SEBAGAI komponis yang “kebiasaan” mengobrak-abrik puisi orang untuk menjadikannya musik, sebetulnya saya belum merasa puas mengutak-utik puisi Joko Pinurbo. Well, banyak sih puisinya yang saya jadikan musik, hanya saja beberapa puisi itu menjadi satu karya utuh, dan bukan “tembang puitik” seperti yang biasa saya bikin, tapi karya untuk paduan suara.
Saya ingat, tahun 2009 paduan suara Institut Teknologi Bandung meminta saya untuk membuat suatu karya yang “beda” (yahhh, apa sih yang diharapkan dari saya, kecuali memang musik saya cukup “beda” hahaha) untuk mereka nyanyikan di kompetisi di dalam dan luar negeri.
Nah, karena saya pikir saya harus lebih beda lagi daripada musik-musik beda saya yang lain, saya mencari puisi yang beda. Jatuhlah pilihan saya ke puisi-puisi Joko “Jokpin” Pinurbo. Dan bukan satu puisi, tapi banyak puisi yang semua sangat-sangat pendek. Salah satunya hanya satu baris: “Ayo buku, baca mataku!” Dan judul karya saya, karena terdiri dari banyak puisi Jokpin, tentu tidak bisa mengambil judul salah satu saja dari puisinya. Jadilah “Jokpiniana no. 1”.
Jokpiniana no. 1 ini adalah eksperimen saya yang cukup memuaskan secara artistik, karena saya “belajar sesuatu yang baru” yang tidak bisa dipelajari sebelumnya, hanya bisa “learning by doing”. Ibaratnya saya pergi ke hutan yang asing tanpa bekal, tanpa peta (karena memang hutan itu belum dipetakan), dan belajar survival dengan mempelajari situasi hutan itu.
Saya bilang eksperimen karena saya mencoba menggabungkan beberapa puisi yang saling tidak berhubungan, dan itu tidak mudah, dan berpotensi …. well, tambal sulam. Saya rasa belum pernah ada karya musik klasik seperti ini, dan hanya Joko Pinurbo yang bisa menyediakan material untuk hal ini. Sama sekali tidak ada model untuk saya pelajari sebelumnya. Sekarang, banyak penyair yang sudah meniru Jokpin, walaupun tentu dengan karakter artistik yang tidak sekuat Jokpin. Maunya beda, tapi jadi semuanya sama.
Bisnis urusan beda-beda dengan puisi Jokpin yang bisa dibilang sukses ini membuat beberapa paduan suara lain meminta saya untuk membikin karya serupa, sehingga jadilah Jokpiniana no. 2 dan 3. Itu sebabnya saya jarang sekali memainkan puisi Jokpin di berbagai konser piano saya, karena memang saya tidak pernah menggubah puisinya menjadi Tembang Puitik, yang artinya untuk satu solo vokal diiringi instrumen (biasanya piano).
Saya selalu buat untuk paduan suara, karena puisinya menyediakan ruang untuk bermain dengan efek antifonal paduan suara tersebut. Ehhh, pernah kok saya bikin tembang puitik! Dua puisi pendeknya yang nyeleneh, “Naik Bus di Jakarta” dan “Kekasihku” (yang mulai dengan “pacar kecil duduk manis di jendela”), bisa dicari saja dengan kata kunci itu di YouTube.
Dalam karya-karya paduan suara serial “Jokpiniana”, cara saya menggunakan motif adalah dengan bereksperimen dengan distorsi, seperti yang dilakukan Pablo Picasso misalnya di lukisan “Les Demoiselles d’Avignon”, yang merepresentasikan objek yang terfragmentasi secara radikal. Pendekatan inovatif ini memecah komponen-komponen unsur musik (yang berasal dari unsur puisi Joko Pinurbo) menjadi beberapa segi tersendiri, menghadirkan beberapa aspek berbeda pada satu objek (bisa berupa melodi, atau progresi harmoni, atau pola ritme) dari berbagai sudut secara bersamaan.
Saya juga menyandingkan atmosfir yang berbeda, seringkali kontras, (sekali lagi, berasal dari beberapa puisi dengan “mood” yang kontras) sambung-menyambung. Yang ingin saya tekankan berulang kali, terutama kepada para penulis dan kritikus yang selalu salah memahami cara berpikir kreatif saya, adalah bahwa saya tidak sekadar membaca puisi kata demi kata dan menjadikannya melodi.
Proses saya beda sekali dengan “musikalisasi puisi” yang cukup populer di Indonesia. Saya berkonsentrasi pada warna dan suasana puisi secara keseluruhan. Begitu saya mendapatkan musiknya, kata-kata (atau frasa) menjadi (agak) kurang penting.
Meski demikian, saya tidak pernah menggunakan unsur fonetik di luar puisi: misalnya, kata “dang” dan “dut” di Jokpiniana no. 1 itu memang ada dalam puisi “Dangdut” itu sendiri. Saya hanya menggunakannya sebagai elemen independen, memperlakukannya murni sebagai bunyi dan bukan sebagai kata yang mempunyai makna. Saya selalu menganggap penyair hebat sebagai pelukis hebat: mereka tahu bagaimana memilih kata yang tepat untuk “cat” sebagai bahan untuk membuat gambarnya.
Jadi, jangan salah paham: kata-kata individual adalah hal yang paling penting bagi saya di awal proses kreatif, tetapi menjadi sekunder dalam hasil sebuah karya musik. Lukisan yang bagus tidak hanya dibuat dengan warna primer, bukan?
Kehebatannya terletak pada cara sang pelukis memadukan warna, dan bagaimana hasilnya dapat mengungkapkan apa yang ingin ia komunikasikan kepada pengamatnya (dan pendengar, dalam kasus saya dan para komponis lain). Dan Jokpin menyediakan kekuatan itu: dengan fonetik yang unik, ia dapat mengekspresikan suasana dengan sangat mengena. Bingung? Coba deh dengarkan saja Jokpiniana no. 1, kalau dengar musiknya, semua penjelasan ini pasti jadi jelas: https://www.youtube.com/watch?v=vkC4V3fWDWk
Sebetulnya saya juga sangat tertarik dengan bukunya “Perjamuan Khong Guan”, tapi belum sempat membuat apa-apa dari situ. Sejak puisi-puisi awalnya seperti di kumpulan puisi “Celana” sampai tahun-tahun terakhir ini, puisi-puisi Joko Pinurbo selalu tentang memutarbalikkan kehidupan sehari-hari menjadi renungan yang lucu dan menyindir secara linguistik. Tragedi dan komedi menyatu dengan harmonis.
Kini, dengan keseharian kita tidak lepas dari gadget, intisarinya dapat dilihat pada sebagian besar puisinya di Perjamuan Khong Guan: dari bagian pertama hingga terakhir, meratapi kegilaan terhadap smartphone dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial dan komunikasi kita—dengan orang-orang nyata dalam kehidupan nyata. Sang penyair juga menyentil situasi negara kita yang tidak bisa dikatakan “baik-baik saja”. Dan kebanyakan dalam puisi yang berdurasi yang (sangat) singkat. Seperti usianya, sayangnya, yang meninggalkan kita di usia 61 tahun.
Yang saya menyesal adalah saat saya ke Jogja terakhir kali, bulan Februari lalu. Memang niat saya adalah untuk “nyepi” karena saya harus menulis bagian dari opera baru saya yang cukup kompleks (dan intens sih karena temanya tentang perdagangan manusia).
Dari stasiun kereta saya langsung menuju ke tempat nyepi saya yang ternyata enak banget, di tepi sawah (saya ga kasih tau namanya ya, nanti rame deh semua penulis mau kesana hahaha) dan selama seminggu itu semua janjian bertemu teman dan semua orang akhirnya batal karena fokus saya ke komposisi opera itu.
Saya dengar bahwa Jokpin sakit baru setelah saya balik ke Jakarta, itu pun belum parah. Terakhir saya bertemu dengannya ya sebelum pandemi. Yah, penyesalan selalu datang belakangan, kalau duluan namanya pendaftaran…
Salam buat para idola saya di surga: Pak Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, Emily Dickinson, Federico Garcia Lorca, dll. Ya, Joko Pinurbo. Berbahagialah bersama mereka yang telah membuat dunia ini lebih indah saat meninggalkannya.[T]
————————————
Ananda Sukarlan adalah Komponis dan pianis, seniman Indonesia pertama yang diundang ke Portugal setelah hubungan diplomatik kedua negara terjalin. Semangat inovasinya “terdeteksi” pada tahun 2000 oleh surat kabar Sydney Morning Herald yang menulisnya sebagai “Salah satu pianis terkemuka di dunia yang berada di garis depan dalam memperjuangkan musik piano baru”.
Ananda dianugerahi penghargaan sipil tertinggi di Italia “Cavaliere Ordine della Stella d’Italia” dari Presiden Sergio Mattarella, dan pada tahun 2022 ditunjuk sebagai pendiri dan direktur artistik G20 Orchestra yang menjadi warisan Indonesia di bidang budaya untuk G20. Selain itu, Yang Mulia Raja Felipe VI dari Spanyol juga menganugerahkan gelar Orden of Merit Real Oficial Orden de Isabel la Catolica kepada Ananda Sukarlan tahun 2003.
Ia adalah komponis Indonesia yang paling banyak menciptakan genre “Tembang Puitik” baik dari para penyair berbahasa Inggris, Spanyol, dan kini ratusan puisi dari penyair Indonesia: Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo sampai generasi muda seperti Ewith Bahar, Emi Suy, Muhammad Subhan dan puluhan lainnya.