernah meminta bayaran. Kadang, saat hari raya, murid-murid Marya banyak membawa beras dan segala keperluan upacara ke rumah,” ujar Sudharma. Cerita seperti ini tak hanya datang dari riwayat Marya. Banyak maestro yang mengajar tanpa pamrih, dulu, sebut saja I Gde Manik dari Jagaraga, Buleleng.
Menjelang kembali ke Asal, sangkan paraning dumadi, menurut Sudharma, pada saat malam hari Marya sempat menyalakan sabut kelapa untuk mengusir nyamuk. Karena tidur di kamar yang sempit, asap itu membuat Sudharma sesak napas—ia memang tidur sedipan dengan Marya. “Saat Marya meninggal, saya masih di sekolah mengambil rapor. Itu tahun 1968,” kenang Sudharma. Pada saat ditanya barang-barang peninggalan Marya, dengan sedih Sudharma mengatakan, “Barang-barang Marya ikut diaben saat ia meninggal.”
Nengah Januartha bersama Nyoman Sudharma sekeluarga di rumah I Ketut Marya | Foto: Mulawali Institute
Maka, mengenai penggalian benda-benda peninggalan, atau sejarah-riwayat hidup Marya, tak ubahnya mencari jejak kaki di lidah pantai—ada saja jejak yang seolah terhapus ombak. Riwayat hidupnya tak seterang namanya.
Tetapi, berkat ingatan kolektif dan arsip, riwayat Marya ternyata tak segelap seperti yang dipikirkan. Selalu ada tanda yang bisa direkam dan dicatat, ada petunjuk yang dapat memberi arah—cerita-cerita dari orang-orang terdekatnya atau informasi-informasi yang tertuang dalam buku, misalnya, “The Life Story of the Great Balinese Dancer, I Mario” karya Amir Sjamsudin dan I Ketut Maria Pahlawan Seni Kebyar Bali karya I Wayan Dibia.
I Ketut Marya/Maria/Mario, si jenius yang buta huruf, “pemberontak” kebekuan kesenian Bali. Di tengah-tengah kelesuan selera klasik tarian Bali, ia hadir dengan gagasan baru, menciptakan sesuatu yang mungkin tak pernah terbesit dalam kepala orang Bali pada umumnya.
Dari rahim kecerdasannya, Marya melahirkan Tari Kebyar Duduk (Igel Jongkok) sekitar tahun 1925. Dan mengutip I Wayan Westa, tak ada kata paling indah untuk memuji ketenaran Ketut Marya, kecuali dengan satu ungkapan, “ia adalah seorang penari legendaris Bali”.[T]
Reporter/Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole